Radar Banten, 1 Agustus 2013
Sebagaimana kita tahu,
pada peristiwa 11/9/2001, yang disusul rentetan Bom Bali, Islam hadir secara
tiba-tiba sebagai sesuatu yang paling mengundang perhatian, tak terkecuali
kecaman dan kutukan. Bersamaan dan setelah peristiwa-peristiwa tersebut, utamanya
beberapa kalangan dan sejumlah media Barat, serta-merta “mencap” Islam sebagai
agama teror dan rahim kekerasan. Dan tentu saja, dalam hal ini, tokoh yang
turut “mematenkan” stigma sepihak tersebut adalah George Walker Bush, yang saat
itu Presiden Amerika baru terpilih dan yang dengan tangkas menggunakan
peristiwa 11/9/2001 tersebut sebagai isu sekaligus senjata politis
ke-presiden-annya untuk memuluskan ambisi ekspansi dan invansi militernya dalam
skala yang tak kalah mencengangkan: Perang Irak, dengan dana triliunan dollar
yang konon sebagiannya dipinjam dari Cina, dan utang tersebut diwariskan sampai
masa ke-presiden-an Barrack Obama.
Ragam Reaksi dan Persepsi
Namun, di sisi lain,
karena insting curiosity, sejumlah publik dan sarjana di Amerika dan Barat,
ingin mengetahui dan “mengakrabi” Islam, entah secara serius atau cuma
sekedarnya saja, membuat tak sedikit dari mereka menjadi muallaf dan menganut
Islam beberapa waktu paska peristiwa-peristiwa yang meminta korban nyawa
tersebut. Selain ada juga yang “menjadi” meyakinkan diri dan mendapatkan
“fakta” doktrinal untuk menyatakan bahwa “agama”, utamanya Islam, mengandung
benih dan retorika kekerasan dan kekejaman: teror.
Tentu saja, tak terkecuali
di kalanganan para sarjana dan akademisi, tak jarang simplifikasi dan
generalisasi pun merebak. Seakan-akan hanya agama yang menjadi sumber dan
muasal anatomi kekerasan. Padahal, dalam sejarah modern kita, ideologi politik
dan janji-janji utopis paham dan ideologi politik rajin melakukan ritus-ritus
kekejaman, semisal telah ditunjukkan dengan gamblang oleh Naziisme Hitler di
Eropa dan komunisme di sejumlah belahan dunia, dari Amerika Latin hingga
Afrika, dari Eropa hingga Asia.
Dalam konteks demikian,
sejumlah sarjana dan akademisi melontarkan beberapa pertanyaan dalam kaitan
antara agama dan kekerasan ini. Misalnya: apakah memang terdapat sejumlah
ajaran dan doktrin agama yang memang dapat melahirkan kekerasan? Ataukah
kekerasan itu sendiri berlatar-belakang psiko-sosial, ekonomis, dan politis,
dalam arti agama hanya dijadikan sebagai retorika dan sandaran pinjaman untuk
membenarkan kekerasan yang sumbernya sebenarnya lahir dari kondisi manusiawi
itu sendiri? Ataukah memang ajaran dan doktrin agama memang telah menyediakan
“legitimasi” bagi mereka yang kecewa dan terdesak untuk melakukan kekerasan
sebagai ungkapan dan jalan politis mereka?
Berpikir dan Bersikap
Proporsional
Agaknya, untuk mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita memang mesti menghindari
simplifikasi dan generalisasi yang terlampau menuduh. Dalam arti kita sendiri
mesti berpikir dan bersikap proporsional ketika berusaha membaca dan memahami
agama sebagai sejumlah doktrin dan ajaran di satu sisi, dan fakta sosial,
politis, bahkan ekonomis sebuah dunia dan lingkungan di mana kaum beragama hidup.
Dengan kata lain, kita mesti mencoba menerjemahkan dan membaca agama dan para
penganut agama itu sendiri secara kontekstual, yang tak bisa dilepaskan dari
corak budaya dan lingkungan sosial sebuah masyarakat.
Yang kedua, agaknya kita
mesti membaca dan memahami fenomena terorisme itu sendiri dalam keterkaitannya
dengan fenomena globalisasi dan kemajuan tekno sains yang memang lintas negara,
hingga seorang teroris di suatu negara dapat dengan mudah berkomunikasi dengan
koleganya di negara yang jauh sekalipun dengan teknologi elektronik, semisal
email dan social media, seperti sejumlah temuan paska peristiwa 11/9/2001 silam
yang membuktikan bahwa para pelakunya menggunakan komunikasi elektronik dengan
mengunakan kode tertentu, semisal komunikasi samaran yang ditulis dengan
mengunakan narasi surat cinta oleh salah-seorang pelaku peristiwa 11/9/2001
yang berada di Eropa kepada koleganya yang berada di Amerika.
Motif Politis Teror
Beberapa waktu paska
peristiwa 11 September 2001 tersebut, banyak kalangan menilai motif para
pelakunya murni politis, dan agama hanya dipinjam sebagai retorika demi
mendapatkan legitimasi publik muslim semata. Dalam wawancaranya dengan Giovanna
Borradori, filsuf sekaliber Jacques Derrida, contohnya, menyiratkan bahwa teror
di dunia modern saat ini tidak murni diinjeksikan oleh doktrin-doktrin agama
tertentu, semisal Islam, tetapi justru diinjeksikan dan dimungkinkan oleh
situasi dan fakta dunia modern itu sendiri, yang dalam hal ini globalisasi dan
kapitalisme, yang melahirkan kemakmuran bagi dunia yang satu dan kemiskinan
bagi dunia yang lainnya.
Dalam
hal ini, Jacques Derrida, rupa-rupanya tak mau terburu-buru “menuduh” dengan
simplisistik dan gamblang bahwa teror murni berasal dan bersumber dari agama,
tanpa kita terlebih dahulu memahami dan memandangnya dari aspek-aspek yang
mengkondisikan dan melingkupi kondisi manusiawi itu sendiri.
Ragam Tafsir Islam
Simplifikasi dan
generalisasi beberapa penulis, sarjana, dan akademisi Barat bahwa agama, yang
dalam hal ini Islam, merupakan sumber teror, juga mendapatkan penentangan dan
penolakan dari sejumlah sarjana dan kaum akademik muslim semisal Akbar S. Ahmed
dan para sarjana Barat, semisal Karen Armstrong dan John L. Esposito yang
bersimpati pada Islam sebagai ajaran monotheis dan wawasan kemanusiaan yang
menurut mereka lebih banyak mengandung ajaran dan doktrin humanis dan relevan
dengan cita-cita masyarakat modern yang demokratis dan menjunjung kebebasan dan
martabat manusia sebagai ummat manusia yang hidup di dunia meski juga memiliki
tujuan hidup setelah kematian.
Di
aras wawasan ini, jihad dan kesyahidan menurut mereka tidak identik dengan
melakukan kekerasan atau pembenaran untuk membunuh sesama ummat manusia.
Mereka, misalnya, mendefinisikan dan mencontohkan terminologi jihad sebagai ikhtiar
dan kerja keras dalam menuntut ilmu atau menimba pengetahuan demi kemajuan
masyarakat muslim itu sendiri, dan juga untuk menjadi berkah dan manfaat bagi
ummat lain yang berbeda agama, etnis, atau kebangsaan. Dalam wawasan yang
seperti ini pulalah, mereka mendefinisikan dan memahami aspek dan sisi
“rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi seluruh alam dan ummat manusia) yang
merupakan nilai dan spirit Islam itu sendiri, mestilah dibuktikan dalam lingkup
sekuler semisal bahwa mayoritas muslim mestilah memberikan perlindungan bagi
dan terhadap minoritas non-muslim yang hidup dalam negara yang berpenduduk
mayoritas Islam.
Para
sarjana dan kaum akademik yang mengkritik simplifikasi para sarjana dan kaum
akademis lainnya itu juga hampir-hampir melontarkan pendapat dan pandangan
tersirat bahwa mereka yang melakukan simplifikasi dengan menyatakan bahwa agama
adalah sumber teror tak ubahnya sekumpulan orang-orang yang berusaha mencari
kambing hitam di saat mereka tak menolak pertimbangan dan aspek-aspek manusiawi
dalam lingkung psiko-sosial, politis, dan ekonomis sebuah konteks atau
lingkungan, tak terkecuali wawasan epistemik dan tafsir keagamaan tertentu yang
eksclusif yang menjadi persemaian lahirnya bibit-bibit atau benih-benih
kekerasan dan intoleransi.
Agama,
tentu saja, semisal Islam dalam konteks keterkaitan pembicaraannya dengan
masalah intoleransi dan kekerasan tersebut, memang tak lepas dari tafsir
tentang dan mengenai agama itu sendiri, juga lingkup dan kondisi manusiawi para
penganut sebuah agama, yang tak diragukan lagi turut juga mempengaruhi
penerimaan dan pemahaman para penganut agama tentang agama yang mereka anut,
semisal kaum muslim, pada akhirnya memang adalah manusia-manusia yang tengah
hidup di dunia yang tak imun alias tak lepas dari persoalan-persoalan duniawi
yang sekular.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar