Nabi Muhammad saw
bersabda: “Seluruh makna takwa disimpulkan dalam ayat Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan berbuat baik” (al Qur’an Surah an
Nahl ayat 90) (Mizanul Hikmah, 10:659). Dalam salah-satu tilikan filsafatnya,
Adorno, salah seorang eksponen Mazhab Frankfurt itu, pernah menyatakan bahwa
“orang yang masih mencari pendasaran dan alasan moral untuk tindakannya adalah
ciri orang yang tidak bermoral”. Sebab menurut Adorno, orang seperti itu
pastilah akan melakukan kejahatan-kejahatan bila tak ada moral verbal yang
mencegahnya.
Apa yang diutarakan dan
dikhawatirkan Adorno bertahun-tahun silam tersebut masih sangat terasa justru
ketika teks-teks firman kitab suci yang dipahami secara verbal seringkali
dijadikan alasan dan pembenaran untuk sejumlah praktek eksclusi alias
penyingkiran atas dan terhadap alteritas dan “keberlainan”, dijadikan alasan
untuk membenarkan kezaliman dan kekerasan terhadap orang-orang yang berbeda
identitas dan komunitas. Juga sebaliknya, bila saya meminjam wawasannya
Kierkegaard, orang seperti itu akan cenderung memahami kebaikan hanya sekedar
perintah tanpa penghayatan dan tidak belajar dari kenyataan keseharian untuk
memaknakan secara terus menerus apa arti iman dan kebaikan.
Kepekaan Pada Keseharian
Dalam hal ini, barangkali
“iman” adalah sebuah pelajaran dari keseharian dan ikhtiar pencarian yang tak
pernah usai, karena kita tak pernah tahu apakah kita yang akan masuk surga atau
justru orang lain yang kita tuduh sebagai mereka yang tak berhak mendapatkannya,
ataukah para gelandangan dan orang-orang gila di jalanan yang kita lihat dan
kita jumpai di pasar-pasar atau di trotoar-trotoar perkotaan, mereka yang akrab
dengan kesusahan dan penderitaan, ketimbang orang-orang yang nyaman hingga
begitu mudahnya berdakwah tentang janji-janji surga kepada setiap orang,
padahal motif sang boss yang mendanai mereka dan sumber finansialnya adalah
demi kepentingan dan tujuan politis, dan yang menggerakkannya adalah suatu
kekuatan atau korporasi yang sebenarnya tidak memiliki minat dan tekad bagi dan
terhadap agama.
Mungkin, sesekali
persoalannya bukan apakah teks kitab suci telah menjanjikan surga dan neraka,
yang menurut Rabiah Adawiah, bunyi verbal teks kitab suci tersebut ditujukan
kepada mereka yang iman-nya masih kekanak-kanakan dan perhitungan keimanannya
lebih bersifat transaksional dan ekonomistik, yang dalam bahasa Rabiah Adawiah
sendiri tak ubahnya seorang buruh yang tak akan bekerja bila tak diberi upah.
Iman adalah seperti pengalaman Zakariya yang heran ketika Jibril mengabarkan
wahyu tentang kelahiran Yahya, dan lalu ia pun bisu alias tak bisa berbicara
hingga Yahya lahir ke dunia, atau seperti Sarah yang tertawa ketika malaikat
Jibril mengabarkan kepada Ibrahim tentang berita kehamilannya, hingga arti nama
Ishak itu sendiri adalah tawa dan ia yang tertawa.
Beragama Dengan Penghayatan
Barangkali, iman harus lah
dimahkotai dan dilandasi kepekaan dan penghayatan, bukan hipokrisi, hipokrisi
yang acapkali diklaim sebagai iman dan kesalehan semisal yang dipercayai sahabat-sahabat
Ayub, yang dalam Kitab Ayub ditentang oleh Ayub sendiri. Sebab menurut Ayub,
iman dan kesalehan yang dipercayai sahabat-sahabatnya itu tak lebih sejumlah
dogma dan apologia yang bersumber dari kemalasan dan ketakpekaan, acapkali demi
mendukung status quo tindakan-tindakan mereka yang memiliki kepentingan untuk
mempertahankan dogma tersebut.
Di sini, saya teringat
Rabiah Adawiah, ketika ia menyatakan, “Aku mencari, tapi Ia bersembunyi”, dan
dalam khalwat itu pun Rabiah mengaku: “Aku mencintai Tuhan, tapi aku juga tak
membenci Azazil. Cinta takkan meninggalkan ruang di hati untuk yang lain. Dan
aku takkan mengabdi kepada Tuhan seperti seorang buruh yang meminta gaji”. Juga
dengan bait-baitnya itu Rabiah pun berdoa dan menyatakan makna iman-nya: “Jika
aku menyembahmu karena takut neraka, maka lemparkan aku ke dalam neraka. Jika
aku menyembahmu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku dari surga”.
Meski makna iman yang
diinginkan Ayub dan Rabiah rentan jatuh ke dalam hasrat untuk meniadakan diri,
bagi saya mestilah dipahami sebagai pemaknaan alternatif dari iman yang berubah
menjadi dogma dan apologia politis dan ideologis, yang acapkali malah
membenarkan kekejaman. Kekerasan dan kekejaman yang telah disesalkan dan
dikhawatirkan oleh Adorno ketika agama menjadi ideologi yang tertutup dan
kehilangan kepekaannya pada pengalaman dan keseharian. Iman seperti itu justru
lebih merupakan iman yang selalu khawatir dan selalu merasa terongrong, alias
iman yang paranoid. Iman yang justru dipenuhi waham.
Dan sebelum kita
mengakhiri tulisan ini, barangkali akan merupakan sebuah berkah jika kita
menyimak sejenak wejangan Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah, sebagaimana
yang terdapat dalam Nahjul Balaghah, berikut: “Jadikanlah dirimu sebagai
timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah orang lain itu
sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan bencilah orang lain
sebagaimana kamu benci dirimu sendiri, janganlah engkau menganiaya sebagaimana
engkau tidak senang dianiaya, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana
engkau senang orang lain berbuat baik kepadamu, dan pandang jeleklah terhadap
dirimu sebagaimana orang lain memandang jelek, dan tumpahkan relamu kepada
manusia sebgaimana engkau rela jika orang lain rela kepadamu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar