Radar Banten, 21 Juni 2012
“Secara budaya dan
linguistik, wilayah Banten adalah pertemuan ragam bahasa dan budaya, selain
telah menjadi tempat berakulturasinya sejumlah pengaruh dan kebudayaan dari
luar Nusantara. Namun demikian, mayoritas para ahli telah sepakat bahwa di masa
kuno-nya, Banten merupakan tempat lahirnya bahasa dan budaya ‘Sunda Kuno’, yang
di dalamnya termasuk sastra, yang dalam hal ini berupa peninggalan dan warisan
sastra lisan berupa pantun, rajah, mantra atau percampuran ketiganya sekaligus,
dan tak lupa juga sastra yang sifatnya prosa-naratif”
Secara umum, pantun yang
dipahami oleh “masyarakat Sunda Kuno” di Banten berbeda dengan pengertian
pantun modern, yang hanya dipahami sebagai larik berulang itu. Sebab, seperti
telah ditunjukkan langsung oleh bentuk dan bunyi pantun “masyarakat Sunda Kuno”
itu, pantun ternyata masih dikaitkan dengan tradisi yang sifatnya keagamaan,
semisal ruwatan. Dalam tradisi masyarakat Sunda Kuno ini, pantun adalah
“pembacaan mantra dan lirik prosa atau cerita pantun yang dibaca oleh juru
pantun sembari memainkan kecapi parahu alias kecapi gelung atau dengan diiringi
permainan angklung, di mana yang menggunakan kecapi tersebut dua ujung
kecapinya mirip sebuah gelung yang melengkung, dalam sebuah acara ruwatan untuk
meminta keselamatan.”
Salah-satu komunitas adat
masyarakat Sunda di Banten yang telah melahirkan pantun dalam artian tersebut,
adalah masyarakat adat Sunda-Baduy atau masyarakat Kanekes. Pantun yang lahir
dari masyarakat Baduy tersebut, seperti dikatakan para filolog dan
sejarawan-budaya, merupakan pantun yang memiliki nilai magis dan spiritual yang
lebih murni ketimbang pantun-pantun yang lahir dari masyarakat atau
komunitas-komunitas adat Sunda lainnya. Selain itu, Urang Baduy sendiri
menganggap cerita pantun sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh
dipergelarkan secara sembarangan.
Meskipun demikian, selain
sisi magis dan efek mantranya, itu carita pantun Urang Baduy kadang-kadang juga
digunakan untuk merujuk tempat-tempat di alam nyata, semisal Pasir Batang
Lembur Tengah, Pasir Batang Lembur Hilir, atau Pasir Batang Lembur Girang. Di
mata kata “batang” itu juga merupakan kiasan tubuh manusia, sehingga penyebutan
itu sendiri dapat diartikan sebagai penyebutan bagian-bagian tubuh manusia,
semisal Girang yang berarti kepala, Lembur Tengah yang berarti perut, dan
Lembur Hilir yang berarti bagian kaki. Begitulah di jaman Kerajaan Sunda,
nama-nama tempat dicocokkan dengan sebutan Girang, Hilir, atau Tengah.
Sementara itu, dari sisi
lakon dan subjek carita pantun setidak-tidaknya ada sepuluh judul, di mana
judul-judul lakon-lakon carita pantun itu menggunakan nama-nama satwa yang
sekaligus dipinjam sebagai para pelaku lakon carita pantun itu sendiri, yang dapat
dibagi menjadi beberapa golongan, yang antaranya adalah: (1) Golongan Munding
(Kerbau), seperti Munding Daratan, Munding Barang, Munding Mregaluncat, Munding
Mregalaksana, Munding Mregasingha, Munding Singha, Munding Liman, Munding Sari,
dan Munding Wangi. (2) Golongan Kuda, seperti Kuda Gandar, Kuda Jayengsari,
Kuda Kancana, dan Kuda Wangi. (3) Golongan Gajah, seperti Gajah Lumantung dan
Gajah Haruman. (4) Golongan Kidang atau Rusa, seperti Kidang Panadri dan Kidang
Pananjung. (4) Golongan Singa, seperti Singa Tajiwangsa dan Singa Kombala,
selain ada juga nama-nama lakon lainnya seperti Badak Sangara, Galudra Kancana,
Paksi Keling, Naga Menang, dan Naga Panggiling.
Juga, ada lakon-lakon
dengan tokoh-tokoh perempuan, seperti Lenggang Manik, Lenggang Haruman, Naga
Lumenggang Kusumah, dan Lenggang Wangi. Selain dengan menggunakan alat
instrument kecapi, carita pantun atau pun pantun mantra juga dibacakan oleh
juru pantun dengan menggunakan angklung, seperti dalam sebuah upacara
penghormatan kepada padi atau Dewi Sri Pohaci, semisal pantun Langga Sari Tua.
Sedangkan dua carita pantun yang dianggap sakral adalah carita pantun Lutung
Kasarung dan carita pantun Ciung Wanara, di mana Urang Baduy menganggap dua
carita pantun tersebut berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus, dan mereka lebih
mengenal carita pantun Lutung Kasarung tersebut sebagai Lakon Paksikeling,
semisal yang berbunyi berikut:
Japun! Awaking kiwari //
Deuk make pasang pasaduan, // Pasaduan guru. Ahung! // Pak sampun! // Majar
ahung tujuh balen // Ahung deui, ahung deui! // Ahung manglunga, // Ahung
manglingeu, // Ahung mangdegdeg, // Ahung manglindu. // Paksi kangkayang //
Basaning angka, // Hayam beureum putih kukang, // Anjing belang sina tawe, //
Mapay paksi ka hilirkeun, // Rempuh bayu ti galunggung, // Mapag bala ti
Jasinga, // Sasakala Indra Baya. // Ambuing sira mangumbang, // Bapaing terus
mangambung, // Pangjungjungkeun, // Panglawungkeun // Sora awaking. // Ka luhur
ka nu di manggung, // Ka nu wenang mucuk ngibun, // Ka atina sukma langlaung, //
Gurit leungit cakra mega, // Wekas tuang ka hineban, // Korejat milepas manten.
// Reuwas teuing ku impian, // Ngimpi ngadu picis di langit, // Totolan di
awang-awang, // Ditujah tuang tilepan, // Diwaca henteu kawaca, // Taya panca
aksarana. // Tujahkeun // Ka lautna, // Ka harusna, // Ka sagara leuleuy, // Ka
sagara ireng, // Ka sagara lolopangan.
Selain Lakon Paksikeling
tersebut, masyarakat Baduy juga memiliki khasanah yang sifatnya prosaik atau
cerita naratif, semisal Hikayat Dewa Kaladri berikut:
“Syahdan, sebagaimana
telah diceritakan banyak orang di Tatar Banten dan Kerajaan Sunda yang mulanya
beribukota di Banten Girang dan kemudian pindah ke Pakuan, sejak Sanghyang
sampai ribuan tahun ke belakang, waktu itu ada seorang Sanghyang yang bernama Sanghyang
Sakti yang mempunyai seorang anak laki-laki. Namun rupa anak ini sangat jelek
alias buruk sekali, badannya hitam dan perutnya buncit. Oleh ayahnya anak ini
diturukan ke bumi, disuruh bertapa dan mengelilingi dunia. Demikianlah si anak
buncit itu turun ke bumi. Kala itu ia sampai pusat kota Cipaitan, yaitu desa
Cihandam yang telah lama ditinggalkan, dan ia terus bertapa di Gunung Kujang.
Saat ia sedang bertapa, ia pun ditemukan oleh Daleum Sangkan sedang telentang
bertapa di atas sebuah batu yang besar. Persis ketika itulah, oleh Daleum
Sangkan ia dibawa pulang dan diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik
sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau
sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).
Apakah yang menjadi
menjadi kesukaan anak buncit ini? Tak lain memasang bubu setiap hari. Dan
lama-kelamaan istri Daleum Sangkan membenci anak buncit ini karena parasnya
yang jelek hitam, perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar
membelalak. Hanya saja Nyi Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut
terhadap Daleum Sangkan. Pada suatu hari, waktu itu, Daleum Sangkan mengajak si
anak buncit untuk memasang bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan
memasangnya di tempat yang baik dan dalam, ia harus memasangnya di tempat yang
jelek dan diangkat saja, agar tidak mendapat ikannya. Ketika itu Nyi Sangkan
berkata: “Kalau tempat yang baik adalah untukku memasang bubu, jangan oleh
kamu”. Lalu mereka masing-masing menempatkan bubunya.
Diceritakan, si anak
buncit itu memasang bubunya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi
Sangkan, yaitu di tempat-tempat yang jelek dengan arus airnya yang deras.
Sedangkan Nyi Sangkan menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya
yang tenang. Waktu keesokan harinya, saat mereka sama-sama melihat, bubunya Nyi
Sangkan tidak berisi ikan sama sekali, meski dipasang di tempat yang baik.
Sementara ketika bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikan di dalamnya,
bahkan ada seekor ikan yang besar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya
dibawalah pulang. Dengan kejadian itu, Nyi Sangkan bertambah benci terhadap
anak buncit itu. Ikan yang besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan
oleh anak itu, bahkan ia pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari
batang pohon kawung. Nyi Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi
si anak buncit ini tidaklah menghiraukannya.
Tak lama kemudian, Nyi
Sangkan mengajak menanam talas di humanya. Tetapi seperti biasa saja, yaitu Nyi
Sangkan menanam talasnya di tempat yang tanahnya bagus, sedangkan si buncit
disuruh menanamnya ditempat yang jelek yang tanahnya merah bercampur pasir.
Lalu mereka menanam talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit: “Wah, kamu
menanam talas juga tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, berwarna merah
dan bercampur pasir pula, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar
juga hanya sebesar kelentitku”. “Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan
banyak umbinya, sebab tanahnya bagus.” Anak buncit tidak menjawab apa-apa,
hanya dalam hatinya ia berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak. Setelah
lama, di saat talas mereka sudah masanya berumbi, mereka pun menengok dan
mencabut talas mereka masing-masing.saat
itulah, ternyata, tanaman talas Nyi Sangkan tidak ada umbinya. Sementara ketika
si anak buncit mencabut talasnya, umbinya besar sekali, meski hanya sebuah, di
mana besar umbinya itu sebesar tempayan tempat beras. Si anak buncit itu pun
berbicara kepada Nyi Sangkan sambil memperlihatkan talasnya dengan
diayun-ayunkan: “Ini lihatlah, Uwa, tanaman talasku ada umbinya sampai sebesar
burut Uwa.” Setelah itu, dengan mendadak terbukti terkena oleh sapaan, alat
kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar talas si anak buncit, sama dengan
tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang kabut, hatinya makin marah kepada si
anak buncit itu, yang karena ia terkena sapaannya si anak buncit itu menjadi
burut alat kelaminnya, hingga ia susah berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang
ke rumah.
Sejak saat itu, Nyi
Sangkan terus menangis, dan tentu saja, makin lama makin membenci anak buncit
itu. Karena Nyi Sangkan merasa malu, maka ia pun bermaksud untuk membunuh si
buncit, hanya saja, lagi-lagi, ia merasa takut oleh suaminya, Daleum Sangkan.
Pada suatu waktu, di sebuah hari yang mungkin biasa, ketika si buncit sedang
bepergian, ketika itulah ikan lubang kesayangan si buncit dicuri oleh Nyi
Sangkan dari tong kawung, dibawa ke rumah Nyi Sangkan dan dimasak layaknya
ikan, sementara kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, melainkan dimasukkan ke
dalam mangkuk dan disimpan di rak piring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama
kemudian si buncit datang sambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya
untuk diberi makan. Ketika dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, si
buncit terus menanyakan, dan berkata: “Ua, ikan saya di mana gerangan ikan
kesayanganku? Jika ia tidak ada di tempatnya, sudah tentu dicuri olehmu.”
Namun, ketika si buncit
tengah berbicara itu, ayam jantan tiba-tiba berkokok: “Kiplip-kiplip (suara
tiruan tepukan sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara kokok ayam) //
Kepala lubang disembuyikan, // ditutup oleh periuk, // ditempatkan di dalam
mangkuk, // disimpan di rak piring, // cepat-cepat, // segera harus dicari, //
jangan percaya kepada Nyi Sangkan, // sebab dia buruk hati, // dan ia bermaksud
membunuhmu.”
Setelah mendengar kokok
ayam yang demikian bunyinya tersebut, maka si buncit segera mencarinya ke rak
piring. Dan ketika ditengoknya, ternyata kepala lubang itu memang ada seperti
dikatakan si ayam jalu yang cerdas itu, persis ditutup oleh periuk. Sejak itu
si buncit tidak bicara lagi, dan ia terus melarikan diri karena marahnya dan
benci yang teramat sangat kepada Nyi Sangkan. Ia pun langsung pergi ke Negara
Pakuan Barat dan bertempat tinggal di sana sebagai pertapa di pegunungannya, di
sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak.”
Dengan dua contoh
tersebut, masyarakat Sunda Banten kuno telah akrab dengan apa yang saat ini
disebut sebagai seni dan budaya kesusastraan yang berbasis pada bahasa dan
kearifan hidup sehari-hari, yang untuk sebagiannya, kesusastraan masyarakat
Sunda Banten masa silam itu bersifat sakral, dan sebagian yang lainnya
mendedahkan kearifan dengan menggunakan tuturan dan cerita kiasan.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar