Banten Raya, 23 September
2014
Menarik apa yang
disampaikan Capra dalam bukunya yang berjudul The Hidden Connection –bahwa ada
dua perkembangan dalam dunia modern yang memiliki dampak tak terabaikan bagi
masyarakat. Pertama, kebangkitan kapitalisme global –dan yang Kedua adalah
lahirnya kesadaran ekologis, di mana yang pertama dan yang kedua tersebut
saling bertentangan dan bertolak-belakang satu sama lain. Meski demikian,
berkat gerakan ekologis tersebut, upaya untuk menciptakan industri yang ramah
lingkungan pun akhirnya terus diupayakan dan masih diupayakan hingga saat ini.
Dalam hal ini, contoh soal yang menyita pikiran manusia modern itu adalah
sampah, terutama sekali bagi masyarakat perkotaan yang merupakan masyarakat
yang paling banyak memproduksi sampah –yang bahkan seakan-akan antara kota dan
sampah telah menjadi realitas yang menyatu sedemikian rupa.
Seperti telah sama-sama
kita tahu, secara sosiologis dan antropologis, kota bukan hanya tempat hunian
–tapi juga gugusan penanda dan arena di mana segala hal seakan tidak ada yang
tidak mungkin. Di kota, sebagai lokus interaksi ekonomi, sosial, budaya, dan
politik, misalnya, ada hiruk-pikuk yang membuat kota seakan tak pernah lelah
atau berhenti bergerak barang sejenak. Di kota pula kita bisa melihat
bentangan-bentangan reklame dan baligo-baligo politik yang mengumbar janji
politik masa depan dan menebar keramahan hingga hilir-mudik orang-orang yang
berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan. Begitu pula, di kota, yang bila kita
melihatnya dari kacamata konsumeristik, misalnya, belanja seakan merupakan
sebuah ritual wajib masyarakat mutakhir.
Di kota pula terjadi
perputaran (distribusi) uang paling dominan dan tersedianya ragam pekerjaan
yang menjanjikan kesejahteraan sekaligus sampah (residu) dihasilkan dalam skala
besar setiap harinya. Di kota ada keindahan dan kemewahan di sentra-sentra
tertentu –namun ada juga kekumuhan di sudut-sudut lainnya. Dalam hal ini,
sebagai sekedar contoh, bila kita melihatnya dari sudut pandang atau analisis
marxisme, kota merupakan tempat di mana potret perbedaan kelas sosial
ditampilkan dengan nyata dan jelas. Di lokasi tertentu, contohnya, hadir dengan
anggunnya kompleks hunian mewah, sementara di ujung lokasi lainnya ada para
gelandangan alias masyarakat marjinal dan kawasan yang aromanya tak sedap bagi
indra penciuman kita dan membuat tak nyaman pandangan mata kita.
Sementara itu, secara
sosiologis dan antropologis, misalnya, kota merupakan contoh yang paling riil
bila kita ingin melihat perubahan lingkungan sekaligus kebiasaan manusia yang
paling nyata dalam skalanya yang massif dan cepat.
Kota dan Pasar
Tak diragukan lagi, kota
dan pasar (kapitalisme) merupakan kesatuan wujud yang terbukti tak dapat dipisahkan.
Para penulis –yang juga disebut sebagai para filsuf dan pemerhati masyarakat
modern dan postmodern, misalnya, menyatakan bahwa hal yang paling tak
teringkari dalam mendesakkan perubahan yang cepat dan massif situasi
kemanusiaan masyarakat perkotaan kita saat ini adalah kapitalisme dan
pasar-pasar yang diciptakannya secara terus-menerus.
Bagaimana tidak, di jaman
ini, iklan dan pasar lah yang paling cepat menggerakkan tindakan dan tingkah
laku manusia –semisal dalam hal ritual untuk mendatangi pusat-pusat
perbelanjaan, yang bahkan mengalahkan seruan-seruan yang dikumandangkan
narasi-narasi agung keagamaan. Seakan-akan pasar lah agama baru kita saat ini
dan pusat-pusat perbelanjaan adalah kuil-kuil atau mesjid-mesjid di mana kita
melaksanakan ritual belanja tanpa rasa bosan. Iklan, misalnya, seakan-akan
merupakan imperatif alias perintah bujuk-rayu yang terlampau menggoda untuk
diabaikan begitu saja. Namun, bersamaan dengan itu pula, produksi sampah yang
semakin banyak pun menjadi kenyataan pula, sebagai residu modern yang tak
teringkari.
Meningginya sampah di
perkotaan memang sudah merupakan resiko tak terhindarkan bagi masyarakat
perkotaan –atau lebih tepatnya dalam masyarakat pasar global saat ini. Dengan
nada berseloroh, namun serius, para filsuf dan pemerhati kebudayaan, misalnya,
menyatakan bahwa bunyi adagium alias pameo masyarakat konsumeris mutakhir
perkotaan adalah: “Aku membeli, maka aku ada”. Jean Baudrillard, contohnya,
menyebut masyarakat konsumeris perkotaan adalah masyarakat yang senantiasa
digerakkan oleh perintah-perintah reklame dan iklan yang menyerbu kehidupan
mereka yang hadir di tiap sudut agar senantiasa membeli komoditas yang
diproduksi kapitalisme. Menyerbu dari segala sisi dalam keseharian, mulai dari
bentangan-bentangan reklame di setiap sudut kota dan jalan, hingga
tayangan-tayangan media elektronik dan publikasi media cetak harian atau pun
berkala.
Lihat saja hampir di tiap
sudut dan perempatan, di trotoar atau sepanjang jalan, tak ada yang sepi atau
lengang dari kehadiran baligo dan papan-papan iklan yang menyapa atau menyeru
kita untuk membeli komoditas terbaru. Papan-papan iklan dan baligo-baligo
reklame itu pun senantiasa berganti dan berubah sesuai dengan pergantian dan
kehadiran mode atau trend baru komoditas yang diproduksi dan lalu di-iklan-kan
sebelum dijual di pasar-pasar yang diciptakan kapitalisme.
Kota dan Residu
Hasrat untuk membeli dan
mengkonsumsi komoditas memang merupakan sesuatu yang sifatnya manusiawi,
terlebih dalam dunia kapitalisme mutakhir saat ini. Namun jangan lupa, ada
banyak komoditas yang menyisakan dan meninggalkan residu alias sampah yang
secara sosial dan ekologis mengancam kehidupan dan keseharian masyarakat itu
sendiri. Terlebih hampir semua komoditas kapitalisme masyarakat perkotaan
menyisakan atau meninggalkan residu (sampah) yang tidak mudah hancur dan
berkonfrontasi dengan hukum ekologi dan ekosistem alam.
Sebagai contoh, berbeda
dengan residu alam yang dapat menjelma ke unsur alam kembali semisal daun yang
dapat menjelma pupuk atau tanah subur, komoditas kapitalisme semisal
kemasan-kemasan yang terbuat dari plastik, tidak bisa lebur dan tetap berupa
plastik. Hingga tak salah jika para filsuf postmodern menyebut masyarakat
kapitalis adalah masyarakat yang senantiasa memproduksi residu (sampah) ketika
mereka terus-menerus memproduksi komoditas dan membeli serta mengkonsumsi
komoditas.
Jika demikian, maraknya
kehadiran mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya yang serupa harus
diimbangi dengan penanganan residu (sampah) yang serius pula, baik oleh pemilik
pasar-pasar dan pusat-pusat perbelanjaan tersebut atau oleh pemerintah yang
bekerjasama dan mendapatkan keuntungan dari hadir dan maraknya pasar-pasar
kapitalisme dan pusat-pusat perbelanjaan –semisal mall dan Carrefour itu.
Karena tentu saja kita tak ingin mewariskan sampah dan kerusakan ekologis bagi
anak cucu kita di masa depan.
Sementara itu, dari sisi
industrial, seperti diungkapkan banyak pemerhati dan praktisi perencana kota
dan perencana kawasan ekonomi, terutama para pakar eco-design, pada tingkat
lanjut keberhasilan pembangunan sebuah kota atau pun sebuah kawasan tak semata
diukur dengan maraknya kehadiran gedung-gedung atau industri yang mendongkrak
pendapatan ekonomi sebuah kawasan atau kota, tetapi sejauh mana pembangunan ekonomi
dan perkotaan dilakukan dengan mencipta keharmonisan dengan lingkungan kawasan
tersebut secara ekonomis dan ekologis pada saat bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar