Banten
Raya, 13 April 2013
Bangsa dan masyarakat yang
tidak punya sastra adalah bangsa dan masyarakat yang tidak punya jiwa. Itulah
analogi yang barangkali cukup pas untuk menggambarkan nilai dan fungsi sastra bagi
dan dalam sebuah bangsa atau masyarakat. Kenapa dianalogikan atau diumpamakan
demikian? Tak lain karena karya sastra lahir dari sebuah relung hati perasaan
dan jiwa hidup si penulis atau si pengarangnya itu sendiri dan dari dunia
keseharian itu sendiri yang sunguh-sungguh “dihidupi” oleh seorang penyair atau
sastrawan dengan pikiran, jiwa, imaji, dan perasaannya. Pun, seorang penyair
atau sastrawan sebagai individu sekaligus “cermin” dari masyarakat itu sendiri,
acapkali menyuarakan apa yang sebenarnya ingin disuarakan pikiran dan jiwa
sebuah bangsa dan masyarakat itu sendiri, semisal dalam karya-karya puisi
seorang penyair secara khusus, atau pun karya sastra seorang sastrawan secara
umum.
Penyair
dan Sastrawan Sebagai Corong
Jika demikian, maka tak
ragu lagi, karya-karya puisi seorang penyair secara khusus atau karya-karya
kesusastraan seorang sastrawan secara umum merupakan cermin dan pantulan dari
jiwa sebuah bangsa dan masyarakat di mana seorang penyair atau sastrawan hidup,
berkarya, bergulat, dan menuliskan puisi-puisi atau prosa-prosanya dengan
segenap pikiran, imaji, dan perasaannya itu. Karena itulah, seringkali seorang
penyair atau sastrawan dikatakan sebagai wakil atau corong nurani jiwa sebuah
bangsa dan masyarakat di mana seorang penyair atau pun sastrawan hidup dan
menuliskan karya-karyanya. Sebutlah, misalnya, kegelisahan, harapan, dan
imajinasi seorang penyair atau seorang sastrawan adalah kegelisahan, harapan,
dan imajinasi banyak orang yang ia suarakan di saat banyak orang hanya mampu
memendamnya di dalam hati dan benak mereka, tanpa mengemukakannya dalam
sejumlah tulisan, seperti dalam media sajak atau prosa.
Dalam konteks inilah,
seorang penyair atau sastrawan adalah wakil dari nurani sebuah bangsa dan
masyarakat itu sendiri, meski ia seringkali menuliskan karya sajak atau
prosanya lebih merupakan sebuah pergumulan atau pergulatan yang sifatnya
individual sekalipun. Ada banyak contoh yang dapat menjadi bukti bagi analogi
atau perumpamaan yang demikian. Jika kita membaca sejumlah puisi atau prosa
yang ditulis seorang penyair atau sastrawan, misalnya, di sana kita akan
menjumpai dan membaca sebuah narasi dan wawasan yang menceritakan dan
mengkisahkan peristiwa sosial dan bathin sebuah bangsa dan masyarakat, meski
motif dan niat awal seorang penyair atau sastrawan pada mulanya hanya hendak
mengungkapkan atau mengekspressikan jiwa dan nuraninya sendiri. Dalam hal ini,
kita dapat mencontohkannya dengan karya-karya sastra yang melukiskan dan
menggambarkan pergulatan seorang tokoh atau sebuah peristiwa yang ada dalam
sebuah bangsa dan masyarakat.
Sastra
Cermin Imaji Bangsa
Dalam banyak karya sastra,
kita juga seringkali mendapati karya sastra, semisal puisi atau prosa,
mencerminkan apa yang diimajinasikan sebuah bangsa atau masyarakat itu sendiri,
meski ditulis oleh seorang individu penyair atau sastrawan. Hal itu karena
seorang penyair atau sastrawan hidup dalam sebuah bangsa atau masyarakat, hidup
dalam bahasa bersama, dalam interaksi dan intersubjektivitas sebagai manusia
dan individu, bukan hidup di luarnya, yang karenanya karya-karyanya dapat
dibaca sebagai pantulan atau cerminan dari perasaan dan jiwa banyak orang,
meski ia sendiri bekerja dalam ruang individual dan privat sekalipun ketika
menuliskan karya sajak atau prosanya. Dengan demikian, pergulatan dan
perenungannya dapat dikatakan merupakan cerminan dan refleksi apa yang
dirasakan dan apa yang terjadi di dalam bangsa atau masyarakat itu sendiri.
Sementara yang menuliskan dan menyuarakannya adalah seorang penyair atau seorang
sastrawan.
Selain itu juga, karya
sastra, semisal puisi atau prosa itu, adalah cermin dari watak dan kecerdasan
sebuah bangsa dan masyarakat. Bangsa dan masyarakat yang terdidik dan literer,
contohnya, biasanya lebih produktif dalam membaca dan menulis. Di mana dengan
kegiatan tersebut, lahirlah kecerdasan sebuah bangsa atau masyarakat, yang
dampaknya tentu saja tak diragukan lagi, akan melahirkan dan menciptakan
kreativitas sebuah bangsa dan masyarakat itu sendiri. Membaca dan menulis juga
dapat menciptakan rasa percaya diri dan budaya kompetitif yang sehat dalam
sebuah bangsa dan masyarakat.
Pentingnya
Menggalakkan Budaya Kepenulisan
Namun, sayangnya, seperti
telah kita ketahui, salah-satu hal yang memprihatinkan kita saat ini, adalah
rendah-nya budaya baca dan menulis dalam bangsa dan masyarakat kita. Terlebih
lagi kondisi seperti ini semakin diperparah dengan hadirnya sekian
tayangan-tayangan televisi kita yang telah banyak merebut waktu orang-orang
dewasa maupun kanak-kanak, pagi, siang, sore, atau malam, hingga mereka lebih
gandrung memegang remote control dan meluruskan pandangan mata ke arah layar
kaca, ketimbang memegang sebuah buku dan membaca baris-baris aksara dan
paragraf yang ada di dalamnya.
Untuk menengarai dan
menengahi situasi seperti itu, kita tidak sepenuhnya mesti membebankan kepada
dunia dan institusi pendidikan formal, tetapi dengan menghidupkan ragam
komunitas dan kegiatan literasi dan dunia baca di luar sekolah formal, semisal
dengan mensupport sejumlah komunitas menulis dan membaca dan menggalakkan
event-event kepenulisan dan kesusastraan di luar dunia dan institusi pendidikan
formal.
Mengapa
komunitas-komunitas yang aktif dalam kegiataan dan penggalakkan dunia literer
penting didukung oleh kita atau masyarakat? Karena komunitas-komunitas
kesusastraan dan kepenulisan itulah yang melahirkan benih-benih kreativitas
dalam dunia kepenulisan dan kecerdasan sebuah bangsa dan masyarakat. Di sana,
tak hanya aktivitas dan kegiatan literer saja yang hidup, tapi budaya baca yang
dapat menumbuhkan jiwa kerja keras, kompetitif, dan jiwa kreatif sebuah bangsa
dan masyarakat, yang dengan demikian akan menjadi penyulut produktivitas sebuah
bangsa dan masyarakat dalam bidang kebudayaan secara umum, kepenulisan secara
khusus, dan ilmu pengetahuan.
Sastra
Cermin Orang Bijak
Selain dapat menumbuhkan
jiwa kreatif dan budaya baca, sastra juga merupakan cermin orang atau manusia
bijak. Kenapa dikatakan demikian? Sebab, dengan terus-menerus bergulat dan
bergumul dalam dunia perenungan dan penulisan, seorang penyair atau pun seorang
sastrawan sanggup mengemukakan sesuatu secara moderat atau dengan sudut pandang
dan metode yang lain, yang berbeda dari keumuman, dan sanggup melahirkan sebuah
lanskap dan dunia bagi wawasan dan kuriositas baru lewat tulisan-tulisannya,
entah berupa media sajak atau pun prosa.
Seorang penyair atau
sastrawan, misalnya, dapat mengaplikasikan dan menggunakan alat-alat dan
wacana-wacana linguistik-kebahasaan dan penuturan-penulisan, seperti kiasan
atau sindirian, bahkan ketika tulisan-tulisan dan karya-karyanya hendak
memaksudkan atau memaknakan sebuah kritik atau pun protes. Dan, sebagai medium
kebijaksanaan itulah, karya-karya sastra, juga seorang penyair atau sastrawan,
dapat memunculkan dan melahirkan kebijaksanaan bagi orang-orang yang membaca
dan mengapresiasi karya-karya sajak atau prosanya. Selain tentu saja, melakukan
penemuan dan penerobosan modus linguistik-kebahasaan dan melahirkan
wawasan-wawasan baru yang akan menjadi sumbangan alias kontribusi penting bagi
ilmu pengetahuan secara umum, dan estetika secara khusus.
Jika demikian, maka
dapatlah dikatakan, manusia atau masyarakat dan bangsa yang bijak adalah bangsa
dan masyarakat yang membaca karya-karya sastra, karena ia telah mengenal dan menyelami
suara jiwa dan cahaya nuraninya alias biafran dan senar-senar nyanyian dan
harapan jiwanya sendiri, lewat petikan-petikan dan ungkapan-ungkapan keindahan
dan keintiman yang sifatnya manusiawi yang terpancar dari karya-karya sajak dan
prosa para penyair dan sastrawannya. Dan akhirnya, masyarakat yang bijak itu,
akan menjadi masyarakat yang mencintai karya sastra dan para penulis, para
penyair, atau pun para pengarang karya-karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar