Jamak diketahui oleh kita,
utamanya ummat Islam, air menempati posisi yang teramat penting dalam
keseharian, bahkan dapat dikatakan sebagai yang utama. Air bahkan merupakan
sesuatu yang dengannya kita bersuci sebelum sholat atau melakukan ibadah-ibadah
lainnya yang dianjurkan berwudhu dan bersuci. Kalau pun dibolehkan bersuci
dengan yang lainnya, semisal tayamum dengan debu, hanya dalam kondisi darurat
atau dalam situasi tidak normal saja. Hingga di kalangan ummat Islam, populer
pula hadits yang berbunyi “Kebersihan (kesucian) adalah sebagian dari iman”.
Nah, air sebagai
salah-satu unsur hidup dan bahkan pembentuk ekosistem kehidupan dan ekologi
ini, memiliki tempat yang sangat istimewa dalam Islam. Dalam al Qur’an surah al
Anbiya ayat 30, contohnya, ditegaskan: “Dan Kami jadikan dari air segala
sesuatu yang hidup”. Bila kita perhatikan bunyi “Kami jadikan dari air segala
sesuatu yang hidup” itu, tak ragu lagi bahwa air itu sendiri merupakan sesuatu
di mana “hidup” dan “sesuatu yang hidup” dijadikan dari dan dengannya.
Dalam konteks itu Jerrmein
Abu Shahba (Lihat Jerrmein Abu Shahba, Pohon Kenabian, Penerbit Citra Jakarta
Mei 2013, hal. 169-170), misalnya, menerangkan bahwa air merupakan unsur
kelahiran penciptaan utama makhluk hidup. Kita tahu, dalam kerajaan atau dunia
hewan dan manusia, yaitu kita sendiri, contohnya, kita mengenal sperma yang
adalah substansi yang terdiri dan terbentuk dari air, yang seperti kita tahu,
merupakan sebab penciptaan manusia, setelah penciptaan pertama (Nabi Adam As).
Begitu pula para ilmuwan menegaskan bahwa kehidupan dan kelangsungan hidup
tumbuhan dan hewan berada dalam dan di atas air, yang sumber utama air tersebut
turun dalam bentuk hujan, selain dari ekologi dan ekosistem air (semisal sungai
dan resapan air), sebagaimana ditegaskan al Qur’an surah an Nahl ayat 65: “Dan
Allah telah menurunkan air dari langit dan dengannya Dia menghidupkan bumi
setelah kematiannya”.
Visi Ekologi Mulla Sadra
Selain telah ditegaskan al
Qur’an dan al Hadits, masalah ekologis ini juga ternyata mendapatkan perhatian
seorang filsuf muslim, yaitu Mulla Sadra. Kita tahu dalam filsafatnya Mulla
Sadra secara umum memandang realitas ini sebagai kesatuan (holistic) dari
manifestasi ciptaan Yang Maha Kuasa. Visi filsafat Mulla Sadra sendiri memang
tidak bisa dilepaskan dari visi tauhid-nya sebagai seorang muslim. Dan
pandangan ekologis Mulla Sadra ini tentu saja mendahului visi ekologisnya
Fritjof Capra yang juga sama-sama memandang hidup dan realitas dengan paradigma
holistik, terutama dalam bukunya yang berjudul Webs of Life itu.
Sebagai contoh, dan tentu
saja perspektif ini relevan dalam ranah ekologis, Mulla Sadra memandang bahwa
semua yang ada seumpama rantai yang terkait satu sama lain, dan pandangan ini
akan mengingatkan kita kepada pandangannya Fritjof Capra dalam bukunya berjudul
Webs of Life tersebut bahwa suatu ekosistem dan realitas kehidupan merupakan
suatu jaringan dan keterkaitan satu sama lain, yang tak ubahnya jaring-jaring
yang terhubung satu sama lain. Namun pandangan Mulla Sadra tak hanya pada
konteks yang profan semata, tapi juga menyangkut visi kosmologi yang besar dan
umum. Menurutnya, “Yang Ada” sebagai yang padu dan holistik tersebut mencakup
Tuhan, malaikat, manusia, langit, bumi, galaksi, air, tumbuhan, dan yang
lainnya yang ada dalam semesta ini. Tepat di sini lah, apa yang dipahami Mulla
Sadra tersebut koheren dengan visi ekologis dan kosmologis Islam sebagaimana
ditegaskan al Qur’an.
Kita simak saja contoh
ayat al Qur’an (Surah al Mu’minun ayat 18) yang berkaitan dengan visi ekologis dan
kebetulan masih dalam konteks tentang air: “Dan Kami turunkan air dari langit
menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan
sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”. Ayat al Qur’an ini
tak luput dari perhatian Mulla Sadra, dan tentu juga kata “menetap” dapat kita
pahami sebagai air yang meresap di dalam tanah, yang mengalir di sungai-sungai,
yang tertampung di danau dan laut, dan lain sebagainya. Barangkali di sini kita
juga perlu menyimak sepotong untaian puisi seorang penyair Persia (Iran), Baba
Taher, tentang nilai penting dan makna air ini, “Aku melihat laut, dan aku
melihat Engkau”, di mana dalam sepotong larik tersebut, air dan laut memiliki
makna yang sakral dan transenden, sebagaimana Mulla Sadra juga melihat air dan
alam sebagai sesuatu yang sakral dan transenden, bukti Kemahabesaran Tuhan.
Nabi Muhammad Saw dan Kesadaran Ekologis
Sekarang kita kembali lagi
kepada Islam dan wawasan ekologis, di mana nilai-nilai dan spirit Islam juga
tidak mengabaikan aspek ini. Ada sebuah pepatah Arab yang cukup relevan di
sini, yaitu al Insan ibnu bi’atihi, manusia itu anak lingkungannya. Kesadaran
ekologis ini pun, berdasarkan riwayat Abu Dawud, Rasulullah pernah melarang
menebang pohon di gurun yang menjadi tempat berteduh bagi manusia dan hewan.
Bahkan, terkait dengan gerakan menanam pohon yang telah lama kita kenal, ribuan
tahun silam telah sangat dianjurkan oleh Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, di mana Rasulullah bersabda: “Tiada seorang Muslim
yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang,
melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah”.
Bayangkan, seperti terbaca
jelas dalam hadits itu, menanam pohon yang karenanya atau yang dengan pohon
yang kita tanam tersebut bermanfaat bagi mahkluk Tuhan, maka manfaat tersebut
dinilai dan dihitung sebagai sedekah, sebagai amal jariyah. Barangkali juga
manfaatnya dalam merawat dan menjaga ketersediaan oksigen bagi kebutuhan hidup
manusia dan makhluk Tuhan lainnya.
Sikap dan Aksi Kita
Persoalannya adalah, meski
Islam telah mengajarkan wawasan ekologis, hal itu tidak akan berarti apa-apa
jika ummat Islam sendiri tidak mengembangkannya lebih lanjut, semisal
menumbuhkembangkan aksi-aksi dan inovasi-inovasi yang dapat merawat dan menjaga
lingkungan dari kerusakan serta dari kehancuran. Seperti telah disebutkan,
sebagai salah-satu contoh, nilai air sebagai sesuatu yang sangat penting bahkan
utama dalam lingkungan dan alam, tak pelak lagi harus menjadi perhatian utama
kita. Sebagai contoh lagi, bila air rusak, tak terawat, kotor semisal tercampur
limbah beracun, maka dampak buruknya akan merambah dan berakibat ke segala hal.
Entah kepada tanaman, kepada tanah, dan lain sebagainya, yang pada akhirnya
akan berdampak buruk kepada manusia juga, kita sendiri, seperti gangguan
kesehatan dan kelangkaan air bersih itu sendiri untuk kebutuhan sehari-hari.
Tentu saja, praksis yang
paling nyata dan riil yang dapat dilakukan adalah memulai dari diri kita
masing-masing, ibda’ binafsik, semisal mulai hidup ramah lingkungan, mulai dari
hal-hal yang remeh seperti tidak membuang sampah sembarangan, bila kita sendiri
ingin mengamalkan seruan “Kebersihan (kesucian) itu sebagian dari iman”. Contoh
kecil lainnya adalah membiasakan diri tidak menghambur-hamburkan komoditas
keseharian kita, semisal menghindari untuk senantiasa membeli hal-hal yang
sebenarnya tidak kita butuhkan. Dan tentu juga, yang tak kalah penting, adalah
kebijakan dan inisiatif pemerintah dalam tingkatan dan jangkauan yang lebih
makro dan lebih besar, terutama pemerintah pusat, semisal bahwa pemerintah
tidak lagi mengalah kepada kebijakan dan negosiasi yang hanya menguntungkan
Negara-negara maju yang acapkali berlepas-tangan dari tanggungjawab terhadap
kerusakan lingkungan, semisal tunduk begitu saja atas tekanan Negara-negara
maju, yang bahkan dengan menggadaikan visi ekologis kita demi “kucuran uang”
dari Negara-negara maju, yang ironisnya uang tersebut tak imun dari korupsi.
Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar