Oleh Muhammad Rois Rinaldi (Penyair dan Pimred Tabloid Ruang
Rekonstruksi)
Satu hal yang dapat
ditandai dari puisi-puisi Sulaiman Djaya dalam antologi puisi tunggal bertajuk “Mazmur
Musim Sunyi”, adalah kesunyian itu sendiri. Kesunyian yang dalam dan dingin!
Tentu saja dilantari oleh perjalanan hidupnya yang penuh dengan sinyal-sinyal
makna serta kesan-kesan puitik yang ia jumputi sebagai bahan renung di ruang
kontemplasinya sebagai seorang penyair. Membaca serta menelaah 69 puisi dalam
Mazmur Sunyi, saya menemukan beberapa hal yang diulang-ulang oleh Sulaiman
Djaya, baik kata, frasa, majas, pola pengandaian mau pun cara melihat dan
memaknai sesuatu yang ia saksikan dan rasakan.
Menyoal pengulangan
sebenarnya lumrah saja, mengingat hampir semua antologi puisi tunggal mengalami
nasib yang sama. Penyebabnya tidak lain tidak bukan, karena keterbatasan mata
dalam memandang alam semesta, keterbatasan pikiran manusia dalam memahami,
mendalami, dan memaknai kehidupan, serta keterbatasan kata di jagat Indonesia
ini, termasuk majas-majas yang berlaku. Maka, dari tidak banyaknya hal yang
benar-benar dapat menarik jiwa penyair untuk menulis puisi, terjadilah beberapa
pengulangan tema dan pemakaian pengandaian yang tidak jauh-jauh dari situ ke
situ juga. Tidak terkecuali dalam Mazmur Sunyi. Selain itu, beberapa simbol
juga mendominasi, di antaranya “warna” dan “waktu”. Kedua simbol tersebut
sepertinya dengan sungguh-sungguh diposisikan oleh Sulaiman Djaya (kemudian
disingkat SD) sebagai media pengandaian sekaligus simbol tertutup dan terbuka
untuk menemukan kebermaknaan dalam puisi-puisinya:
“Aku adalah sebuah kalimat
sajak // dengan kertas merah tua // dari senja yang menghitung daun-daun
albasia (Mula Puisi, Hal 11). “Aku baik-baik saja // seperti hari-hari yang
kadang putih // atau agak sedikit berlumut (Di Ruang Baca, Hal 12).
“Buku-buku, kertas-kertas, almanac // pintu dan jendela, saling berbisik
tentang nasib // yang bukan biru, bukan ungu // bukan juga hijau
abu-abu (Monolog, hal 17). “Aku pun tahu kadang engkau bersembunyi // di
balik tirai yang terbentang yang kau sebut hijau (Nyanyian Desember, hal
86).
Warna dalam puisi
(barangkali) gambaran suatu keadaan sedih, senang, muram, sumringah dan
sejenisnya. Misalnya putih, lazim dikonotasikan pada kebersihan, kesucian,
katarsis, dan sejenisnya dan sejenisnya. Hijau berkaitan dengan kesejukan,
keteduhan, dan sejenisnya. Merah dimaknai sebagai keberanian atau kemarahan.
Dapat juga dimaknai lain semisal merah adalah gambaran ketakutan, kemurkaan,
atau kemalangan. Pemaknaan-pemaknaan yang dimaksud sangat tergantung pada teks
dan konteksnya. Pernah Moh. Wan Anwar mengulas beberapa karya pelajar yang
dimuat di Horison sekitar tahun 2002/2003, bahwa warna yang dimasukkan dalam
puisi dapat membantu penyair untuk mengejawantahkan suasana atau nuansa serta
memperkuat puisi.
Terlepas dari sepaham atau
tidaknya, yang perlu ditekankan adalah bagaimana warna yang ditulis dalam puisi
tidak selesai sebagai warna melainkan benar-benar mewakili makna tertentu.
Karena apa saja di tangan penyair mesti memiliki perwujudan berbeda selain
wujud aslinya. Semisal bunga di tangan penyair tidak akan jadi bunga belaka.
Lantas bagaimana dengan warna-warna yang ditulis Sulaiman, sudahkah mampu
membawa makna atau sekadar nama-nama warna yang ditulis tanpa membawa apa-apa?
Jawabannya dalam puisi Epigraf halaman 15: “Dan aku sibuk memindahkan warna-warna,
kalimat, dan kata-kata di pojok waktu tempatmu membaca buku kesukaanmu yang
bersampul merah muda dan biru.”
Kesibukan yang dimaksud
dapat dimaknai pencarian—Sulaiman Djaya terus berusaha mencari posisi yang
tepat bagi warna agar dapat selaras dengan kata dan kalimat. Sehingga saling
bersinergi membangun makna yang kuat—karena tidak mudah mencarikan posisi yang
tepat bagi warna-warna di dalam puisi. Disebabkan pemanfaatan warna baik,
hijau, merah, kuning, biru, putih, hitam, dan sejenisnya, sudah banyak
digunakan orang dalam puisi, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad lalu.
Kedepan baiknya SD mencari pembaharuan dalam pemakaian simbol. Setidaknya bukan
yang kebanyakan orang pakai. Meski demikian, bukan berarti apa yang dilakukan
SD adalah salah. Terlebih, konon, kebaruan hanya bagian dari masa lalu.
Tidak jauh berbeda dengan
simbol “waktu”, dapat dimaknai sebagai bentuk kesadaran penyair akan
keberadaannya di dunia fana. Kaitannya dekat dengan hakikat keabadian Sang
Khalik, sebagaimana disajikan dalam “bersama angin Januari yang
menggodaku” (Di Ruang Baca, hal 12), “Di ruang ini, ada detik-detik lengang”
(Di Ini Kubaca Lagi Waktu, hal 35) “meniup terompet ulangtahun / di
sekartu bergambarku / yang kini telah jadi langit sabtu” (Musim Untuk
Ibuku, hal 43), “pada derai angin Februari” (Nyanyian Desember, hal 86),
dan “bunga-bunga waktu” (Sajak Bangun Tidur, hal 41). Simbol-simbol
waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah
Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam
kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat.
Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia.
Inilah isyarat proses kratif seorang SD. Ada kegelisahan sekaligus
kesadaran, betapa waktu begitu penting bahkan jadi genting jika tidak
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Penyair, Bahan Baca,
dan Puisi
Dalam dunia kepenyairan,
proses kreativitas seorang penyair sangat dipengaruhi oleh apa yang dicercap
dari kehidupan (realitas)—mencercap sinyal-sinyal alam semesta—semisal
hakikat gugurnya daun dari dahan, hujan, rumput, kambing, kecoa, neon,
piring, kelewawar dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu adalah bahan
baca yang turut memengaruhi proses kreativitas seorang penyair.
Intensitas membaca yang turut mempengaruhi kepenulisan itu pula yang
menjadi landasan hukum boleh terhadap karya-karya yang terpengaruh oleh apa
yang dibaca. Tidak terkecuali SD. Terlebih, SD adalah satu dari
sedikitnya orang yang gemar membaca dan memiliki pengetahuan yang sangat luas.
Berbicara dengannya seperti mencuri banyak pengetahuan bahkan saat bercanda
sekali pun, ada saja ilmu yang dapat dirampok dari ucap dan lakunya.
Dikarenakan kegemarannya membaca itulah, sangat mungkin (untuk tidak bilang
pasti) ada keterpengaruhan dari bahan bacanya. Meski tidaklah mutlak, bahkan bisa
jadi hanya “kebetulan?” Dari puisi-puisinya ditemukan kedekatan dengan
puisi-puisi karya penyair terdahulu semisal Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, dan
WS Rendra. Perhatikan beberapa amsal berikut ini:
“Aku tak punya banyak nama
sepi, tapi yang paling indah kusebut dapur yang tak punya api (Memoar, Hal 18).
“Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api.”
(diambil dari buku : EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya,
cetakan kedelapan, tahun 2003). Unsur-unsur yang tampak lekat dari puisi WS
Rendra dalam puisi SD yang dikutip di atas yakni: 1). “Sepi” tetap menjadi
“sepi:”; 2). “Tungku” diperluas oleh SD menjadi “dapur”, yang merupakan tempat
tungku berada; 3). “Tak punya” dipadankan dengan “tanpa”; 4). “Api” tetap
menjadi “api”; dan 5). “Tapi yang paling indah” memiliki kesan yang sama dengan
“itulah berarti” yakni sama-sama sebagai media penunjuk sebelum sampai pada
objek yang dimaksud: SD memaksudkan keindahan itu pada “dapur yang tak punya
api” dan WS. Rendra memaksudkan pada “tungku tanpa api”. “Dan aku ingin sekali
menjadi nyala di depan kakimu” (Memoar, Hal 18). “Kini aku nyala pada lampu
padammu” (Abdul Hadi W.M., 1977, Tuhan,
Kita Begitu Dekat).
Unsur-unsur yang dapat
diperhatikan adalah: 1). “Kini aku nyala” dalam puisi Abdul Hadi WM yang tegas
dibuat gamang dalam puisi SD menjadi “aku ingin sekali menjadi nyala”; dan 2).
Pada “lampu padammu” dalam puisi Abdul Hadi WM dieksekusi SD dalam puisinya
menjadi “di depan kakimu”. Kedekatannya semakin terasa saat melihat kata
depan “pada” (kata depan pada menandai hubungan tempat dan waktu) dalam puisi
Abdul Hadi WM dan “di” (kata depan di menandai hubungan tempat beradanya
sesuatu) dalam puisi SD. “Aku tak ingin hidup lagi // walau kau beri aku surge
// aku sudah kecewa” (Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu, hal 93). “Hingga hilang
pedih peri // Dan aku akan lebih tidak peduli // Aku mau hidup seribu tahun
lagi” (Chairil Anwar, 1943, Aku).
Berbeda dengan
contoh-contoh sebelumnya, kedekatan puisi “Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu”
karya SD dengan puisi “Aku” karya Chairil Anwar terlihat sebagai
pertentangan/antetisis terutama pada bagian “Aku mau hidup seribu tahun lagi”
(Chairil) dan “Aku tak ingin hidup lagi” (SD). Selain itu, juga dapat ditemukan
pada bagian berikut ini: 1). “Aku” sama-sama sebagai kata pembuka larik; 2).
“Mau” (Chairil) menjadi “tak ingin” atau kalau dipertegas menjadi “tidak mau”
(Sulaiman); 3). “Hidup” yang ditulis Chairil juga ditulis “hidup” oleh SD; 4).
“Lagi” sebagai penutup dalam puisi Chairil juga ditulis “lagi” sebagai penutup
dalam puisi SD.
Bagaimana pun setiap
manusia memang selalu dipengaruhi oleh segala hal yang berinteraksi dengan
dirinya. Baik interaksi sosial (manusia kepada manusia), interaksi alam
(manusia dengan alam) dan interaksi ketuhanan (manusia dengan Tuhan). Karena
itu fitrah, bahkan Gunawan Mohamad lebih ekstrim, ia mengatakan bahwa
orisinalitas mengacu ke masa lalu sementara hari ini dan untuk masa depan hanya
ada kreativitas. Meski saya tidak sependapat dengan pendapat
tersebut, karena manusia yang selalu mencari akhirnya akan menemu juga—menemu
sesuatu yang baru meski berangkat dari kreativitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar