Dipublikasi secara
bersambung di Radar Banten,
22-23 November 2013
“Mungkinkah orang tidur
membangunkan orang yang tidur?” (Sa’adi, Gulistan). “Barangsiapa mengikuti
jalan pencarian kebenaran, ia akan kehilangan mahkota kebanggaan sekaligus kehilangan
kepala rasionalitas” (Nizami, Treasury of Mysteries).
Dalam khazanah peradaban
dan intelektual Islam, sufisme dapat diumpamakan sebuah kotak berisi emas yang
tak terkena karat. Karya-karya sastra dan intelektual kaum sufi merupakan
perbendaharaan wawasan keagamaan Islam dan humanisme universal tanpa dibatasi
oleh perbedaan etnis, agama, kebangsaan, dan entitas politik pada saat
bersamaan. Ia merupakan taman ruhani yang senantiasa menghadirkan bunga-bunga
indah dan segar bagi kita yang mengunjunginya. Karya-karya sastra mereka
menyediakan katarsis (penyembuhan dan refleksi) bagi kita yang membacanya, jika
saya meminjam istilahnya Aristoteles, tentang salah-satu fungsi seni dan sastra
yang dapat menjadi cerminan tentang diri kita sendiri sekaligus menjadi semacam
“penyembuhan” bagi hati, jiwa, dan kesadaran kita sebagai pembaca, semisal
dapat merasakan rasa senang, terhibur, dan hilangnya rasa derita yang tengah
kita tanggung ketika membaca karya-karya sastra atau menikmati pentas seni.
Maka, sastra dan seni, ternyata, memiliki dampak sangat positif bagi sisi
ruhani kita, selain menghadirkan keindahan.
Secara pedagogik, banyak
kandungan-kandungan reflektif tentang pengajaran akhlaq dalam sastra kaum sufi,
utamanya tercermin dalam puisi-puisi mereka. Bahkan dengan cukup bagus,
Muhammad Ja’far Mahjub mengatakan bahwa aspek pengajaran akhlaq ini merupakan
salah-satu ruh sastra sufisme (Lihat Muhammad Ja’far Mahjub, Futuwwah dan
Sufisme Persia Awal, Pustaka Sufi 2003, hal. 1-4). Seringkali ajaran dan nilai-nilai
akhlaq ini disampaikan dan dinarasikan lewat fabel seperti yang dilakukan
Fariduddin Attar dengan karya mashurnya Mantiq at Thayr (Lihat Fariduddin
Attar, Musyawarah Burung, Tarawang Press 2003) dan Firdausi dengan
Shahnameh-nya itu. Sementara itu, James Winston Morris, menyatakan bahwa
salah-satu aspek khazanah para penulis dan pemikir klasik Islam tak ubahnya
para pembangun dan penyingkap kesadaran ruhani kita sebagai manusia yang berada
dalam dunia dan kosmik, di mana manusia merupakan bagian tak terpisahkan dengan
kosmik dan dunia tersebut (Lihat James Winston Morris, Sufi-sufi Merajut
Peradaban, Forum Sebangsa, Jakarta 2002).
Sufisme Sebagai Taman Ruhani
Sastra, utamanya puisi,
tak semata cerminan kapasitas rasio, namun merupakan cerminan utuh dari
keseluruhan ruhani dan intelegensia manusia. Ia berkenaan dengan “dzauq”
(perasaan bathin) dan eksistensi ruhani. Di sini, sebagaimana dikemukakan
Annemarie Schimmel ketika ia menerangkan tentang posisi penyair sufi An Nuri,
khazanah intelektual dan kesusastraan kaum sufi lahir dari jantung kalbu (heart
of the heart), yang memiliki empat tingkat pemahaman. Pertama, shadrun (dada)
dihubungkan dengan Islam (QS 95:22). Kedua, qalbun dihubungkan dengan iman (QS
40:7). Ketiga, fu’adun (kalbu bathiniah) adalah kursi ma’rifah dan pengetahuan
intuitif (QS 50:11). Dan Keempat, lubb (inti hati yang paling dalam)
dihubungkan dengan tawhid (QS 3:190) (Lihat Annemarie Schimmel, Abu Husayn al
Nuri, Pustaka Sufi 2002, hal. 10). Meski Annemarie Schimmel dalam kasus tersebut
hanya berbicara tentang Abu al Husain an Nuri, namun puisi para penyair sufi
yang lahir dari “taman ruhani” mereka tercermin juga dalam puisi-puisinya
Attar, Rumi, Hafiz, dan yang lainnya.
Sementara itu, secara
umum, puisi lahir dari keintiman seseorang dengan dunia dan keseharian. Di
sini, puisi yang berhasil adalah puisi yang sanggup menciptakan realitas dalam
puisi sekaligus memantulkan refleksi ruhani kepada para pembacanya, yang dengan
itu pula pencitraan dan kiasan menjalankan fungsinya, bahkan pada tingkat lebih
jauh, pencitraan dan kiasan tersebut sanggup menciptakan fantasi dan
transendensi demi menggambarkan sebuah dunia-realitas yang unik dan memang
hanya milik puisi itu sendiri. Martin Heidegger melalui puisinya yang berjudul
Poetry, Language and Thought itu mengatakan bahwa puisi bisa dipahami sebagai
puncak pemikiran, akan tetapi pemikiran yang dimaksudkan Heidegger itu tak
semata hanya kemampuan dan kapasitas salah-satu fakultas tubuh kita yang kita
sebut rasio, pemikiran yang dimaksudkannya adalah keterlibatan dan keintiman
seluruh pancaindera kita termasuk hati, dengan aspek perasaan dan sisi ruhaniah
kita sebagai manusia (Lihat Bambang Riyanto, Care: The Ontological Foundation
of Dasein dalam Majalah Filsafat Diryarkara Tahun XXV, No.2, hal. 5-19).
Heidegger memang berbicara
tentang ketersituasian manusia dalam dunia, apa yang ia sendiri menyebutnya
sebagai Being in the World alias “berada dalam dunia”, yang juga mengingatkan
kita pada eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, mirip seperti ketika jatuh
cinta yang dalam bahasa Ingris ditulis dan diucapkan menjadi “Fall In Love”
alias “Jatuh dalam Cinta” atau “berada dalam cinta”. Keintiman ruhaniah serupa
akan kita jumpai dalam puisi-puisi para penyair sufi ketika mengunggkapkan
aspek mahabbah dan kedekatan mereka kepada Sang Khalik, yang acapkali mereka
kiaskan dengan kata dan perbendaharaan “anggur” dan “kedai” saat hendak
menggambarkan rasa cinta dan rindu mereka yang sunyi sekaligus bergejolak, yang
“memabukkan”. Dalam hal ini, puisi-puisi mereka merupakan media dan instrument
sebagai “pengobat” atau “penyembuh” kerinduan bathin mereka.
Susastra Sebagi Katarsis
Sebuah karya sastra,
utamanya puisi, menjadi dekat kepada kita ketika puisi yang kita baca menjadi
“cermin reflektif” hidup kita sendiri sebagai pembacanya. Hal ini berlaku,
sebagai contohnya, ketika manusia-manusia modern menemukan “refleksi diri” dan
“pemenuhan dahaga kekeringan spiritual” mereka dengan membaca puisi-puisinya
Jalaluddin Rumi. Seperti kita tahu, dengan kekuatan lintas-batasnya yang
melampaui sekat-sekat etnik, kebangsaan, bahkan agama, puisi-puisi Jalaluddin
Rumi begitu menjadi “inspirasi”, “katarsis”, dan “pemenuhan dahaga spiritual”
manusia-manusia modern di lintas benua dan bangsa di saat mereka merasa jenuh,
bosan, terjebak “kehampaan”, dan “disibukkan rutinitas keseharian” mereka.
Puisi-puisi Jalaluddin Rumi bahkan menjadi “inspirasi”, “refleksi”, dan
“katarsis” bagi mereka yang tengah jatuh cinta atau pun putus-asa.
Pertanyaannya: mengapa
puisi-puisi sufistik Jalaluddin Rumi bisa sedemikian berpengaruh seperti itu?
Tak lain karena puisi-puisinya menjadi semacam “penawar” dan “pengobat”
kerentanan “eksistensi ruhani” manusia yang memang bersifat universal tanpa
pandang bulu. Hal serupa juga berlaku bagi puisi-puisi Hafiz dan Attar, untuk
menyebut dua contoh penyair sufi lainnya. Marilah kita simak salah-satu puisi
Jalaluddin Rumi yang berjudul Yang Seribu dari Jiwaku:
Wahai Tuhan Pemilik
Keindahan, Pemilik Anugerah masukilah jiwaku
sebagaimana kau masuki kebun yang penuh bunga
sebagaimana kau masuki kebun yang penuh bunga
Hanya sebab kerling-Mu
batu berubah jadi manikam
Satu isyarat dari-Mu telah cukup untuk
mencapai setiap tujuan
Satu isyarat dari-Mu telah cukup untuk
mencapai setiap tujuan
Datang, datanglah.
Engkaulah kehidupan dan pembebasan manusia
Datang, datanglah. Engkaulah mata dan cahaya Yusuf
Eluslah kepalaku. Sebab sentuhanmu mencahayai kegelapan tubuhku
Datang, datanglah. Engkaulah mata dan cahaya Yusuf
Eluslah kepalaku. Sebab sentuhanmu mencahayai kegelapan tubuhku
Datang, datanglah. Engkau
menganugerahkan keindahan dan rahmat
Datang, datanglah. Engkau penyembuh seribu jenis penyakit
Datang, datanglah. Meski belum pernah kau tinggalkan aku
tetaplah kemari dan dengarkanlah puisiku
sebab Engkaulah yang seribu jumlahnya dari jiwaku
Datang, datanglah. Engkau penyembuh seribu jenis penyakit
Datang, datanglah. Meski belum pernah kau tinggalkan aku
tetaplah kemari dan dengarkanlah puisiku
sebab Engkaulah yang seribu jumlahnya dari jiwaku
Pergilah dan bawa serta
kerinduan masa lalu
Engkaulah Kekasihku
Engkaulah Kekasihku
Jika Raja tidak bersemayam
di singgasana dunia ini
Yang ada hanya kegelapan dan kegamangan
Yang ada hanya kegelapan dan kegamangan
Engkau bergembira dan
hidup dengan napas-Nya
Engkau bergerak karena kekuatan yang mengalir dari cinta-Nya
Sekarang saatnya, seperti seniman, Engkau mencipta
Sekarang saatnya, seperti pelayan, engkau menyapu
Engkau bergerak karena kekuatan yang mengalir dari cinta-Nya
Sekarang saatnya, seperti seniman, Engkau mencipta
Sekarang saatnya, seperti pelayan, engkau menyapu
Setiap yang Kau sentuh
akan menuju
dan terbang bersama sayap-sayap bidadari
Namun, ingatlah, sayap-sayap itu tak cukup kuat
membawamu terbang menuju Tuhan
Sama seperti seekor kuda bagal yang dikendarai Nabi
Hanya cinta yang akan membawamu kembali menuju Tuhan.
dan terbang bersama sayap-sayap bidadari
Namun, ingatlah, sayap-sayap itu tak cukup kuat
membawamu terbang menuju Tuhan
Sama seperti seekor kuda bagal yang dikendarai Nabi
Hanya cinta yang akan membawamu kembali menuju Tuhan.
(Penerjemah: Asih
Ratnawati, Terompah Jogjakarta 2000).
Jika kita baca dan kita
simak secara seksama, puisi Jalaluddin Rumi tersebut merupakan gambaran yang
kuat tentang keintiman seorang penyair sufi dengan Tuhan-nya yang pada saat
bersamaan menggambarkan Tuhan yang diakrabinya diintimi dalam keindahan, yang
dengan itu seorang penyair sufi mengungkapkan rasa sunyi dan rindu dalam “taman
ruhaninya” yang begitu dalam, berusaha menjadikan “yang dicintainya” sebagai
satu-satunya yang dapat memberinya “kecukupan”, “kepuasan”, dan “keindahan” itu
sendiri. Di sisi lain, puisi tersebut ketika dibaca oleh kita akan memancarkan
keindahan “ruhani” dan “pancaran religius” yang dapat menginspirasi kita atau
bahkan menguatkan religiusitas kita.
Menurut Reynold A.
Nicholson (Lihat Reynold A. Nicholson, Gagasan Personalitas dalam Sufisme,
Pustaka Sufi 2002, hal.75-107),
contohnya, salah-satu kekuatan seduktif puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah
karena “makna dan pancaran bathin-”nya yang dalam diungkapkan dengan bahasa dan
tuturan yang akrab di telinga dan pemahaman para pembacanya. Kiasan-kiasannya
digali dari persoalan-persoalan keseharian manusia yang universal.
Sebagaimana Fariduddin
Attar, yang adalah gurunya Jalaluddin Rumi, pesan-pesan sastrawi seputar akhlaq
dan aspek religius serta pencarian spiritual juga dikemukakan dan dinarasikan
melalui bentuk naratif fabel, prosa, dan anekdot (Lihat Jalaluddin Rumi, Yang
Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, Pustaka Hidayah 2001, hal. 14-5).
Upaya menggunakan fabel, prosa, dan anekdot itu pun tak lan dimaksudkan agar
pesan dan makna religius dan spiritual, kandungan “taman ruhani” karya-karya
sastra dan pengajarannya dapat ditangkap dan dipahami oleh pembaca, tanpa harus
kehilangan kedalaman makna dan keindahan sastrawi itu sendiri. Simaklah
puisinya yang berjudul Yang Tercinta:
Ada sebuah tempat di mana
kata-kata
menjadi sunyi
di mana bisikan-bisikan hati muncul dan
tak tertabiri
menjadi sunyi
di mana bisikan-bisikan hati muncul dan
tak tertabiri
Ada sebuah tempat di mana
suara
menyanyikan keindahanmu
sebuah tempat di mana setiap nafas
memahat dirimu
di jiwaku
menyanyikan keindahanmu
sebuah tempat di mana setiap nafas
memahat dirimu
di jiwaku
(Penerjemah: Asih
Ratnawati, Terompah Jogjakarta 2000).
Hafiz, Rindu, Tuhan
Hafiz dari Syiraz yang
bernama lengkap Syamsuddin Muhammad, mulai diapresiasi di dunia intelektual dan
kebudayaan Barat sejak karya-karya puisinya memukau para peneliti dan pujangga
dari Jerman dan Perancis, terutama berkat Goethe yang adalah pujangga raksasa
Jerman itu. Daya tarik puisi-puisi Hafiz tak lain karena suara dan tema yang
diangkatnya melampaui batas-batas keagamaan, etnik, dan kebangsaan, yang
salah-satunya ajaran toleransi (tasamuh) dan welas asih. Sebenarnya tak hanya
di Barat saja, di Timur sendiri banyak ulasan tentang keunikan dan keistimewaan
Hafiz. Dalam salah-satu ulasannya tentang Hafiz, misalnya Ibrahim Amin
al-Shawaribi menulis: “Pada masa kecil dan remaja, Hafiz tak bisa menulis
puisi. Dia gubah puisi, orang-orang tak terpesona. Dia suka gadis desa
tetangganya, gadis itu malah menolak dirinya. Lalu, dia iktikaf di sebuah
makam, berkhalwat dan berdoa selama 40 hari, sampai dia mimpi bertemu Ali bin
Abi Thalib Karramallahu Wajhah yang memberinya santapan dari surga. Hafiz
menceritakan hal ini dalam ghazalnya, “Malam kemarin, pada waktu sahur, mereka
menyelamatkanku dari duka dan nestapa” (Diwan Hafiz al-Shirazi, Muhammad bin
Baha’ al-Din Muhammad (Hafiz al-Shirazi), terjemah ke dalam Bahasa Arab oleh
Ibrahim Amin al-Shawaribi, Teheran: Mehrandish li al-Nashr, cet. I, 1999, h.
10).
Dikisahkan ada fakta
menarik saat Hafiz wafat, di mana di saat wafatnya sekelompok ulama menolak
pengurusan jenazahnya dengan dalih keber-agama-annya meragukan dan keyakinannya
mencurigakan. Sekelompok ulama lain tidak menyetujui tuduhan itu. Lalu, mereka
mencari keputusan dengan mengundi melalui syair-syair Hafiz yang tertulis dalam
beberapa lembaran kertas. Kertas yang keluar dalam undian itu adalah bait
terakhir Ghazal 48 yang berbunyi, “Jangan ragu-ragu mengantar Hafiz ke
pusaranya. Dia memang tenggelam dalam dosa. Tapi dia akan pergi ke
surga.”(Diwan Hafiz al-Shirazi, Muhammad bin Baha’ al-Din Muhammad (Hafiz
al-Shirazi), terjemah ke dalam Bahasa Arab oleh Ibrahim Amin al-Shawaribi,
Teheran: Mehrandish li al-Nashr, cet. I, 1999, h. 10).
Secara umum, puisi-puisi
Hafiz merupakan kekayaan hidup yang ditimba dari ikhtiar pembacaan, renungan,
dan pengalaman seorang penyair dalam menjalani kefanaannya. Puisi-puisi Hafiz
sarat dengan seduksi-nada, memainkan dan mengeksplorasi kesederhanaan tuturan
tanpa kehilangan daya-pikat simbolik. Kalau pun ada muatan pedagogik di
dalamnya, tetap diungkapkannya dengan lembut dan jernih. Kesederhanaan gaya
penuturan-puitis Hafiz tersebut justru adalah kekuatannya untuk memudahkan
penyampaian dan ikhtiar berbagi dengan pembaca sejauh menyangkut pengalaman
puitik seorang mistikus atau pun penyair. Tak jauh berbeda dengan Jalaluddin
Rumi, dunia taman ruhanai Hafiz adalah dunia kerinduan kepada Tuhan, meski di
saat yang sama, puisi-puisinya merupakan sebentuk keterlibatan dengan hidup itu
sendiri. Di saat yang lain, puisi Hafiz berbicara tentang kerentanan subjek
melalui tuturan simbolik. Daya-pikat simbolik tersebut tentu saja terasah dari
keintiman yang kuat pada hidup, juga karena kerinduan spiritual kepada Tuhan
(Lihat Daniel Ladinsky, Aku Mendengar Tuhan Tertawa, Risalah Gusti 2005).
Ketika kita membaca
puisi-puisi Hafiz, kita akan tahu bahwa Tuhan-nya Hafiz adalah Tuhan yang
pengasih dan penyayang. Tuhan yang menjadi kekasih seorang hamba yang dirundung
cinta; Tuhan yang mendatangkan rindu: “manakala kebahagiaan mendengar namamu,
ia tengah berlarian ke jalan-jalan, mencoba untuk menemukanmu”. Dan kebahagiaan
seorang yang dirundung cinta adalah tak lain kedatangan kekasihnya: “dan
beberapa kali dalam minggu lalu, Tuhan sendiri bahkan telah sampai di pintuku”.
Dan buah rindu atau perjumpaan tak lain adalah sebuah lagu: “mungkin hendaknya
kita menggubah puisi ini ke dalam lagu”. Begitulah puisinya yang berjudul
Beberapa Kali Dalam Minggu Lalu.
Menurut Hafiz, Tuhan yang
tertawa ini adalah Tuhan yang terjaga untuk menemani kekasihnya: “Apa itu
ketawa? Apa itu tawa? Ia adalah Tuhan yang tengah terjaga!”. Dengan ini pula
Hafiz menyindir dengan halus dan lembut mereka-mereka yang cemberut dan tak mau
tersenyum: “Oh makhluk yang mengagumkan, oleh kejadian aneh apa engkau begitu
sering tidak tersenyum?”. Akhirnya, Tuhan yang tersenyum dan tertawa adalah
Tuhan yang ramah dan pemaaf. Ia mungkin bisa memaafkan kelalaian kekasih-Nya.
Susastra, Religiusitas,
Katarsis
Contoh-contoh puisi
Jalaluddin Rumi dan Hafiz itu memancarkan dimensi ruhani yang lembut dan dalam.
Ketika kita membacanya, dimensi religiusitas kita pun kemudian mendapatkan
penyegaran dan pencerahan. Di sinilah letak “katarsis” dan daya “inspiratif”
puisi-puisi mereka bagi dan kepada kita yang membacanya. Tentu, selain
memberikan pencerahan dan penyegaran religiusitas kita, puisi-puisi mereka juga
sanggup membuka pintu-pintu baru bagi wawasan kita kepada hidup, mengajak kita
dengan santun dan lembut, tidak menggurui dan cenderung menghadirkan diri
sebagai penggugah sisi ruhaniah dan pikiran kita dalam memandang diri kita dan
hidup itu sendiri. Kosmologi puisi-puisi mereka memang dibangun dari pengalaman
bathin yang sifatnya menegur dan menyapa dengan santun, memancarkan keintiman
religius, dan sekaligus manifestasi sikap afirmatif pada keseharian.
Puisi-puisi sufisme,
dengan caranya yang mengajak kita “melihat” dan “merenung” ke dalam diri kita dan
mengkomparasikanya dengan “kosmik” di sekitar kita, membuat kita mendapatkan
cermin dan perbandingan untuk melihat dan memandang diri kita ketika kita
membacanya. Selain itu, puisi-puisi sufisme pun menularkan kearifan dan wawasan
akhlaq dengan caranya “menyapa” kita, sesekali menegur dengan lembut dan
menyentil dengan tetap didasarkan pada welas-asih dan ujaran-ujaran yang
sifatnya komparatif, perumpamaan, dan contoh-contoh yang bijaksana dan tidak
terkesan verbal dan menggurui, hingga ketika kita membacanya, kita ikut
merefleksikannya bersama-sama puisi-puisi yang kita baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar