“Sang kata, pada siapa kau
pamit, menyambutmu di gerbang. Dan yang telah menyentuhmu di sini –tangkai,
kalbu, bunga –di sana telah lama jadi tamu dan tak bakal lagi menyentuhmu (Paul
Celan, Die Feste Burg). Look not upon me, because I am black, my mother children
were angry with me; they made me the keeper of the vineyards; but mine own
vineyard have I not kept. Tell me, O, thou my soul loveth, where thou feedest,
where thou makest thy flock to rest at noon; For why should I be as one that
turneth aside by thy flocks of thy companions? / I have compared thee, O, my
love, to a company of horses in Pharao’s chariots (Song of Songs).
Adalah Jacques Derrida
dalam eseinya yang berjudul Schibboleth pour Paul Celan memandang Paul Celan
sebagai penyair dengan bahasa yang tercabik-cabik, bahasa yang berkubang di
antara luka dan ingatan, yang tidak menjahit sobekan lama, luka dan ingatan
yang hanya bisa diam di hadapan sejarah dan perjanjian, tentang identitas yang
menorehkan kepedihan dan mendatangkan malapetaka pada tubuh.
Sementara itu bagi saya
sendiri, sajak-sajak Celan adalah tangis bisu melankoli. Campuran antara
dendam, rasa bersalah, dan penyesalan diri yang tak berkesudahan. Kenangan dan
ingatan sebagai hantu yang terus-menerus hadir, kenangan dan ingatan yang
memabukkan dan menyakitkan layaknya candu, seperti kenangan dan ingatan Celan
tentang ibunya dalam sajak Espenbaum: “Pintu jati, siapa mencabutmu dari
engsel? Bunda lembutku tak kuasa datang”.
Celan sendiri adalah
korban, ketika identitas dilekatkan pada tubuh, tubuh yang didefinisikan secara
politis dan rasis, tubuh yang telah ditandai “cap bakar” (Brandmal): “Tak lagi
kita tidur, sebab terbaring di detik kemurungan, dan kita rentang jarum jam
seolah ranting, dan ia melenting kembali, mencambuk sang waktu hingga
berdarah”.
Sajak tersebut sepenuhnya
surealistis, meski Celan sendiri menolak penyebutan “surealis” untuk
sajak-sajaknya, sebab metafor yang dibangun dan teknik pengalihan yang
dilakukan Celan untuk menggambarkan sebuah pengalaman atau pun peristiwa
demikian “sureal”, ketika sajak-sajak yang ditulisnya lebih mengedepankan
fantasi dan pelukisan suasana bathin, mirip upaya transendensi, yang dengan itu
pula kita bisa menilai keunikan dan kelebihan sajak-sajak Celan dari
penyair-penyair Jerman yang lainnya, semisal Goethe dan Brecht, yang relatif
lebih cepat untuk dipahami.
Tangis bisu sajak-sajak
Celan pada dasarnya adalah sejumlah pertanyaan dan gugatan, pertanyaan dan
gugatan terhadap perjanjian yang telah dijanjikan Tuhan, Tuhan yang telah
mengorbankan manusia, Tuhan yang tak ada ketika tubuh manusia dijadikan korban:
“Berdirilah dalam badam Sang Ketiadaan”. Tuhan yang tidak menjawab: “Tergenggam
sudah, Gusti, berjalin berkelindan, seolah tubuh-tubuh kami adalah Tubuh-Mu.
Berdoalah pada kami, kami dekat”. Dua kutipan yang diambil dari dua sajak yang
berjudul Mandorla dan Tenebrae tersebut adalah ekspresi kemarahan dan gugatan,
ateisme religius. Dalam konteks inilah, Celan adalah Ayub abad dua puluhan.
Tetapi Derrida punya
pendapat lain, sajak-sajak Celan adalah ingatan tentang ingatan itu sendiri,
sebentuk penghapusan diri, sejenis tujuan yang lahir dan lenyap, diri sebagai
setitik jejak samar dalam sejarah. Karena bagi Derrida, ingatan itu sendiri
adalah kekaburan, seperti candu yang membuat seseorang mabuk dan limbung.
Ingatan adalah tanda yang tidak dapat dibaca dan dijelaskan, karena ingatan
didasarkan pada kehilangan, ingatan adalah candu yang memabukkan itu sendiri.
Ingatan dan kenangan yang memabukkan seperti candu tersebut adalah juga ingatan
yang muram. Yang bila meminjam istilahnya Agus R. Sarjono seperti ketika
seseorang “berada di tengah gelap musim dingin” yang indah dan menggigil.
Kemuraman sajak-sajak
Celan yang mengental sekaligus indah tersebut setidak-tidaknya terasa juga
dalam salah-satu sajaknya yang berjudul Die Feste Burg: “Kutahu rumah paling
malam dari segala rumah: suatu mata yang jauh lebih dalam dari matamu mengintai
di situ. Di atapnya berkibar benderaderita yang lebar: bahan hijaunya –tak kau
tahu kau lah yang menenunnya, juga terbang demikian tinggi, seolah bukan kau
tenun sendiri. Sang kata, pada siapa kau pamit, menyambutmu di gerbang. Dan
yang telah menyentuhmu di sini –tangkai, kalbu, bunga –di sana telah lama jadi
tamu dan tak bakal lagi menyentuhmu. Namun, bila kau melangkah ke cermin di
rumah itu, maka ketiganya –bunga, kalbu, tangkai –memandangmu. Dan mata lebih
dalam itu, meminum matamu yang dalam”.
Dalam pembacaan saya, tema
dan cerita yang ingin digambarkan dan disampaikan Die Feste Burg sesungguhnya
tidak berbeda dengan Espenbaum, sajak di atas masih bercerita tentang kenangan
dan ingatan seseorang yang telah tiada. Seseorang yang juga telah menjadi
korban “cap bakar” (Brandmal). Begitu juga di sisi lain, seperti yang telah
dipaparkan dengan baik oleh Berthold Damshauser, tema-tema yang ingin
disampaikan, diceritakan, dan diungkapkan sajak-sajak Celan sebenarnya tidak
jauh dari tema-tema dan cerita-cerita yang ada dalam sajak-sajak Brandmal,
Tenebrae, Mandorla, Todesfuge, dan Corona.
Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa sajak-sajak Celan adalah partita elegi dan nyanyian penghiburan
diri tentang kematian dan ingatan atau pun kenangan tentang kematian itu
sendiri. Tentang orang-orang yang dikorbankan. Lima sajak tersebut menurut saya
cukup mewakili semua sajak yang ada dalam buku kumpulan sajak Candu Dan Ingatan
hasil terjemahan dari Bahasa Jerman ke Bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh
Berthold Damshauser dan Agus R. Sarjono, bila pembaca ingin menemukan “apa yang
ingin diceritakan” dan “dunia apa yang ingin digambarkan” oleh sajak-sajak
Celan. Dan dari itu semua, apa yang ingin disampaikan secara tersirat oleh
sajak-sajak Celan tak lain adalah sejarah, pengorbanan, perjanjian, dan
penebusan, yang adalah juga tema-tema penting dalam Judaisme. Dan Celan sendiri
sebagai penyairnya berkubang dalam tema-tema tersebut.
Sebisu dan semuram apa
pun, sajak-sajak Celan adalah bahasa yang menyembunyikan api dan amarah, amarah
seorang Yahudi Jerman (Deutschjudentum), ketika ia kembali terusir dari
pengusiran sebelumnya: “Sang kata, pada siapa kau pamit, menyambutmu di
gerbang. Dan yang telah menyentuhmu di sini –tangkai, kalbu, bunga –di sana
telah lama jadi tamu dan tak bakal lagi menyentuhmu (Die Feste Burg)”.
Bait-bait tersebut, dalam pembacaan saya, adalah sebuah gambaran tentang
“keterusiran”, seperti terusirnya orang-orang Yahudi dari Mesir di jaman Musa
yang digambarkan dan diceritakan oleh bait-bait Song of Songs yang telah saya
kutip dalam pembukaan tulisan. Di sini dapatlah dikatakan bahwa tema dan
gambaran tambahan cukup dominan yang ingin disiratkan oleh sajak-sajak Celan
adalah sejarah Yahudi dan Yahudi dalam sejarah itu sendiri. Sejarah yang
dimaknai sebagai perjanjian, pengusiran, dan penebusan.
Tapi Celan bukan hanya
korban dari politik-rasisme dan rasisme politik dalam sejarah kelam
totalitarianisme modern, ia adalah korban “trauma” yang tak mendapatkan
obatnya. Sajak-sajak yang ditulisnya merupakan usaha tanpa henti untuk
melakukan “penyembuhan luka bathin” akibat terlampau tenggelam dalam
“candu-ingatan” , yang kadung menjelma “kegilaan melankolik” dan paranoia amat
parah. Wajar saja bila ia pun terjebak pada rasisme lainnya, kerinduannya pada
Jerusalem sebagai negeri spiritual yang telah dijanjikan Tuhan dalam Kitab
Suci, karena ia sendiri tak pernah sanggup untuk memaafkan, seperti
penggambaran hubungan cintanya sebagai tak ubahnya sebuah pengkhianatan atas
ras dan bangsanya sendiri antara Celan yang Yahudi dan Ingeborg Bachmann yang
Jerman dalam sajaknya yang berjudul In Agypten: “Mesti kau rias perempuan asing
di ranjangmu seelok-eloknya. Mesti kau rias dia dengan dukalara atas Ruth dan
Mirjam dan Noemi. Mesti kau katakan kepada perempuan asing: Lihat, aku telah
tidur dengan mereka!”.
Dalam konteks ini,
dapatlah dikatakan bahwa sajak In Agypten sebenarnya merupakan romantisisme
sejarah Yahudi dan Yahudi dalam sejarah, ketika ia mengidentikkan dirinya
dengan figur-figur penderitaan dan penindasan atas Yahudi di masa lalu seperti
Ruth, Naomi, dan Miryam. Ada aroma rasisme dan romantisisme dalam sajak
tersebut, yang bisa jadi tak lain merupakan sikap Celan untuk membalas dendam
dalam ketakberdayaannya di hadapan sejarah.
Di kesempatan lain, dalam
sajaknya yang berjudul Todesfuge, dendam dan amarah tersebut menjelma kehendak
untuk membuka sisi barbar sebuah politik dan kekuasaan yang telah menjadi
“mesin kepatuhan” dan “pelayan” kesemena-menaan Hitler sang diktator yang oleh
Celan disebut sebagai “Sang Maut”, yang tak lain adalah “Maestro dari Jerman”.
Sang Maestro yang memerintahkan orang-orang Yahudi untuk menggali kuburannya
sendiri setelah menari dan meneguk “susu hitam”: “Susu hitam dinihari kami
reguk saat senja, kami reguk siang dan pagi, kami reguk malam, kami reguk dan
reguk, kami gali kuburan di udara, di sana orang berbaring tak berdesakan.
Seseorang lelaki tinggal di rumah, ia bermain dengan ular, ia menulis, ia
menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete, ia menulisnya dan
berjalan keluar, dan bintang berkerlip ia bersuit memanggil herdernya, ia
bersuit memanggil Yahudinya, dan menyuruhnya menggali kuburan di tanah, ia
perintah kami ayo mainkan irama dansa”.
Sementara itu, dari sisi
biografis, kehidupan Celan merupakan ikhtiar pelarian tanpa henti, yang bila
meminjam frasenya Berthold Damshauser, sebagai seorang “yatim piatu abadi”,
selalu merasa diri sebagai orang asing yang tak punya negara, mirip nasib yang
juga dialami oleh penyair Yahudi Jerman lainnya, Heinrich Heine. Celan adalah
“seseorang yang terpenjara dalam spiral ingatan akan masa silam yang
memabukkan”, usahanya untuk menghilangkan trauma dengan menulis sajak justru
semakin menguatkan ingatan akan peristiwa dan pengalamannya di masa silam.
Paul Celan, yang bila kita
kembali mengafirmasi jalan pikirnya Derrida, adalah kasus ekstrem sebuah korban
dari trauma dan kekerasan yang jatuh dalam kekerasan lainnya, penghancuran diri
dan penghapusan diri. Dengan bunuh diri, Celan melakukan “holocaust” terhadap
dirinya sendiri. Karena ia percaya, hanya kematian dan pelenyapan diri yang
akan mengakhiri penderitaan bathin dan kegilaannya akibat candu-ingatan.
Penderitaan bathin dan kegilaan yang telah mewariskan partita indah sebuah
elegi dan nyanyian:
Sia-sia kau gambar hati
pada jendela:
Sang Adipati Kesunyian
Menggalang tentara di halaman istana.
Dikibarkannya panji di pohon
Sehelai daun yang bakal biru baginya saat musim gugur tiba;
Sang Adipati Kesunyian
Menggalang tentara di halaman istana.
Dikibarkannya panji di pohon
Sehelai daun yang bakal biru baginya saat musim gugur tiba;
Ia bagikan tangkai-tangkai
kemuraman pada tentara,
Juga bunga sang waktu;
Juga bunga sang waktu;
Dengan burung di rambut ia
menjauh
Untuk menenggelamkan pedang-pedang.
Sia-sia kau gambar hati pada jendela:
Seorang dewa ada di kerumunan tentara,
Diselubungi jubah yang di tangga dulu tanggal dari bahumu,
Di kala malam, saat istana diamuk kobaran api,
Saat kau bicara layaknya manusia: kekasih….
Jubah itu tak dikenalinya, dan ia tak menghiba sang bintang,
Dan pada daun yang melayang di depan, ia tambatkan jalan.
‘O tangkai’, serasa didengarnya suara, ‘O bunga sang waktu’.
Untuk menenggelamkan pedang-pedang.
Sia-sia kau gambar hati pada jendela:
Seorang dewa ada di kerumunan tentara,
Diselubungi jubah yang di tangga dulu tanggal dari bahumu,
Di kala malam, saat istana diamuk kobaran api,
Saat kau bicara layaknya manusia: kekasih….
Jubah itu tak dikenalinya, dan ia tak menghiba sang bintang,
Dan pada daun yang melayang di depan, ia tambatkan jalan.
‘O tangkai’, serasa didengarnya suara, ‘O bunga sang waktu’.
(Paul Celan, Umsonst malst
du Herzen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar