Banten Raya, 15 November 2014
Imam Ja’far as Shadiq ra
pernah berkata, “ulama adalah kepercayaan para rasul, dan bila kau temukan
mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketaqwaan mereka”. Jika saja
kita ganti kata ‘ulama tersebut dengan kata intelektual, barangkali tidak akan
kehilangan relevansinya, sebab acapkali sikap kritis seorang intelektual pun
tidak tersuarakan ketika telah terkooptasi interest kekuasaan atau kepentingan
politik yang mengekangnya. Sebagaimana para ‘ulama yang baik dan mu’tabar,
intelektual pun memiliki fungsi sebagai suluh dan pelita bagi masyarakatnya. Bahkan
dalam kadar yang ketat atau maqam-nya yang rigorous, fungsi intelektual sebagaimana
dinyatakan Julian Benda (1867-1956) dalam bukunya yang masyhur La Trahison des
Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan) itu, mengimajinasikan kaum intelektual
dalam sosok ideal, yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar
tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni,
ilmu atau renungan metafisik.
Berbeda dengan Julian
Benda yang pernah digandrungi kaum muda dan para mahasiswa yang hobi melakukan
demonstrasi itu, Edward W. Said, yang juga dikenal sebagai eksponen perjuangan
Palestina, mendefinisikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat
untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau
filsafat kepada publik atau kepada masyarakat luas. Ideal intelektual
sebagaimana dinyatakan Edward Said tersebut akan mengingatkan kita pada dua
kategori fungsi dan definisi intelektual yang dikemukakan Antonio Gramsci. Pertama,
intelektual tradisional atau intelektual normative seperti para guru, para ulama,
dan para administrator, di mana kelompok pertama ini menurut Gramsci dari
generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama alias hanya menjalankan
fungsi tradisional mereka yang normative. Kedua, intelektual organik, yaitu
kalangan professional, di mana Gramsci sendiri mengidealkan intelektual dalam
kategori kedua ini.
Dalam hal ini Antonio
Gramsci, sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya yang berjudul Selections
From Prison Notebooks (1978), mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual,
namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual. Dengan pernyataan semua
orang adalah intelektual tapi tidak semua orang “melakukan fungsi intelektual”
tersebut sesungguhnya Gramsci ingin menegaskan bahwa ada intelektual yang
terjun langsung ke kancah masyarakat dan ada intelektual yang hanya asik di
menara gading dan tidak berusaha membagi “ilmu” dan “pemahamannya” secara intelektual
dan praktis kepada masyarakat luas. Dalam konteks yang demikian, James Petras,
misalnya, mengelompokkan intelektual dalam tiga kelompok, yaitu intelektual
dalam organisasi non pemerintah/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), intelektual
dalam dunia akademik (seperti mereka yang berkecimpung di institusi-institusi
univeristas dan perguruan tinggi) dan yang ketiga adalah “intelektual public”
seperti penasehat-penasehat serikat buruh, professor dan pemimpin partai
politik atau wartawan dan penulis lepas.
Dalam tulisannya yang
berjudul Social Opposition in the Age of Internet itu, James Petras lebih detil
menyatakan: “Intelektual-intelektual publik berperan untuk mengarahkan
terciptanya rapat-rapat terbuka, memformulasikan ide-ide, serta menawarkan
program-program dan strategi dalam aksi-aksi politik. Mereka yang duduk di
kantor di balik meja, dalam ruang yang terisolasi, lantas selalu
membagi-bagikan lima manifesto setiap menitnya adalah aktivis-aktivis desktop
atau aktivis kantoran. Ini adalah sebuah bentuk psudeo-militansi yang
menjauhkan kata dari perbuatan. Aktivisme dari balik meja merupakan
sebuah bentuk tindakan verbal dari aktivisme yang tanpa sebab-akibat, atau
sebuah revolusi yang hanya ada di dalam pikiran. Pertukaran informasi dalam
komunikasi internet hanya akan berubah menjadi sebuah tindakan politis ketika
ia diwujudkan dalam gerakan sosial yang secara terbuka melawan kekuasaan. Kita
pun perlu mempertimbangkan resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi oleh
intelektual-intelektual publik seperti ancaman kriminalisasi oleh kepolisian di
ruang-ruang publik atau pun dampak-dampak ekonomi dalam urusan privat.
Sebaliknya aktivis desktop tidak berhadapan dengan resiko apa pun dan hanya
mengurusi hal-hal kecil. Intelektual publik berusaha menghubungkan
ketidakpuasan individual ke dalam suatu bentuk aktivisme sosial kolektif,
sebaliknya kritik-kritik akademik terhadap aksi-aksi nyata, hanyalah ucapan
kosong yang akan dikembalikan ke meja akademik. Intelektual publik berbicara
dan menyokong pendidikan politik jangka panjang yang berkomitmen pada oposisi
sosial dalam ruang-ruang publik, baik melalui internet atau pun dengan tatap
muka secara terus menerus setiap hari”.
Jika kita setuju dengan
definisi dan fungsi intelektual sebagaimana dinyatakan oleh Julien Benda,
Edward W. Said, Antonio Gramsci, dan James Petras tersebut, maka tak ragu lagi bahwa
fungsi intelektual publik adalah mereka yang sanggup memberikan kontribusi dan
sumbangsih bagi perubahan alias progress, perbaikan dan sekaligus pendampingan
masyarakat, yang dalam ideal Antonio Gramsci disebut sebagai intelektual
organik atau intelektual yang memberikan kontribusi pencerahan dan bahkan
terlibat dalam kancah praktis di masyarakat. Di sini perlu sekali lagi
ditegaskan bahwa para intelektual adalah mereka yang berjuang dengan pena dan
tenaganya untuk memberikan sumbangsih bagi progress dan pencerahan masyarakat
luas, bukan menjadi para kolaborator kekuasaan yang terjerembab dalam
manipulasi dan korupsi.
Persis, dalam kadar
tersebut sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya Edward W. Said yang telah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia berjudul Peran Intelektual (Yayasan Obor
Indonesia 1998) itu, Edward W. Said menyatakan: “Intelektual adalah orang yang
cakap (pintar) mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa hingga ia bebas
(independen) karenanya. Karena ia (intelektual) betul-betul menguasai seni
bicara dan di lain pihak tidak langsung tergantung dari seorang atasan yang
berhak menentukan apa yang boleh dikatakannya, ia dapat mengatakan hal-hal yang
tidak berani dinyatakan oleh para politisi”.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar