“Di jaman Imam Ja’far As
tersebutlah Ja’d bin Dirham, seorang ekstrim kufur, pembuat bid’ah yang
mendedikasikan hidupnya dalam zandaqah (gerakan atheisme) serta memdengungkan
ajaran dan doktrin ateis radikal (tidak meyakini adanya Tuhan)”
“Ilmu adalah landasan dari
segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual
yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian
tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah menjadi kewajiban bagi
seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang
dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan”
(Dipetik dari kitab “Shahifah as Shadiqiyyah” Imam Ja’far as Shadiq As). “Jika
karena bukan dua tahun, niscaya Nu’man celaka,” demikian suatu ketika Abu
Hanifah berkata saat ingin menggambarkan jasa gurunya di mana ia telah belajar
selama dua tahun kepada sang guru yang ia maksud, yang tak lain adalah Imam
Ja’far as Shadiq RA. Dan seperti telah kita ketahui, Nu’man adalah nama asli
Abu Hanifah, sang pendiri mazhab Hanafi.
Sementara itu, keluasan
ilmu, pemahaman, dan pengetahuan Imam Jafar as Sadiq membuat banyak orang
berduyun datang kepada beliau untuk mendapatkan cahaya ilmunya, yang seakan
mewarisi samudra ilmunya Sayyidina Ali dan Nabi SAW, dua leluhur beliau. Cahaya
ilmu yang dimiliki oleh Imam Jafar as Shadiq, tak hanya ilmu keagamaan namun
juga menguasai fisika, kimia, matematika, dan ilmu pengobatan. Imam Jafar al
Shadiq adalah putra tertua Imam Muhamad al Baqir yang merupakan ahlul bait Nabi
Muhammad. Nama pendeknya adalah Ja’far, namun kemudian ia dikenal pula dengan
sebutan al Shadiq dan Abu Abdallah, yang kemudian beliau lebih sering dipanggil
dengan sebutan Imam Jafar al Shadiq. Beliau lahir di Madinah, pada Senin, 17
Rabiul Awwal 83 H atau 20 April 702 M. Baik tanggal, hari dan bulan kelahiran
Ja’far al Shadiq sama dengan masa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ibunya adalah
Ummu Farwah yang biasa dipanggil Fatimah, putri dari al Qassim putra Muhammad
bin Abu Bakar. Dengan demikian, Umm Farwah ini merupakan keturunan sahabat Nabi
Muhammad, yaitu Abu Bakar.
Pada saat kelahiran Imam
Ja’far al Shadiq ini, ayahnya, Imam Muhammad al Baqir berusia 26 tahun dan
kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad bin Imam Husain bin Ali bin Abi
Thalib Karramallahu Wajhah masih hidup. Hingga umur 12 tahun, Imam Ja’far al
Shadiq mendapatkan tempaan ilmu ketuhanan dari kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin
as Sajjad. Setelah itu, hingga berumur 31 tahun ia mendapatkan bimbingan dari
ayahnya sendiri, Imam Muhammad al Baqir yang mengajarkannya ilmu hadits. Untuk
ilmu hadis ini, beliau memiliki dua sumber pengetahuan yaitu dari ayahnya
melalui Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dan kakek ibunya al Qassim bin
Muhammad bin Abu Bakar. Di kemudian hari, Imam Malik pendiri mazhab Maliki,
Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi, dan al Qattan banyak meriwayatkan hadis
dari beliau, demikian pula dengan ulama lainnya. Beliau juga dikenal sebagai
mufasir Al-Qur’an, ahli hukum Islam, dan mujtahid terbesar Islam di Madinah.
Dengan keluasan ilmu
agamanya dan ilmu non-agamanya tersebut, tak heran jika banyak kalangan yang
belajar dari Jafar al Shadiq seperti Abu Hanifah yang telah disebut, yang
adalah pendiri mazhab Hanafi itu, yang menimba ilmu darinya selama dua tahun
tersebut menyatakan bahwa Imam Ja’far al Shadiq memiliki ketinggian ilmu yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula dengan Imam Malik bin Anas yang
merupakan pendiri mazhab Maliki. Tak ayal lagi, jika dikatakan bahwa Imam
Ja’far al Shadiq telah melahirkan ribuan ulama hadits dan sarjana agama, bahkan
merupakan guru dari sejumlah ilmuwan dan saintis muslim.
Jihad Intelektual Sang Mahaguru
Jika dilihat dan ditelaah
secara cermat, sebagaimana para ulama dan sejarawan muslim mencatatnya, semisal
at Thabari dan as Suyuthi, keadaan masyarakat pada masa Imam Jafar as Shadiq
sudah sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw. Sebut saja maraknya
aliran-aliran yang mulai menciptakan ajaran-ajaran mereka sendiri seperti
mu’tazilah, zandaqah, ekstrimisme dan lain-lain yang membuat perbedaan dalam
Islam semakin mencolok. Hal ini terjadi lantaran perbuatan para pemimpin Bani
Umayyah maupun Abbasiyah yang berusaha memisahkan Umat Islam dari Ahlulbait
Muhammad al Mustafa. Ya, di tangan penguasa itu agama hanya dijadikan alat
propaganda demi melanggengkan kekuasaan mereka semata. Mereka menyewa ulama
yang hubbud-dunya untuk menyebarkan politik-politik kotor mereka. Hal ini dapat
dilihat dalam penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, dari penyelewengan tafsir
al Qur’an hingga sejarah Nabi Saw (Lihat Ja’far Shadiq Sang Mahaguru, Al-Huda
ICC Jakarta 2008).
Penyelewengan Terhadap Tafsir al Qur’an
Para penguasa Bani Umayyah
menggunakan kisah-kisah Israiliyat (khayalan-khayalan) untuk menafsirkan
ayat-ayat al Qur’an. Seperti yang diriwayatkan bahwa Muawwiyah berkata kepada
Ka’ab, “kamu berpendapat bahwa Zulkarnain mengikat kudanya pada
bintang-bintang?” Ka’ab menjawab: jika kamu berkata demikian maka sesungguhnya
Allah telah berfirman ‘dan kami telah memberikan kepadanya sebab (untuk
mencapai) segala sesuatu”. Maksudnya ialah Ka’ab meyakini kalau Zulkarnain
mengikat kudanya pada bintang-bintang. Sungguh akal akan menolak hal ini.
Walaupun apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, akan tetapi ini tidak
membuat Allah akan bertindak seenaknya, karena hal itu berarti Allah telah
berbuat dzalim terhadap hambaNya. Dan mustahil Allah berbuat dzolim.
Penyelewengan Terhadap Hadits Nabi Saw
Diriwayatkan dalam Shahih
Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad Saw berdo’a untuk Muawwiyah bin Abu Sufyan “Ya
Allah, jadikanlah ia sebagai orang yang memberi petunjuk dan tempat memberi
petunjuk serta berilah petunjuk dengannya”. Di sini kita dapat melihat sendiri,
dengan mudahnya perkataan suci Nabi Saw dibuat-buat seenaknya oleh para
penguasa demi kepentingan politik semata. Pantaskah Nabi Saw mendoakan seorang
pembunuh washi-nya (penerima dan pengemban wasiatnya)? Mendoakan pembunuh cucunya.yaitu Al
Hasan (Imam Hasan)? Pantaskan Nabi Saw mendoakan orang yang menancapkan al
Qur’an keujung tombak?
Penyelewengan Terhadap Sejarah Kehidupan Rasul Saw
Hadits palsu lainnya
menyebutkan bahwa Nabi Saw menggendong Aisyah di atas pundak beliau untuk
melihat permainan akrobatik orang-orang Sudan dan pipi beliau menempel di pipi
Aisyah. Atau hadits palsu yang mengatakan bahwa Nabi Saw mencintai istri anak
angkatnya setelah beliau merangsang melihatnya. Di sini pun masih sama, di mana
hanya demi kekuasaan duniawi semata, Bani Umayyah rela memutar-balikkan fakta.
Pantaskah Nabi Saw yang dipuji oleh Allah Swt karena keluhuran akhlaknya
melakukan perbuatan nista tersebut? Sekali lagi, kita akan berkata tidak! Hanya
Setan-lah yang merasuk ke tubuh Dinasti Umayyah yang berani mengatakan hal ini.
Dengan adanya penyelewengan-penyelewengan di atas, membuat umat Islam yang telah
kehilangan seorang Rasul terbaik semakin terperosok ke dalam jurang kebodohan
dan kehancuran. Akibatnya muncullah ajaran-ajaran yang telah keluar dari ajaran
Rasul Saw seperti berikut:
Al Jabr (Pemaksaan Atau Fatalisme)
Pandangan ini berpendapat
bahwa segala perbuatan manusia adalah perbuatan Allah, manusia tak memiliki
ikhtiar, sebut saja boneka yang dipermainkan sesuka hati oleh pemiliknya. Dalil
mereka adalah al Qur’an Surah al Iinsan ayat 30 dan al-An’am ayat 125 dan
sebagainya. Pelopor pemikiran ini adalah para penguasa Bani Umayyah. Dengan
penyimpangan ini, masyarakat akan yakin bahwa yang dilakukan Bani Umayyah
adalah kehendak Allah. Sehingga masyarakat tidak berhak menentang mereka. Dan
karenanya masyarakat seakan-akan hanya bisa menerima segala perbuatan jahat
Bani Umayyah yang mengatasnamakan ‘kehendak Tuhan’. Betapa licik dinasti
Umayyah, menggunakan agama untuk menetapkan kezaliman. Dan politik ini berjalan
lancar, sehingga banyak umat Islam yang menganut ajaran ini pada masa Imam
Ja’far Shadiq RA.
Zandaqah (Ateisme)
Pemikiran ini muncul pada
masa Imam Ja’far Shadiq RA akibat atau konsekuensi dari adanya pandapat Al Jabr
(fatalisme) yang telah disebutkan itu, di mana karenanya muncullah ajaran
Zindiq (anti Tuhan) sebagai penolakan pandangan Jabr yang mengatasnamakan
‘kehendak Tuhan’. Ajaran ini muncul juga dikarenakan oleh kezaliman Bani
Umayyah dalam segala lini kehidupan. Dan tentu saja hal ini sangat berperan
dalam memisahkan masyarakat dari Ahlulbait Muhammad Almustafa yang merupakan
pusaka suci Nabi Saw. Sebagai contoh, tersebutlah Ja’d bin Dirham, seorang
ekstrim kufur, pembuat bid’ah yang mendedikasikan hidupnya dalam zandaqah
(gerakan atheisme) serta memdengungkan ajaran dan doktrin ateis radikal (tidak
meyakini adanya Tuhan). Dia menunjukkan kedangkalan akalnya secara
demonstratif, seperti memasukkan tanah dan air dalam sebuah botol, kemudian
beberapa saat terdapat cacing dalam botol yang semula diisi dengan tanah dan
air tersebut. Kemudian dia berkata kepada para sahabatnya “Aku telah menciptakannya,
karena aku adalah sebab keberadaannya”. Imam Ja’far as Shadiq ketika mendengar
berita ini membantahnya dengan bukti rasional, beliau berkata “Jika dia
(Ja’d) yang menciptakannya maka tanyakan kepadanya berapa jumlahnya? Berapa
yang jantan dan yang betina? Berapa beratnya masing-masing? Mintalah kepadanya
untuk mengubahnya menjadi bentuk yang lain!”. Jika kita melihat uraian di atas,
maka dengan sangat jelas kita dapat melihat betapa melencengnya umat Islam dari
ajaran Allah yang sebenarnya.
Kondisi Politik Pada Masa Imam Ja’far As Shadiq RA
Sebagaimana dicatat para
muhaddits, fukoha, mufassir, dan para sejarawan muslim, Imam Ja’far as Shadiq
RA memiliki dua fase dalam kepemimpinan beliau. Pertama, fase runtuhnya Dinasti
Umayyah hingga kehancurannya (114-132 H). Kedua, fase kekuasaan Dinasti
Abbasiyah sampai beliau wafat (132-148 H), dan kondisi politik pada masa Imam
Ja’far as Shadiq RA tidak terlalu berbeda dengan situasi pada masa ayah beliau,
Imam Muhammad al Baqir. Hisyam bin Abdul Malik yang membunuh Imam Muhammad al
Baqir RA (ayah Imam Ja’far as Shadiq) masih tetap berkuasa dan penerapan
politiknya pun masih sama dengan masa ayahnya. Sistem politik penguasa pada
masa itu dibangun dengan dasar barbarisme dan despotisme, sehingga para pecinta
Ahlulbait Muhammad Almustafa harus rela tertindas, dihina bahkan dibunuh secara
tragis. Bahkan bukan hanya para pecinta keluarga Nabi Saw saja, para kaum fakir
nan miskin yang tidak mengenal Ahlulbait pun juga disiksa dan dibunuh.
Hal itu dapat
dilihat dalam diri Zaid bin Ali bin Husain RA. Di sini, Zaid bin Ali RA
menggambarkan betapa biadabnya para penguasa pada masa itu sehingga menciptakan
tragedi dahsyat pada ummat. Jabir bin Yazid Ju’fi meriwayatkan ungkapan Zaid
bin Ali ra saat dia bertemu “Wahai Jabir, aku tak bisa tinggal diam sementara
kitabullah dilanggar dan perilaku mereka (penguasa) seperti Setan. Aku
menyaksikan Hisyam dan seorang lelaki menghina Rasulullah Saw. Aku berkata
kepada si penghina itu ‘celakalah kamu hai kafir! Seandainya aku bisa pasti
kucabut nyawamu dan segera kuhempaskan ke neraka’, kemudian Hisyam berkata
kepadaku, ‘santai saja, duduklah bersama kami hai Zaid’ ‘demi Allah, seandainya
tidak ada orang lain selain aku dan Yahya putraku, niscaya sudah aku hajar dia
hingga mati”. Lantas bagaimana akhir nasib Zaid Bin Ali ra ini? Beliau
ditangkap dan dibunuh, kemudian jasadnya disalib didaerah Kisanah, Kufah (Irak
saat ini) pada tahun 121 H.
Yah, dikarenakan
mengadopsi gaya barbar dan despotik, rezim Umayyah akhirnya runtuh setelah
sekian lama merongrong Islam dari dalam. Situasi politik pada masa itu sangat
bergejolak setelah syahidnya Zaid bin Ali RA. Dan dikarenakan para penguasa
lebih memfokuskan diri dalam menjaga kekuasaannya dari tangan para pemberontak,
ini mengakibatkan melonggarnya tekanan terhadap Imam Ja’far as Shadiq RA dan
kesempatan berharga ini pun akhirnya digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Imam
Ja’far as Shadiq RA. Dengan melihat kondisi yang sedemikian rusak ini, tentu
hal yang sangat sulit untuk menegakkan kembali kebenaran. Maka sekarang mari
kita lihat sikap apa yang diambil sang mahaguru ini, guru dari ribuan ulama,
mufassir, muhaddits, dan fukoha ini.
Sikap Bijak Sang Mahaguru
Setelah kita mencermati
sekelumit gambaran tentang kondisi pemikiran maupun politik pada masa Imam
Ja’far as Shadiq RA tersebut, maka telah menceritakan kepada kita betapa rumit
situasi pada masa itu dan risalah imamah yang dipegangnya yang tak
henti-hentinya mengalami ancaman. Bani Umayyah telah sekian lama memisahkan
umat Islam dari Islam. Budaya jahiliyah pun kembali menjamur di bumi Islam.
Begitu juga pemikiran-pemikiran Barat (Hellenisme) mulai mengotori kesucian
aqidah yang dibangun oleh Rasul Saw al Mustafa, keluarga serta para sahabatnya
yang setia. Tak hanya kerusakan akidah, kerusakan sosial pun tak bisa lagi
dihindarkan. Ketika itu, harta umat Islam dihambur-hamburkan oleh penguasa dan
korupsi pun marak terjadi. Maka sudah barang tentu Imam Ja’far as Shadiq RA
tidak hanya berdiam diri menyaksikan keadaan itu. Imam Ja’far as Shadiq RA pun
menganggap perlu adanya pemahaman masyarakat terhadap Islam yang murni setelah
Islam Muhammadi telah dipisah dari umat Muhammad oleh Bani Umayyah.
Meskipun demikian, Imam
Ja’far as Shadiq RA tidak memilih ‘angkat senjata’ alias perang fisik sebagai
cara untuk melawan para dictator yang despotic tersebut. Sikapnya yang efektif
dan jenius ini menjadi cemerlang di tengah semaraknya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan
Islam dan pembaharuan. Beliau menata kembali sendi-sendi Islam yang sebelumnya
koyak karena politik dan pemerintahan yang despotik. Beliau pun mengemas
dakwahnya tidak dengan perlawanan fisik, namun tetap seperti semula yang telah
dibangun oleh ayahnya (Imam Muhammad al Baqir RA), yaitu dengan jalan mencetak
generasi tercerahkan di bawah risalah Ahlulbait Muhammad Rasulullah al Mustafa
Saw. Sistem dan metode dakwah beliau ini pun sangat tepat, sebab jika beliau
tidak mencerahkan umat Islam dengan risalah Muhammad Saw, tentulah Islam yang
dikenal adalah Islam Umawiyah yang menyimpang dan yang penuh dengan penindasan
dan kebohongan, bukan Islam Muhammadi yang penuh dengan cinta dan kasih sayang.
Dan bila diringkas secara ijmali atau secara global, ada dua macam penyimpangan
besar pada masa Imam Ja’far as Shadiq RA ini.
Pertama, penyimpangan
politik para aparatur pemerintah. Kedua, penyimpangan aqidah, pemikiran serta
akhlak. Sedangkan prinsip yang dipegang oleh Imam Ja’far as Shadiq RA untuk melakukan
reformasi universal ialah: Pertama, bersikap terbuka kepada kelompok-kelompok
ummat yang memiliki peranan politik secara pemikiran dan gerakan. Atau dengan
kata lain semakin menyiarkan akademi Ahlulbait Rasulullah al Mustafa setelah
sekian lama dikaburkan oleh penguasa pada masa itu. Ini adalah prinsip umum
Imam Ja’far as Shadiq RA. Kedua, mencetak generasi cerdas yang kelak menjadi
ulama yang berpemikiran modern dan memiliki pemahaman utuh tentang Islam. Di
mana yang kedua ini merupakan prinsip khusus Imam Ja’far as Shadiq RA.
Mewariskan Intelektualisme
Berkat perjuangan Imam
Ja’far as Shadiq RA itulah kaum Muslim atau ummat Islam kemudian menguasai
dengan baik ilmu pengobatan, astronomi, kimia, fisika, dan matematika.
Filsafat, logika, dan ilmu lainnya diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam
bahasa Persia. Selain adanya perkembangan saintifik dan kultural atau
kebudayaan selama hidup Imam Ja’far Shadiq RA, juga terdapat gerakan dalam
berbagai bidang. Seperti telah dipaparkan, kejadian dan kondisi politik,
ekonomi, dan sosial di jaman beliau hidup dan berjuang itu memerlukan pemecahan
yang sesuai dengan hukum Islam. Hasilnya adalah muncul dan lahirnya pandangan
dan lembaga pemikiran, juga para sarjana atau pun para ulama yang secara aktif
terlibat dalam mencoba menemukan jawaban yang benar untuk menjawab
permasalahan-permasalahan Islam dan ummat atau masyarakat.
Dengan keadaan seperti
itulah, alias dengan aktivitas dan perjuangan kultural dan saintifik Imam Jafar
Shadiq RA tersebutlah, beliau berjuang, hidup dan memiliki tanggung jawab yang
besar sebagai seorang mahaguru dalam domain kultural sekaligus dalam domain
agama. Seluruh hidup beliau diisi dan dijalani dengan mengajarkan ilmu yang
dimilikinya. Hingga ia memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memiliki nama
yang amat harum sampai saat ini di kalangan masyarakat Islam, sebagai sosok
sang mahaguru yang ketika hidupnya tak tergiur kekuasaan yang beberapa kali
ditawarkan kepada beliau untuk menggoda dan membujuk beliau. Salam sejahtera
atas-mu wahai Imam Ja’far as Shadiq RA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar