Isu Palestina dan Israel,
tak dapat diingkari, memang pelik dan tak kunjung usai. Tak lain karena isu ini
seringkali menyulut konflik dan kebencian, singkatnya: perang dan pertumpahan
darah, selain juga turut melibatkan tenaga dan pikiran Negara-negara lain di
dunia ini. Juga, haruslah diakui, Negara Israel saat ini adalah buah dari
perjuangan ideologi yang disebut sebagai “Zionisme”. Sukses Zionisme adalah
buah persekutuan, lebih tepat disebut sebagai perselingkuhan, antara kaum
Zionisme Yahudi dengan imperialisme Barat. Namun di sini perlu ditekankan bahwa
Zionisme sesungguhnya adalah ideologi sekular, meski seringkali menggunakan klaim
religius, yang secara kebetulan memang sangat dramatis dan sukses mencapai
tujuannya pada abad ke-20.
Zionisme Versus Judaisme
Tambahan lagi, sebagaimana
ditegaskan Yakov Rabkin, Judaisme dan Zionisme adalah dua hal yang saling
bertentangan. Bahkan menurutnya Zionisme telah mencemari dan merusak jantung
teologi Judaisme itu sendiri. Bagi Yakov Rabkin, Zionisme tak ubahnya
separatisme yang mengatasnamakan Yahudi, namun kenyataannya malah menodai
spirit Judaisme. Yakov Rabkin menyatakan, “Ancaman Zionislah yang mendatangkan
bahaya terbesar, karena berusaha merenggut komunitas tradisional dari hak
asasinya sendiri, baik dalam Diaspora maupun Eretz Israel, yang menjadi target
cita-cita messianiknya. Zionisme menentang seluruh aspek Yudaisme tradisional:
dalam konsep yang diajukannya tentang identitas Yahudi modern dan nasionalis;
dalam sikapnya yang merendahkan komunitas Yahudi tradisional dibandingkan
dengan gaya hidup baru yang dipromosikannya; dan sikapnya terhadap konsep agama
tentang Diaspora dan penyelamatan jiwa. Ancaman Zionis menjangkau setiap aspek
dalam masyarakat Yahudi. Ancaman itu tanpa henti dan kian luas. Karenanya,
zionisme harus berhadapan dengan oposisi yang tak kenal kompromi”. (Lihat
Jurnal al Huda Volume VI, Nomor 16, 2008, Hal. 9-18).
Ia juga mengingatkan kita
bahwa, “para Zionis bukan kaum Yahudi pertama yang menduduki Palestina.
Kehadiran kaum Yahudi di Tanah Israel terus mengalir sejak dihancurkannya
Temple (Kuil). Old Yishuv, juga sejumlah pemukiman Yahudi taat yang terkenal
dalam sejarah, sudah ada di Yerusalem dan beberapa kota Palestina yang lain,
ketika Zionis pertama tiba lebih dari seratus tahun yang lalu. Faktanya,
penduduk lama Palestina, bangsa Arab dan Yahudi, sulit sekali diasosiasikan
dengan apa yang disebut “tanah tanpa rakyat” yang didengungkan oleh para Zionis
yang mengklaim diri sebagai “rakyat tanpa tanah.” Para Zionis tiba di sebuah
wilayah yang selama berabad-abad telah dihuni oleh Muslim, Yahudi dan Kristen
yang hidup berdampingan dalam damai. Tapi di mata ideologi Zionisme, Tanah itu
kosong. Zionis bukan hanya mengabaikan bangsa Arab, tapi juga nyaris tak peduli
pada kaum Yahudi yang taat. Mayoritas Yahudi Sephardic bergabung dengan tata
ekonomi masyarakat Arab. Yahudi Ashkenazim yang sama salehnya juga telah menata
kehidupan mereka dalam struktur masyarakat yang saling bantu dan penuh
toleransi”. (Ibid)
Dan, seperti sama-sama
kita tahu, ideologi zionisme ini disusun dengan sasaran jelas, sebagaimana
diakui oleh penggagasnya, Theodore Herzl: “membentuk sebuah negara Yahudi”.
Hasilnya, dalam jarak rentang waktu 50 tahun sejak Kongres Zionis pertama di
Basel, Swiss, tahun 1897, negara Yahudi, yang diberi nama Israel, itu berdiri
pada 14 Mei 1948, dengan restu Ingris dan Abdul Aziz dari klan Saud Saudi
Arabia yang saat ini keturunannya menjadi penguasa Saudi Arabia. Dalam
pandangan kelompok Yahudi (yang sesungguhnya kelompok sekuler itu), istilah
Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit bernama Zion di Jerusalem. Inilah
klaim religius yang sengaja mereka gunakan demi mendapatkan legitimasi dari
mayoritas penganut Yahudi di dunia, meski seperti yang akan kita lihat, tidak
semua orang Yahudi setuju dengan Zionisme. Istilah zionisme itu sendiri
kemudian identik dengan Jerusalem.
Penggunaan klaim religius
tersebut setidak-tidaknya memang menuai untung dan berguna sebagai retorika
politik. Sebab, bagi para penganut dan ras Yahudi, istilah Zion memang
mengandung makna religius, dan memiliki akar sejarah yang panjang, juga tentu
saja memiliki landasan tekstual dalam kitab suci dan dalam mitos serta
catatan-catatan sejarah mereka. Tepat, dalam konteks inilah, seperti terbukti,
telah menginformasikan kepada kita betapa lihainya kaum Zionis yang sebenarnya
sekular tersebut menggunakan istilah “Zionisme” yang mengandung makna sakral untuk
menamai gerakan mereka, sehingga mampu menarik banyak dukungan orang Yahudi di
seluruh dunia, utamanya dari orang-orang Yahudi di Eropa dan Amerika, lebih
khusus lagi yang memiliki pengalaman buruk dengan dunia modern Eropa di era
Perang Dunia Kedua, semisal di Jerman era Hitler.
Ragam Faksi dan Golongan
Akan tetapi, penting untuk
diketahui, bahwa respon keagamaan di kalangan Yahudi sendiri terhadap Zionisme
dan negara Israel memiliki banyak varian:
Pertama, kelompok
penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Neturei Karta.
Kelompok Haredim ini memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk
mereka, di mana tanah tersebut kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena
ketidakpercayaan atau pengingkaran orang-orang Yahudi sendiri terhadap
perjanjian dengan Tuhan. Di sini, dikatakan misalnya, jika Yahudi menaati
Taurat, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Sedangkan
orang-orang Yahudi Neturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk
dari Zionisme tak bertuhan (Godless Zionism) alias orang-orang ateis yang
mengklaim diri sebagai penganut dan keturunan Yahudi. Orang-orang Yahudi
Neturei Karta adalah kelompok anti-Zionis, orang-orang Yahudi ultra-ortodoks,
yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi
ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan
internasionalisasi Kota Jerusalem.
Kedua, kutub dan kelompok
keagamaan Yahudi yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Neturei Karta,
seperti Gush Emunim. Berbeda dengan Neturei Karta dan Haredim, kelompok ini
memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah kemenangan
Israel dalam perang tahun 1967, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel itu.
Mereka juga menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk
mempromosikan kehidupan Yahudi. Nah, menurut mereka, cara ini akan mempercepat
kedatangan Sang Messiah, atau yang dalam bahasa Arab disebut sebagai al Masih.
Dan Ketiga, adalah
orang-orang Yahudi yang dapat dikatakan sebagai kelompok di antara kedua kutub
tersebut, yaitu kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada negara
Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara Israel,
menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah. Namun, mereka
mendukung pemukiman Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu kepada
Palestina.
Selanjutnya, di antara
orang-orang Yahudi kelompok tengah ini adalah orang-orang Yahudi yang disebut
sebagai “Mainstream Religious Zionists”, yang salah satu tokohnya adalah Rabbi
Meimon (1875-1962) yang pernah menyatakan bahwa “Negara Ibrani harus didirikan
dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita
sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara
saling membutuhkan satu sama lain” (Lihat Pilkington, Judaism, halaman
249-250).
Kutub kelompok Yahudi lain
yang terbilang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh
kelompok Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Inilah kelompok Yahudi garis keras
yang sangat terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh
Yitzak Rabin, pada 4 November 1995. Yigal Amir sendiri adalah mahasiswa
Universitas Bar Ilan dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok
garis keras yang mengikuti ajaran Meir Kahane. “Saya bertindak sendiri atas
perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal,” tandas Yigal Amir, setelah menembak
Yitzhak Rabin kala itu. Amir mewakili ekstremis Yahudi, yang menentang
penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sebab, sesuai ajaran Rabbi Meir
Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel yang sudah dijanjikan oleh
Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Benarkah demikian? Ternyata
tidak semua orang Yahudi sepakat dengan klaim Rabbi Meir Kahane itu.
Negara Rasialis
Kita juga tidak buta
ketika pada kenyataannya istilah “Jewish State” memang menunjukkan negara
Israel merupakan negara yang rasialis. Karena itulah, di antara cendekiawan
Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel, misalnya saja Dr. Israel
Shahak, tak lain karena sifat-sifat agressif dan diskriminatifnya Negara
Israel. Dr. Israel Shahak mencatat: “Dalam pandangan saya, Israel sebagai
negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya,
tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di
luarnya.”
Dr. Israel Shahak menyebut
contoh, bagaimana sampai tahun 1993 Partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon
agar Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis
maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai,
Jordan, Suriah, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai
sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi (Lihat Israel Shahak, Jewish
History, Jewish Religion 1999:2, London, Pluto Press, 1994, halaman 2, 10).
Tak hanya Dr. Israel
Shahak, Roger Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem,
menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap
Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama,
dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi
Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan
demokratis bagi Yahudi adalah satu ‘anathema’ atau barang haram. Dengan
demikian, motif dan ideologi zionisme memang murni sekular, dengan membajak
klaim religius demi mendapatkan legitimasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar