Dalam literatur sejarah
nasional Indonesia yang mayoritas alias kebanyakan ditulis di masa Orde Baru,
ada upaya membangun opini bahwa Indonesia merdeka berkat bantuan Amerika.
Sungguh sebuah opini yang menyesatkan bangsa ini yang sengaja dibuat oleh para
antek-antek Amerika, semisal para intelektual dan teknokrat karbitan Amerika di
era Rezim Soeharto. Tulisan ini akan memberikan gambaran sekilas tentang
kondisi Indonesia di masa-masa perjuangan kemerdekaan tidak terlepas dari
konteks percaturan politik dunia, yaitu konteks percaturan politik global
Perang Dingin, utamanya Amerika yang memiliki ambisi untuk menjadi adidaya
sejak lama, yang salah-satunya mereka susun dalam sejumlah planning dan
rancangan, semisal Truman Doctrine dan Marshall Plan.
Secara singkat, lahirnya
Truman Doctrine semula dimaksudkan untuk menghadang penyebaran komunisme di
seluruh dunia, di mana rancangan Amerika dalam rangka upayanya untuk memerangi
komunisme tersebut dikeluarkan pada 1947. Amerika pun menyusun Marshall Plan di
tahun berikutnya guna membangun pengaruhnya di Eropa setelah Perang Dunia II.
Indonesia (yang dulu disebut “Hindia Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah
koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall Plan tersebut.
Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Haag mampu untuk
memperkuat genggamannya atas Indonesia. Belanda melancarkan embargo ekonomi
terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogya kala itu. Tentu saja, Indonesia
menjadi menggiurkan Amerika yang memiliki ambisi tetap menjadi Negara adidaya
karena Indonesia merupakan asset dan kekayaan yang berlimpah, yang dalam bahasa
mereka (Amerika) disebut sebagai “upeti besar dari Asia”.
Bukan hanya itu saja,
pihak Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah
kembali Indonesia. “Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan
Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam
marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda and Zaalberg:
Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme
Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan Amerika Serikat diyakini turut membantu
Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948
(Dorling and Lee; Australia and Indonesia’s Independence vol.2: The Renville
Agreement: 1996).
Selain karena kekayaan dan
potensi alam dan material sejenisnya, keinginan penguasaan oleh Amerika Serikat
atas dan terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II juga
disebabkan letaknya yang sangat strategis. Bagi Amerika Serikat, menjadikan
Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting, bahkan
yang paling penting karena potensi kekayaannya yang melimpah dan yang masih
terpendam. George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS), contohnya,
bahkan pernah berkata kepada Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, George C.
Marshall, pada 17 Desember 1948, “Persoalan paling penting dalam pergulatan
kita dengan Kremlin sekarang adalah persoalan Indonesia.” (Gouda &
Zaalberg; p.35).
Misi Pendirian NATO
Sementara itu, dalam
rangka membangun pengaruhnya di Eropa dan guna membendung pengaruh komunisme
Soviet di sana, Amerika Serikat mendirikan North Atlantic Treaty Organization
(NATO) pada 4 April 1949. Di sini perlu diketahui bahwa tanggal 1 Oktober 1949
RRC komunis di bawah Mao Tse Tung juga didirikan dan Perang Korea (1950)
memaksa tentara Amerika Serikat yang di bawah panji PBB berhadapan langsung
melawan tentara RRC yang membantu Korea Utara. Hal ini menjadikan Amerika
Serikat merasa perlu untuk mendirikan Southeast Asia Treaty Organization
(SEATO) yang memiliki kesamaan tujuan politik dan ekonomi dengan NATO. Maka tak
ragu lagi, NATO dimaksudkan sebagai politik pembendungan alias perang strategis
terhadap Uni Soviet, sedangkan SEATO ditujukan sebagai politik pembendungan
terhadap RRC (Soebadio; Hubungan Indonesia Amerika Dasawarsa ke II Tahun
1955-1965; 2005).
Selanjutnya, di akhir
tahun 1950, RRC dan Uni Soviet menjalin hubungan yang erat. Tentu saja hal ini
kian mencemaskan Amerika Serikat yang bernafsu menciptakan dunia sebagai pasar
bebas yang besar dan tak terbatas bagi dirinya, dan juga penguasaan atas
wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia. Sebab itu,
Menlu AS Dean Acheson di penghujung 1950 merumuskan kebijakan politik luar
negeri Amerika Serikat untuk Asia Pasific. Amerika Serikat bahkan melakukan
perjanjian dengan sejumlah negara di wilayah tersebut. Dan pada 8 September
1951, Amerika Serikat pun mendirikan pangkalan militer di Okinawa (Jepang),
Pangkalan Clark dan Subic di Philipina yang berdiri pada 30 Agustus 1951, ANZUS
(Australia, New Zealand, and United States) yang berdiri pada 1 September 1951,
Korea Selatan yang berdiri pada 1 Oktober 1953, dan Taiwan yang berdiri pada 2
Desember 1954 (Brown; American Security Policy in Asia; Adelphi Papers 132;
1977).
Amerika Tidak Bisa Dipercaya
Dalam hal inilah,
tepatnya, kita perlu merenungkan kembali sejenak sejarah kita, sejarah bangsa
Indonesia, suka atau tidak suka, yang ketika Soekarno memandang Soviet lebih
bisa dipercaya ketimbang Amerika karena Soviet belum pernah menjadi negara
kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas
negara-negara kolonial yang bersekutu dengan Amerika Serikat (Soebadio: p.42).
Dan karenanya, Indonesia di era Bung Karno menentang usaha Amerika menjadikan
negara-negara Asia Pasifik sebagai bonekanya (dengan mendirikan pangkalan
militer di wilayahnya masing-masing) dan menjalin kerjasama dengan Soviet dalam
kedudukan yang setara. Apalagi ketika Soekarno tahu bahwa Amerika terbukti
membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Di sini lah, kita juga
sebenarnya tak perlu banyak bertanya lagi, kenapa Amerika bernafsu untuk
menumbangkan Soekarno dengan segala macam cara manipulasi, seperti mempengaruhi
para jenderal di Angkatan Darat dan intelektual anti-Soekarno, semisal para
intelektual PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan MASYUMI.
Begitupun kita juga tidak
boleh lupa, pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh
Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump
menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke
Indonesia dengan kecepatan penuh demi membela para pembenrontak dan kelompok
separatis, yakni PRRI-PERMESTA. Saat itu, atas sikap keras kepala Soekarno yang
tidak mau tunduk pada keinginan Amerika Serikat guna membentuk Pax-Pacific
untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang
tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan
imperialisme di mana Amerika Serikat menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan
lain bagi Amerika untuk menggusur Soekarno dan menyingkirkannya, mengkudetanya.
Peran Soemitro dan Soedjatmoko yang Pro-AS
Jika kita meneliti rekaman
sejarah bangsa kita, sejak akhir 1940-an, Amerika Serikat sesungguhnya sudah
mengamati gerak-gerik dua tokoh PSI bernama Soemitro Djojohadikusumo (ayahnya
Prabowo Subianto) dan Soedjatmoko yang berasal dari kalangan elit. Amerika
akhirnya mengetahui jika keduanya tidak menyukai Soekarno. Baik Soedjatmoko
maupun Sumitro (ayahnya Prabowo Subianto) diketahui menyambut baik Marshall
Plan. Bahkan Soedjatmoko berkata, “Strategi Marshall Plan untuk Eropa
tergantung pada dapat dipergunakannya sumber-sumber alam Asia.” Koko, demikian
panggilan Soedjatmoko, bahkan menawarkan suatu model Indonesia yang terbuka
untuk bersekutu dengan Barat. Awal 1949, Sumitro di School of Advanced
International Studies yang dibiayai Ford Foundation menerangkan jika pihaknya
memiliki model sosialisme yang membolehkan dieksploitasinya kekayaan alam
Indonesia oleh Barat ditambah dengan sejumlah insentif bagi modal asing
(Suroso; Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008.p.301. Lihat juga Weisman dan
Djojohadikoesoemo 1949: 9).
Dan tak hanya
itu saja, David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia:
Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di AS Masuk ke Indonesia”
(Ramparts; 1971) menulis: “Di New York, keduanya dibesarkan oleh satu kelompok
yang berhubungan erat dengan apa yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang
menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala Negara Vietnam yang pro Amerika
Serikat. Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri dari
anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India. Mereka
merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska) dunia. “Kita harus berusaha agar
usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah non-komunis di
Asia paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya”, ujar Robert Delson,
anggota Liga yang juga Lawyer (pengacara) di Park Avenue. Delson adalah penasehat hukum
untuk Indonesia di AS.” Orang ini, tulis David Ransom, selalu menemani dan
membawa Soemitro dan Koko alias Soedjatmoko keliling Amerika dan memperkenalkannya kepada
sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action (ADA) dan juga SOSKA alias Sosialis Kanan, dan Delson ini sangat
berpengaruh dalam sikap polittik luar negeri Amerika.
Usai KMB
Setelah penyelanggaran
Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 itu, Sumitro Djojohadikusumo pun pulang
ke Jakarta dan diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, dan kemudian
juga sebagai Menteri Keuangan dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sikap Sumitro dan kawan-kawan PSI-nya yang mendukung investasi Belanda di
Indonesia merdeka tidak populer di mata rakyat yang nasionalismenya tengah
bergelora. Dan hasilnya, pada Pemilu 1955, PSI hanya mendapat suara yang kecil.
Namun, seperti sama-sama kita ketahui, intelektual-intelektual PSI tetap setia
menjadi mitra Amerika, termasuk menjadi para pembisik dan penasehat Amerika
dalam upaya penggulingan Bung Karno yang dikomandoi Jenderal Soeharto itu, di
mana bukan rahasia umum lagi bahwa naiknya sebagai Soeharto sebagai presiden
tidak lepas dari peran dan bantuan CIA, dinas intelijen Amerika, yang bahkan
banyak yang menyatakan bahwa CIA lah yang membuat strategi untuk menaikkan
Soeharto sebagai presiden setelah tahu bahwa Bung Karno justru menyiapkan
Jenderal Ahmad Yani sebagai pengganti dan penerusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar