Radar Banten, 23 April 2014
“Kalacitra adalah suatu
jaman ketika tekhnologi informasi dan komunikasi massa mampu memanipulasi
realitas”
Kalacitra adalah “era
citra” atau “jaman ikon”, suatu jaman ketika “citra” dan “gambar-gambar visual”
adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup keseharian
kita. Suatu jaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh
media-media reklame dan iklan serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era
mutakhir kita ini. Ketika imperatif-imperatif pasar begitu digdaya “menyeru”
dan seakan terus “memerintah” kita tanpa henti atau pun jeda untuk senantiasa
membeli. Jika kita meminjam istilahnya Jean Baudrillard, sebagai contoh,
kalacitra adalah suatu jaman ketika tekhnologi informasi dan komunikasi massa
mampu memanipulasi realitas, hingga yang ada dan hadir di hadapan kita tak lebih
simulasi belaka atawa simulakra. Di sana, sebuah atau sejumlah citra sanggup,
bahkan seringkali sangat digdaya, dalam memanipulasi realitas, atau bahkan
menggantinya dengan realitas “rekaan” atawa “realitas virtual” (virtual
reality), yang anehnya seringkali dianggap lebih real dan lebih otoritatif oleh
manusia yang telah menjelma masyarakat consumer alias masyarakat konsumtif.
Dan sebagaimana kita tahu
dan kita alami bersama saat ini, keseharian hidup kita telah dikepung oleh
citra-citra di berbagai tempat dan sudut hidup kita. Hampir di setiap tempat,
bahkan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan, kita akan senantiasa melihat
gambar-gambar, papan-papan, atau baligo-baligo reklame dan iklan, yang seakan
terus menggoda dan “memerintah” kita untuk “taat” kepada gerak dan hukum pasar.
Reklame dan iklan-iklan yang bertebaran di setiap sudut dan tempat kita hidup
itu seolah-olah tebaran firman yang sulit kita abaikan. Tak lain, seperti yang
telah dikatakan, karena visualisasi dan godaan verbalnya terasa lebih real dan
lebih dekat alias lebih akrab dengan kita ketimbang yang lainnya. Iklan-iklan
itu seakan senantiasa ramah menggoda, merayu, dan membujuk kita, tak ubahnya
Sirens alias penyihir perempuan nan amat jelita, hingga kita pun tak sanggup
menolaknya dan tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya.
Citra-citra itu seakan telah menjadi “realitas” yang lebih real dan lebih
otoritatif ketimbang otoritas-otoritas lainnya. Bahkan acapkali terasa lebih
meyakinkan ketimbang firman-firman atau fatwa-fatwa keagamaan.
Ironi Iklan
Dengan demikian, kalacitra
adalah sebuah jaman atau sebuah era dan masa ketika masyarakat atau publik luas
mengiyakan dan mempercayai begitu saja apa yang didesakkan iklan-iklan dan
reklame yang disebarkan secara massif, tanpa jeda, dan cepat oleh dan melalui
media massa, laiknya mereka menjalankan perintah-perintah agama, hingga pada
saat itu pula orang-orang melupakan banyak hal yang tidak diberitakan dan tidak
didesakkan oleh media massa. Kalacitra adalah sebuah jaman ketika iklan dan
reklame menggantikan imperatif-imperatif keyakinan religius, ketika aspek
kesadaran dan kognitif manusia seakan tak sanggup lagi menimbang dan
mempertanyakan apa yang didefinisikan oleh citra-citra yang disebarkan secara
massif dan cepat oleh berbagai reklame dan iklan atau sejumlah imperatif pasar
lainnya. Seakan-akan kita tak bisa lagi menampik barang sejenak semua yang
diujarkan media massa, yang dengan memanfaatkan efektivitas dan kecepatan
teknosains dan tebaran media massa, dapat dengan mudah berada di mana-mana,
mulai dari trotoar-trotoar jalan hingga ke sudut-sudut pedesaan. Seakan-akan
tempat-tempat ritual ibadah abad ini adalah Carrefour dan mall-mall, di mana
kita dapat dengan segera menumpahkan hasrat dan kerinduan kita untuk mencintai benda-benda
yang lebih nyata, yang memang ada di depan kita dengan kebaruannya yang terus
mengalami modifikasi.
Masyarakat Konsumtif
Jadi, pada saat bersamaan,
kalacitra adalah juga sebuah jaman yang dalam istilah Jean Baudrillard disebut
era-nya masyarakat konsumtif, era ketika orang-orang senantiasa berhasrat untuk
selalu membeli, bukan karena kebutuhan, tetapi karena memang seakan-akan
senantiasa diperintah untuk selalu membeli dan mengkonsumsi. Di era yang
disebut sebagai era “masyarakat konsumtif”, sebagaimana para penulis dan
sosiolog mutakhir menjulukinya semisal Jean Baudrillard dan George Ritzer, kita
hidup di mana iklan begitu berkuasa alias digdaya dan menjadi firman-firman
baru yang imperatifnya begitu halus dan merayu, menggoda dan menggiurkan, yang
anehnya kita justru tak merasa diperintah oleh iklan-iklan tersebut.
Iklan-iklan itulah yang
berfungsi sebagai “mesin pemompa hasrat”masyarakat konsumtif agar masyarakat
atau orang-orang selalu membeli dan mengkonsumsi, yang menciptakan dan
merekayasa kebutuhan, hingga setiap orang membeli bukan karena adanya kebutuhan
pada benda-benda yang mereka beli, tetapi seringkali hanya sekedar mengikuti
“trend” dan “gaya hidup” yang telah diciptakan dan direkayasa oleh sekian
banyak reklame dan iklan yang bisa kita jumpai di mana saja, di sudut-sudut
jalan, di tivi-tivi, di radio, dan di koran-koran. Di mana menurut para analis
dan penulis mutakhir itu, kapitalisme telah menciptakan dan mendefinisikan
aspek sosial dan aspek kognitif-nya sendiri dengan diskursus dan pencitraan
yang cepat dan massif, yang seringkali lebih efektif dan lebih diterima
ketimbang ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin agama untuk konteks saat ini,
bahkan agama pun tak luput dari praktek-praktek “komodifikasi”, tengok saja
dakwah-dakwah instant di tivi-tivi atau transaksi doa-doa dan pesan-pesan
religius via Short Message Servicealias SMS.
Agama pun Tak Luput
Siapa sangka, di jaman
yang oleh Baudrillard disebut sebagai era-nya“consumer society” alias
masyarakat konsumtif inilah, agama dan kapitalisme telah berdamai dan berjalan
mesra di segala aspek dan ruang yang saling berbagi, saling menunggangi, dan
saling memanfaatkan. Mengenal kredo yang sama: “kehendak menyendiri dan
asketisme adalah sebuah kegilaan”. Kita mesti merayakan ritual-ritual dan
imperatif-imperatif jaman ini bila tidak ingin dicap gila dan kampungan. Kita
harus terlibat dalam segala transaksi bila kita tidak ingin dituduh sebagai
para penyimpang. Bahwa justru karena kita tak bahagia dalam kebisuan dan
kesepian, makanya kita mesti terlibat dalam keriuhrendahan sudut-sudut,
etalase-etalase, dan pojok-pojok mall dan Carrefour, entah untuk membeli
sesuatu yang kita butuhkan dan tidak kita butuhkan atau sekedar menikmati
pemandangan yang seronok dan menggiurkan yang ditawarkan sekian ikon dan
gambar-gambar, benda-benda, dan lain sebagainya.
Di sana kitab suci dan
buku-buku doa instant yang ditulis oleh para ustadz instan dan jadi-jadian
bersanding dengan produk-produk pakaian dalam, sebuah realitas yang mungkin
akan dicela oleh Isa al Masih As bila saja hidup di jaman ini. Mungkin kita pun
tak lagi berhak meminta atau pun menuntut kemurnian dari ajaran-ajaran dan
perilaku-perilaku keagamaan kita. Seakan-akan tak ada satu pun yang luput dari
ekspansi kapitalisme perdagangan dan komoditas di jaman ini, dari politik
hingga linguistik.
Sebenarnya, ratusan tahun
silam sebelum Giles Deleuze, George Ritzer, dan Jean Baudrillard menulis,
Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang juga penyair itu, telah memaphumkan kita dengan
Zarathustra-nya, bahwa kita hidup dalam ambiguitas yang seringkali tidak kita
sadari. Sarkasme Nietzsche tersebut, betapa pun sinis dan menelanjangi kita,
adalah sebuahkejujuran luar biasa ketika ia mengatakan bahwa yang akan merebut
perhatian paling besar kita di jaman ini adalah “pasar”. Singkatnya, kita tanpa
sadar, tengah merayakan nihilisme, yang anehnya seringkali tidak kita akui
dengan jujur dan terus-terang sebagaimana Nietzsche mengakui dan meramalkannya.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar