Radar Banten, 22 Agustus 2014
Siapa sangka, banyak
ayat-ayat al Qur’an yang ternyata dibenarkan oleh sains, yang tak ragu lagi,
telah mengakhiri era “permusuhan” antara Sains dan Agama, atau antara Sains dan
Wahyu, contohnya ayat Al Qur’an dalam Surah Al Anbiya: “Dan apakah orang-orang
yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya” (Al Qur’an
Surah Al-Anbiya: 30). Kita juga sudah maphum bahwa ada ayat-ayat suci yang
diwahyukan, yaitu al Qur’an, dan ada ayat-ayat kauniyah (wujud alam semesta dan
hidup kita sendiri) yang menjadi ayat atau tanda alias dalil dan hujjah yang
dapat kita pikirkan, kita jadikan tamsil dan ibrah. Sebagaimana dapat kita
komparasikan dalam khazanah tafsir dan linguistic, kata “kaafir” dalam ayat al Qur’an
itu juga bermakna sebuah penyebutan bagi orang-orang yang “tertutup”.
Berakhirnya
Pertentangan
Dan memang, ada suatu
zaman ketika sains menjadi musuh keyakinan agama –dan zaman itu sayangnya sudah
berlalu! Fisika dan kosmologi modern (sains mengenai awal-mula dan perkembangan
alam semesta) kini menyediakan bukti objektif kuat tentang eksistensi Tuhan,
mengkonfirmasikan atribut utama Tuhan, dan menunjukkan bagaimana Tuhan
menciptakan eksistensi fisik dari ‘kenihilan/ketiadaan’. Pengetahuan ini
berasal dari analisis kritis atas teori ‘Big Bang’, Teori Relativitas Khusus
Einstein, dan penelitian yang tengah dilakukan dalam Fisika Quantum. Konsep
dibalik pengetahuan ilmiah esoterik ini sekarang dapat disampaikan sedemikian
rupa, sehingga dipahami setiap orang yang berpendidikan modern.
Berdasarkan itu, pertama,
kita sekarang tahu berdasarkan teori-teori kosmologi yang diterima luas bahwa
alam semesta fisik yang kita lihat hari ini diciptakan dari ketiadaan (artinya
tanpa waktu, tanpa ruang, dan tanpa materi). Kedua, kita juga tahu bahwa
permulaan penciptaan alam semesta terjadi melalui cahaya yang menjelma pada
singularitas (satu titik tanpa dimensi). Ketiga, kita tahu bahwa materi alam
semesta fisik dilahirkan oleh photon-photon (paket-paket kecil energi cahaya)
yang ketika bertubrukan satu sama lain membentuk proton, neutron, dan elektron
dalam jumlah tak terhingga, yang dalam beragam kombinasi menyusun segala
sesuatu di dunia fisik kita. Keempat, pada esensinya kita sekarang bisa
mengatakan secara tepat bahwa semua materi alam semesta fisik, termasuk diri
kita, sebenarnya adalah cahaya yang melambat.
Kelima, kita jadi tahu
bahwa ruang yang memuat alam semesta fisik kita sedang mengembang/meluas. Konsep
ini begitu asing bagi pikiran manusia, hingga sebelum Albert Einstein
mengembangkan Teori Relativitas Umum-nya di awal abad 20, tak pernah terpikir
oleh pemikir-pemikir besar dunia, namun telah dinyatakan dalam Al-Quran lebih
dari 1400 tahun lalu saat Allah mengatakan pada kita, “Aku memperluas alam
semesta dengan kekuasaan-Ku.” Bahkan Einstein begitu terheran oleh temuannya
sendiri sehingga dia memalsukan datanya untuk menunjukkan alam semesta yang
tidak mengembang, karena dia cukup paham bahwa alam semesta yang mengembang
mengimplikasikan suatu momen penciptaan alam semesta di masa sangat lampau.
Belakangan Einstein dikabarkan memeluk Islam Syi’ah sebelum akhir hayatnya
setelah berkorespondensi dengan ‘Ulama Syi’ah Islam dan membaca ihwal Isra
Mi’raj Nabi Muhammad dan menelaah perkataan-perkataan intelektualnya Imam Ali
Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah.
Keenam, Teori Relativitas
Khusus Einstein (yang sebenarnya dia sebut sebagai Teorema Absolutisme, sebab
dia menyadari dirinya telah menemukan satu hal yang absolut di alam semesta
relatif) adalah tentang sifat-sifat istimewa cahaya. Ketujuh, Teori Relativitas
Khusus memungkinkan pandangan objektif pertama kita mengenai sesuatu yang eksis
di luar dunia materil. Dengan demikian, kita boleh jadi telah menemukan sesuatu
saat kita memperoleh pandangan pertama kita di luar dunia materil, tapi yang
kita temukan sungguh luar biasa. Kita ketahui Teori Relativitas Khusus Einstein
menunjukkan kepada kita bahwa eksistensi non-materil di luar dunia fisik hanya
terdiri dari absolut-absolut, dan beberapa dari absolut itu luar biasa mirip
dengan pandangan setiap agama sebagai atribut-atribut utama Tuhan.
Untuk dapat menerangkan
dan menjelaskannya kepada kita semua, ada baiknya kita paparkan sejumlah contoh
berikut. Contoh Satu: Ketika kecepatan cahaya (300.000 km/detik) tercapai, maka
waktu melambat, dan pada kecepatan cahaya, waktu tidak berlalu. Artinya, bagi
photon cahaya yang berjalan pada kecepatan cahaya, waktu tidak berlalu. Oleh
sebab itu, photon berada di luar waktu, dan “kekal”. Contoh Dua: Karena waktu
tidak berlalu bagi photon cahaya, dan bahwa photon bisa diamati di berbagai
tempat di ruang, maka photon cahaya berada di tempat berbeda-beda tersebut
secara serempak pada saat yang sama, dan oleh sebab itu “ada di mana-mana”.
Contoh Tiga: Karena setiap bit materi di alam semesta fisik terlahir oleh
energi cahaya, dan bahwa energi cahaya secara konstan menopang dan mengarahkan
aktivitas setiap bit materi dalam eksistensi fisik, maka tak ada kekuatan
selain kekuatan cahaya, energi cahaya adalah satu-satunya kekuatan yang eksis,
dan oleh sebab itu “mahakuasa”. Contoh Empat: Karena semua pengetahuan yang
eksis, yang pernah eksis, atau yang akan eksis, disimpan oleh energi cahaya dan
ditransmisikan melalui energi cahaya, maka tak ada pengetahuan selain yang
terkandung pada cahaya, dan oleh sebab itu “mahatahu”.
Cahaya dan Wujud Fisik
Selain itu, dan ini
penting direnungkan dan dipahami oleh kita, cahaya sebetulnya tidak eksis dalam
eksistensi fisik walaupun kita dapat melihatnya. Begitu Anda mendekati
kecepatan cahaya, salah satu dari tiga dimensi (panjang, tinggi, atau tebal),
yang sejajar dengan arah gerakan, secara progresif menjadi berkurang, dan pada
kecepatan cahaya, dimensi tersebut menjadi nol. Untuk menentukan volume, kita
mengalikan tinggi x lebar x panjang, tapi bila salah satu dari tiga dimensi itu
bernilai nol, maka volume pun nol, dan berarti tidak eksis di alam semesta
materil. Cahaya tidak menempati volume ruang dan oleh sebab itu tidak eksis di alam
semesta fisik. Dan, meski segala sesuatu di alam semesta fisik memiliki massa
lebih besar dari nol, yang menjadi ciri khas eksistensi di dunia materil,
cahaya tidak punya massa sama sekali. Ketika Anda mendekati kecepatan cahaya,
massa bertambah; pada kecepatan cahaya, massa adalah tak terhingga. Tak peduli
sekecil apapun jumlah massa saat Anda memulai, massa tersebut bertambah menjadi
tak terhingga pada kecepatan cahaya. Karena photon berjalan pada kecepatan
cahaya dan tidak mencapai massa tak terhingga, artinya ia punya massa nol saat
memulai, dan oleh sebab itu cahaya sebetulnya tidak eksis di dunia materil.
Dalam eksistensi fisik,
segala sesuatu adalah relatif; eksistensi absolut atau non-eksistensi dari
kualitas tertentu tidak dan tidak bisa diekspresikan, segala sesuatu eksis di
antara dua ekstrim continuum tersebut dari ekspresi absolut ke non-ekspresi
absolut. Meskipun demikian, kita menemukan bahwa di luar eksistensi materil,
semua kualitas eksis dalam status tak terhingga atau tidak eksis sama sekali,
tidak ada yang di antaranya. Nilai penting dari temuan ini adalah bahwa semua
itu merobohkan pendapat bahwa alam semesta fisik eksis sebagai sejumlah
partikel material tetap yang digerak-gerakkan oleh satu set hukum fisik tetap.
Pemahaman keliru atas eksistensi fisik inilah yang membentuk dasar filsafat
materialisme ilmiah. Filsafat materialisme-lah, terutama materialisme sekuler,
yang membolehkan keyakinan kepada Tuhan ditantang kuat oleh kaum atheis (kafir)
dalam beberapa ratus tahun belakangan, kurang lebih sejak masa Sir Isaac
Newton.
Tidak lagi mungkin secara
intelektual ataupun masuk akal secara logika, dipandang dari sudut temuan
fisika dan kosmologi modern, untuk mempertahankan pandangan atheis (bahwa Tuhan
itu tidak ada). Satu-satunya kesimpulan yang masuk akal secara logika dan jujur
secara intelektual yang dapat ditarik dari temuan sains modern adalah bahwa
Tuhan memang ada, bahwa atribut-atribut Tuhan adalah absolut, dan bahwa Tuhan
memang menciptakan alam semesta fisik (termasuk kehidupan manusia). Kita kini
berada di awal titik transisi dari pandangan materialistik sekuler menuju
pandangan spiritual berpusatkan Tuhan dan kerendahan hati sebagai manusia,
entah sebagai agamawan atau ilmuwan.
Sains dan Mistik
Sebagai tambahan, ada hal
menarik yang ternyata memberi kita perspektif baru yang segar yang dipaparkan
Peter Russell, sang ilmuwan dan matematikawan, yang dalam pengakuannya itu
menyatakan inspirasi sainsnya justru ketika berkenalan dengan tasawuf. Peter
Russel menulis bahwa puisi-puisi dan renungan para sufi ternyata mengajak kita
untuk merenungi ayat-ayat kauniyah dan diri kita sendiri, seperti ketika Peter
Russell menyitir kata-katanya Ibn Arabi, “Jika engkau mengenali diri engkau
sendiri, engkau akan mengetahui Tuhan”. Menurutnya, renungan dan refleksi
puitik Ibn Arabi itu mengajak kita untuk memikirkan dan merenungi diri kita
sendiri sekaligus semesta dan hidup di sekeliling kita.
Dan sebagai penutup, tak
ada salahnya kita merenungkan ilustrasi berikut, ‘Seorang astronot dan seorang
ahli bedah otak pernah berdiskusi tentang agama, ahli bedah itu seorang Kristen
dan seorang astronot tersebut adalah orang yang tidak beragama. Sang astronot
pun berkata: “Saya pergi keluar angkasa berkali-kali tapi tidak pernah melihat
Tuhan dan Malaikat”. Mendengar perkataan seperti itu sang ahli bedah otak pun
berkata: “Dan aku mengoperasi banyak otak cemerlang, namun aku tidak pernah
menemukan satu pikiran pun.” Dari perkataan sang ahli bedah otak itu
menunjukkan bahwa bukan berarti pikiran itu tidak ada walaupun setiap waktu
manusia menggunakan pikirannya, meski tak pernah sekali pun kita melihat wujud
dari pikiran itu sendiri, pikiran bukanlah materi yang terlihat. Andaikata
pikiran adalah materi, maka pikiran itu bisa dipecah-pecah menjadi
bagian-bagian yang paling kecil seperti layaknya benda atau zat. Pisau yang
bagaimana yang dapat memecah pikiran kita? Tidak ada tentunya. Begitu juga
dengan perkataan sang astronot itu tidak membuktikan kalau Tuhan dan Malaikat
tidak ada melainkan tidak terlihat karena bukan materi. Sejauh apapun Astronot
menjelajahi ruang angkasa, pasti tidak akan pernah menemukan malaikat apalagi
Tuhan’.
Setidak-tidaknya,
ilustrasi di atas sesuai dengan bunyi ayat al Qur’an, “Dan tatkala Musa datang
untuk pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya,
berkatalah Musa, Yaa Tuhanku, tampakkanlah kepadaku agar aku melihat kepada
Engkau, Tuhan berfirman, kamu sekali-kali tidak sanggup melihatKu, tapi
lihatlah ke bukit itu maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat
melihatKu. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikanNya
gunung itu hancur luluh dan Musa-pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali dia berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku
orang yang pertama-tama beriman” (al Qur’an Surah al A’raaf: 143).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar