Radar Banten, 26 Maret 2014
Inilah riwayat Fatimah
Azzahra, yang meminta suaminya, Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah,
merahasiakan pemakamannya, hingga sampai saat ini tak ada yang tahu makamnya.
Ketika itu, dalam kegelapan malam, saat mata-mata tertidur dan suara-suara
membisu, iringan samawi meninggalkan rumah Imam Ali as sambil mengusung jenazah
putri Rasulullah. Saat itu, Jumadilakhir 11 H, rombongan bergerak dengan
khidmad mengantar ke pembaringannya yang terakhir. Mereka adalah Imam Ali as,
al Hasan, al Husein, Zainab, Ummu Khulsum, Abu Dzar al Ghifari, Ammar, Miqdad,
dan Salman al Farisi. Dan inilah sepenggal riwayatnya:
Di suatu ketika, di sebuah
tempat yang bernama Uhud, ketika satu legiun mempertahankan diri dari serangan
legiun lainnya, Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah pun terkena sabetan
pedang. Dan tak lama setelah peristiwa itu usai, Fatimah az Zahra pun membasuh
luka seorang lelaki yang bernama Ali itu. Persis, pada saat itulah, Ali
sunguh-sungguh jatuh cinta kepada Fatimah. Namun, sejatinya, sosok Fatimah
telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil
meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu
setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati
Fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang
sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang Quraisy.
Bagi Fatimah, sosok
Rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih
bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua
sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator
terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah
menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar
sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan
fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua.
Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.
Maka, saat Rasulullah
mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman
mengarungi kehidupan, saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab,
sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah.
Begitu istimewa.
Suka duka, yang lebih
banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra
pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah.
Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah
juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta Sang
Khalifah.
Mereka berdua hidup dalam
kesederhanaan. Kesederhanaan yang bahkan sampai mengguncang langit. Penduduk
langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di
meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah
hinggap dalam kehidupan mereka.
Di suatu hari, Ali yang
sabar, pun rela bekerja menimba air di sebuah sudut di Makkah. Setiap timba
yang bisa ia angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein, kedua
putranya dari pernikahannnya dengan perempuan yang sangat dicintainya, Fatimah,
bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah yang bekerja
sebagai penimba air bagi siapa saja yang rela membayarnya dengan sebutir kurma
bagi satu timbaan air.
Pun, demikian, tak pernah
ada keluh-kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah.
Rasulullah pun terenyuh ketika mengetahui keadaan rumah tangga yang sederhana
dan penyabar itu, hingga Rasulullah tak mampu menahan tangisnya, persis saat
mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai
kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta
belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan
betapa air matanya menetes satu persatu, terutama mengingat bahwa kalung itu
begitu khusus maknanya bagi dirinya, dan Fatimah rela melepasnya, demi
menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula
dikenalnya.
Dan lihatlah, langit tak
diam. Mereka telah menyusun rencana. Hingga, melalui tangan para sahabat,
kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belian itu bisa
pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang
merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya
yang paling berhak, yah Fatimah az Zahra, perempuan teguh kecintaannya Ali Bin
Abi Thalib (as), dan ayahnya: Nabi Muhammad (saw).
Namun, waktu terus
berjalan, cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh
usia. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia
bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah
terjadi saat Rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa
kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah
kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri ummat terhadap pemimpinnya. Dan
ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang
dirindukannya, Rasulullah SAW.
Pada masa ketika kekalutan
tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia
ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah, di tengah isak tangis Fatimah
Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil
membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu
sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat
atau saat Fatimah seperti sekarang ini, terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah
berkata, “Sepeninggalku, diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang
pertama-tama akan menyusulku.”
Kini, Fatimah telah
menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya.
Setelah menatap mata suaminya tercinta, Ali Bin Abi Thalib, dan menggenggam
erat tangannya, seakan ingin berkata: “Kutunggu dirimu nanti di surga, bersama
ayahandaku”, segera, Fatimah Az Zahra menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sementara itu, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, dalam deraian air
mata, Ali menguburkan jasad istrinya tercinta, yang masih terhitung belia itu,
sendiri, di tengah malam buta. Rupanya, Ali tidak ingin membagi perasaannya itu
dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka
berdua yang tahu. Lama Ali tepekkur di gundukan tanah merah yang baru saja
dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu
deras, tenggelam dalam kesunyian dan keheningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar