Selama ini kita senantiasa
disuguhi teori-teori ekonomi Barat yang berorientasi pasar kapitalistik dan
cenderung individualistik yang kurang memberi perhatian pada aspek keadilan dan
keseimbangan sosial. Berbeda dengan visi dan paradigma Barat tersebut, Islam
sangat menekankan pentingnya keseimbangan dan keadilan sosial dalam kerja dan
distribusi. Dalam konteks ideologi “pembangunanisme”, misalnya, kita
sesungguhnya patut bertanya siapa yang akan diuntungkan dan akan dirugikan?
Kemudian kelompok mana yang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut wajar diajukan oleh kita karena pada faktanya
saat ini semua kegiatan dan fasilitas ekonomi begitu terserap oleh oligarkhi
segelintir elit pemilik modal, yang mirisnya lagi adalah elit-elit pemilik
modal dari seberang sana. Sehingga, sebagai contoh, yang seringkali menikmati
keuntungan dari kekayaan alam Indonesia adalah pemilik-pemilik modal dan
owner-owner perusahaan dari Amerika dan lain-lain. Dalam kenyataannya,
paradigma ekonomi yang membela privatisasi lebih menguntungkan owner-owner
asing tersebut, karena mereka lah yang sanggup membeli asset-aset BUMN yang
dijual –dan Negara seakan tak berdaya untuk melindungi “barang dan kekayaan”
yang sebenarnya milik publik dan asset kekayaan yang dengannya dapat
menyejahterakan rakyatnya.
Tepat di sini kita perlu
menyimak pemikiran dan visi salah seorang pemikir dan ulama Islam yang genuine
menawarkan visi dan paradigma ekonomi Islam, yaitu Sayyid Muhammad Baqir as
Shadr yang tidak meremehkan keseimbangan dan keadilan sosial. Namun sebelumnya
tentu kita bertanya apa itu ekonomi Islam? Dalam hal ini Sayid Muhammad Baqir
al Shadr menegaskan bahwa ekonomi Islam bukanlah sebuah sains atau ilmu
pengetahuan, melainkan segugus doktrin Islam, di mana sebagai contohnya Islam
memandang bahwa kepemilikan itu bersifat multi-jenis, yang bentuknya mencakup
kepemilikan private (kepemilikan pribadi) dan kepemilikan bersama, dimana yang
kedua, yaitu kepemilikan bersama terbagi menjadi dua, yaitu kepemilikan publik
dan kepemilikan Negara yang perbedaannya masing-masing terletak pada tata-cara
pengelolaannya.
Menyangkut kepemilikan
private atau kepemilikan pribadi, Shadr membatasi definisi dan pengertiannya
pada hak memakai dan melarang orang lain untuk menggunakan sesuatu yang telah
menjadi milik orang lain. Sementara itu kepemilikan publik harus digunakan
untuk kepentingan seluruh masyarakat atau warga-negara dalam suatu Negara atau
komunitas politik. Lalu apa dan bagaimana peran pemerintah atau Negara? Dalam
visi dan paradigma ekonomi Islam-nya Sayid Muhammad Baqir al Shadr, fungsi dan
peran pemerintah atau Negara dalam ekonomi di antaranya adalah: Pertama,
mengatur sistem distribusi atau penyaluran kekayaan berdasarkan pada kemauan
dan kapasitas kerja masing-masing individu dalam masyarakat. Kedua,
mengintegrasikan aturan hukum Islam dalam setiap penggunaan dan pengelolaan
sumber daya alam. Dan Ketiga, membangun sistem kesejahteraan masyarakat melalui
terjaminnya keseimbangan sosial dalam masyarakat.
Dalam seluruh peran dan
fungsi pemerintah atau Negara di atas, seperti dapat kita baca bersama, poin
ketiga, yang adalah tentang jaminan sosial demi keseimbangan dan keadilan
sosial tersebut, cukup menarik bagi kita. Dalam konteks ini, menurut Shadr,
Islam telah menugaskan Negara untuk menyediakan jaminan sosial yang berfungsi
untuk memelihara standard hidup yang layak dan tidak memprihatinkan bagi
seluruh individu atau warga dalam masyarakat atau warga Negara dalam sebuah
Negara –yang dalam hal ini, menurut Shadr, jaminan sosial yang dimaksudkan
terkait dengan dua hal. Pertama adalah Negara harus memberi kesempatan yang
luas bagi setiap warga atau individu untuk melakukan kerja produktif sehingga
ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari kerja dan usahanya sendiri. Dalam
bahasa sehari-hari kita adalah bahwa Negara harus memainkan perannya untuk
membuka lapangan pekerjaan dan ruang-urang produktif di mana warga Negara atau
anggota masyarakat bisa menyalurkan tenaga dan potensi kreatif mereka.
Sedangkan bentuk jaminan
sosial yang kedua didasari atas kenyataan bahwa setiap individu atau warga
memiliki kemampuan yang berbeda-beda secara kosmik dan alamiah. Dalam hal ini,
contohnya, jika individu dalam kondisi yang tidak mampu melakukan aktivitas
kerja produktif sebagaimana yang dimaksud dalam bentuk jaminan sosial yang
pertama, maka Negara wajib mengaplikasikan jaminan sosial bagi kelompok yang
demikian dalam bentuk pemberian uang secara tunai untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dan untuk memperbaiki standard hidup kesehariannya ke depan dengan
“jaminan sosial” yang diberikan secara tunai tersebut. Dalam visi dan paradigma
ekonomi Islam Sayid Muhammad Baqir al Shadr, prinsip jaminan sosial dalam Islam
tersebut didasarkan pada dua basis doktrinal, dimana yang pertama adalah
keharusan adanya kewajiban timbal-balik dalam masyarakat, dan yang kedua adalah
adanya hak masyarakat atas sumber daya atau kekayaan publik yang dikuasai oleh
Negara.
Dan seperti telah
disebutkan, bahwa Islam sangat memandang penting keadilan dan keseimbangan
sosial, maka di sini Sayid Muhammad Baqir al Shadr memandang bahwa dalam Islam
konsep keseimbangan sosial tersebut didasarkan pada dua asumsi dasar, yaitu
fakta kosmik dan fakta doktrinal. Yang pertama atau “Fakta Kosmik” merupakan
suatu perbedaan, atau sebutlah ketaksetaraan potensi dan kapasitas, yang eksis
di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di mana menurut Shadr, merupakan suatu
fakta yang tak terbantahkan oleh siapapun bahwa setiap individu secara alamiah
atau secara kosmik memiliki bakat dan potensi atau kapasitas yang berbeda-beda
alias dilahirkan dengan kemampuan dan kapasitas yang tidak sama dan tidak
setara, yang karena perbedaan tersebut dalam satu titik pada akhirnya akan
melahirkan perbedaan dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, yang kemudian
lazim dikenal dengan sebutan atau istilah strata sosial. Dari hal inilah,
menurut Shadr, adalah tak dapat dibenarkan bahwa perbedaan yang bersifat bawaan
atau kosmik tersebut merupakan hasil dari proses sejarah yang bersifat
aksidental atau kebetulan semata sebagaimana Karl Marx dan mazhab-nya, semisal
Marxisme, memandang dan memaknainya sebagai proses tranformasi sistem kehidupan
masyarakat dari tingkatan komunal menuju sistem puncak, yakni komunisme, yang
berakar dari proses dialektis dalam relasi produksi (interaksi ekonomi), atau
yang dalam bahasa dan istilah Karl Marx sendiri disebut pertentangan kelas.
Sedangkan “Fakta Doktrinal” adalah hukum distribusi yang menyatakan bahwa kerja
adalah salah satu instrument atau jalan terwujudnya kepemilikan pribadi atau
kepemilikan private yang membawa konsekuensi atas segala sesuatu yang melekat
padanya. Maka, konsep keseimbangan sosial atau sebutlah keadilan sosial, dalam
Islam menurut visi dan paradigma ekonomi Islam Syaid Muhammad Baqir al Shadr
adalah konsep keseimbangan yang harus didasarkan pada dua asumsi dasar yang
telah disebutkan di atas.
Tak ragu lagi, dengan
paradigma, visi, dan argumentasinya tersebut, Sayid Muhammad Baqir al Shadr
telah memberikan interpretasi dan tawaran baru yang orisinil untuk kerangka
teoritik dan paradigma ekonomi, yang ternyata bukan hanya dalam arti Ekonomi
Islam semata, tapi juga ekonomi dan ekonomi politik yang kita pahami secara
umum. Dan dalam hal ini, ia pun sesungguhnya hendak membantah teori dan asumsi
Thomas Robert Malthus seputar kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara pertambahan penduduk dan ketersediaan pangan dan sumber daya alam yang
terus berkurang seiring jaman, dengan menegaskan bahwa masalah-masalah ekonomi
sesungguhnya ada dan hadir bukan disebabkan oleh kelangkaan sumber-sumber
material ataupun terbatasnya kekayaan alam, di mana secara doctrinal telah
ditegaskan oleh al Qur’an Surah al Qomar ayat 49 yang terjemahannya berbunyi:
“Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (kadarnya)”.
Tak hanya itu saja, ayat
tersebut di atas juga diperkuat oleh ayat-ayat lain yang terdapat dalam al
Qur’an Surah Ibrahim ayat 32-34, dimana Sayid Muhammad Baqir al Shadr
berpendapat bahwa permasalahan ekonomi muncul karena disebabkan oleh dua faktor
yang mendasar. Yang pertama adalah karena prilaku manusia yang melakukan
kezaliman alias aniaya, dan kedua karena mengingkari ni’mat Allah SWT yang
telah dianugerahkan, semisal dalam bentuk kekayaan alam. Yang perlu ditekankan
adalah bahwa dzalim di sini dimaksudkan bahwa memang banyak ditemukan dalam
realitas empiris kehidupan manusia, utamanya di jaman mutakhir kita saat ini,
dimana manusia dalam aktivitas distribusi kekayaannya cenderung melakukan
kecurangan-kecurangan untuk memperoleh keuntungan pribadi semata, seperti
melakukan tindakan penimbunan, semisal penimbunan bensin, minyak, gas, dan
solar yang sering kita simak di berita-berita yang disiarkan channel-channel
tivi-tivi swasta dan nasional kita. Sedangkan yang dimaksud inkar oleh Sayid
Muhammad Baqir al Shadr adalah bahwa manusia dalam tindakan ekonomi dan
upayanya untuk mencari keuntungan dan kekayaan pribadi tersebut cenderung
menafikan ni’mat Allah dengan mengeksploitasi dan mengeruk sumber-sumber alam
secara semena-mena, boros, dan seringkali melakukan pencemaran dan kerusakan
lingkungan yang dampaknya justru akan mematikan potensi ekonomi ke depan atau
untuk masa yang akan datang itu sendiri.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar