Radar Banten, 22 Agustus 2013
“Sungai adalah untuk yang
memanfatkannya, bukan untuk yang menguasainya”. (Ali Ibn Abi Thalib
Karramallahu Wajhah).
Apa yang dikemukakan Ali
Ibn Abi Thalib Karramallahu Wajhah, yang kini dapat dibaca dalam kitab Nahjul
Balaghah, tersebut meski terkesan sederhana namun memiliki makna dan kandungan
pemahaman yang tinggi bagi kita. Kita bisa mengartikannya, sebagai salah satu
contoh, misalnya bahwa seseorang yang berusaha untuk mengembangkan dan
memanfaatkan suatu potensi atau materi berhak menikmati hasil atau pun
keuntungan dari-nya. Ini hanya lah salah-satu contoh bahwa Islam, misalnya, tak
hanya merupakan sekian ajaran dan doktrin ritual (mahdhah), tetapi juga
berkaitan dengan mu’amalah (ghayru mahdhah) yang melingkupi soal-soal budaya,
sosial, ekonomi, dan politik.
Sebagai figur Islam yang
langsung diasuh dan dididik Rasulullah sejak kanak-kanak seperti dikemukakan
banyak ulama baik dari kalangan Syiah atau pun Sunni, Ali Ibn Abi Thalib
dikenal sebagai orang yang “mewarisi” samudra ilmu, akhlaq, dan kearifannya
Rasulullah. Warisan kearifan Ali Ibn Abi Thalib yang merupakan warisan dari
Rasulullah diabadikan oleh seorang ulama bernama Sayid Syarif Radhi dalam
sebuah kitab Nahjul Balaghah, dan banyak ulama menuliskan syarah atau
komentar-komentar tentang Nahjul Balaghah, yang salah-satunya ajaran tentang
bagaimana membina hubungan baik dengan sesama muslim dan non-muslim sebagaimana
diajarkan al Qur’an dan ajaran Rasulullah. Sebab sebagaimana dipaparkan banyak
ulama, Imam Ali dikenal sebagai seorang penafsir paling fasih seputar al
Qur’an, spirit Islam, dan akhlaq Rasulullah.
Syekh Muhammad Abduh,
contohnya, mengatakan bahwa “Di masyarakat Arab, tidak ada seorangpun yang
tidak berkeyakinan bahwa ucapan Ali as adalah ucapan paling mulia, paling
fasih, paling dalam maknanya dan paling lengkap sesudah al Qur’an dan Hadits
Nabi Saw”. Tentu saja apa yang dikatakan Abduh tersebut bukan sesuatu yang
berlebihan, mengingat kearifan dan kebijaksanaan Imam Ali diakui oleh banyak
sahabat Nabi Saw, semisal Umar bin Khattab, Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abu
Dzar al Ghifari, Salman Alfarisi, dan yang lainnya. Dan salah-satu keutamaan
Imam Ali dalam hal ini adalah kearifannya dalam masalah-masalah hukum, selain
keluhuran akhlaqnya.
Khazanah Islam dan Nahjul
Balaghah
Nah, Nahjul Balagah yang
merupakan kumpulan perkataan-perkataan, surat-surat, dan khutbah-khutbah Imam
Ali itu mengandung juga ajaran dan kearifan tentang bagaimana ummat Islam
membina hubungan sesama manusia, semisal tentang keadilan. Dalam al Qur’an
sendiri, ajaran keadilan ini terdapat dalam Surah an Nahl ayat 90, yang
mencerminkan bahwa dalam konteks kehidupan bersama, semua manusia memiliki hak
yang sama. Namun apa itu keadilan? Secara terminologi, bila berpatok pada al
Qur’an dan pandangan Imam Ali, keadilan adalah memperhatikan hak-hak secara
kongkrit dan memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan amal dan
kapasitasnya.
Lebih lanjut, menurut Imam
Ali, sebagaimana dapat dibaca dalam Nahjul Balaghah, seluruh manusia memiliki
hak yang sama. Semisal tak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara
yang kaya dan yang miskin, antara pejabat dan pekerja, di mana hak mereka semua
dapat ditentukan sesuai dengan amal dan kapasitasnya. Sebagaimana Rasulullah,
Imam Ali juga menegaskan bahwa bersikap adil dan mempraktekkan keadilan
merupakan perintah Allah dan sekaligus kewajiban kepada Allah. Hal itu beliau
tegaskan ketika ia berpesan kepada para hakim, “Ketika kebenaran tiba, mereka
(para hakim) harus menyampaikan penilaiannya tanpa rasa takut, tidak memihak
atau berprasangka”. Sementara itu, dalam al Qur’an sendiri, selain dalam Surah
an Nahl ayat 90 itu, anjuran dan perintah untuk mempraktekkan keadilan juga
ditekankan dalam Surah an Nisa ayat 58 dan 135 dan Surah al Maidah ayat 8.
Dalam Surah an Nisa ayat 58, misalnya, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Sejalan dengan ajaran al
Qur’an tersebut, Imam Ali berkata, “”Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa
kekuasaan yang telah diserahkan kepadamu itu adalah hasil buruan yang jatuh ke
tanganmu. Itu adalah amanat yang diletakkan ke pundakmu. Pihak yang di atasmu
mengharapkan engkau dapat menjaga dan melindungi hak-hak rakyat. Maka janganlah
engkau berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat”.
Menghindari Kezaliman
Konsekuensi riil dari
upaya kita untuk bersikap adil salah satu contohnya adalah menghindari
perbuatan zalim. Dalam hal ini Imam Ali berkata, “Andaikan aku ditidurkan di
atas duri padang pasir tanpa pakaian, atau seandainya aku dibelenggu rantai dan
diseret di atas tanah, demi Allah aku bersumpah bahwa itu lebih baik daripada
seandainya aku berjumpa Allah dan Rasul di hari kiamat sementara aku pernah
menzalimi makhluk Allah atau aku merampas urusan-urusan duniawi”. Juga,
“Jadilah kamu musuh orang zalim dan sahabat orang mazlum atau tertindas”.
Sementara itu, salah-satu
cara untuk mendidik kita bersikap adil adalah dengan mengembangkan dan
menumbuhkan sifat pengasih dan penyayang kepada sesama manusia. Di sini Imam
Ali berkata, “Insafkan hatimu agar selalu memperlakukan rakyatmu dengan kasih
sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang
buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya
satu di antara dua: saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan sepertimu”.
Rupa-rupanya, ajaran Imam Ali tersebut sangat selaras dengan firman Allah dalam
al Qur’an yang berbunyi: ”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi (Al Maidah: 32).
Hak Ahlul Dzimmi
Ajaran penting Islam lainnya
dalam soal mu’amalah dan tata hubungan sesama manusia ini adalah ajaran tentang
tata-sikap kepada non muslim, salah satunya adalah kepada Ahlul Dzimmi. Imam
Ali Zainal Abidin as Sajjad (cicit Rasulullah) misalnya mengatakan, “Hak Ahlu
Dzimmah adalah bahwa engkau harus menerima dari mereka apa yang Allah terima
dari mereka dan engkau harus setia dengan perjanjian yang telah Allah tentukan
bagi mereka. Perlakukan mereka sesuai hukum Allah dan jauhilah kezaliman
terhadap mereka sebab mereka berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya.
Dari Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa beliau bersabda, Siapa saja yang
menzalimi kaum dzimmi berarti dia musuhku. Karena itu, takutlah kepada Allah
dalam hal ini”.
Ajaran Islam tersebut
sangat penting karena kita sadar bahwa kita hidup bukan di dunia yang homogen,
tapi di dunia yang heterogen dan plural, yang juga merupakan sunnatullah. Dalam
hal inilah, seorang muslim secara khusus atau ummat Islam secara umum, memang
diniscayakan untuk menjadi saleh secara pribadi dan secara sosial pada saat
bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar