Oleh Shafwan Hadi Umry
MENURUT teori
otonomi semantik perbedaan makna tidak dapat diatasi, karena makna bukanlah
apa yang dikatakan penyair, tetapi 'apa makna puisi itu bagi berbagai pembaca
yang peka'. Sebuah tafsiran dapat dipandang bahwa yang satu sama tepatnya
dengan tafsiran yang lain, sepanjang tafsiran itu 'peka' atau'masuk akal'.
|
Penafsiran atas
puisi menimbulkan dua kutub yang berdiri pada posisi yang berbeda. Jika makna
terbaik bukan milik pengarang, maka makna itu pastilah milik kritikus, dan
dalam hal ini sang kritikus adalah 'penyair makna terbaik'. Bilamana makna
dikaitkan pada serangkaian kata-kata maka kita tidak mungkin melepaskan diri
dari penyair sebagai pemilik puisi.
Perdebatan ini selalu muncul ketika kritikus/pengamat sedang membahas puisi-puisi sang penyair. Selalu timbul ketegangan, konflik dan kepentingan yakni kepentingan pengamat sebagai kritikus dan kepentingan penyair sebagai pemilik puisi. Inilah 'kekacauan' dalam teori yang kita alami sekarang ini. Oleh karena itu sering pengamat atau kritikus gamang untuk memasuki dunia otonom penyair yang menulis karya puisi. Kritikus dihadapkan pada persoalan makna tafsiran atas puisi. Hirsh sang kritikus menawarkan apa yang disebut prinsip determinacy (Heraty, Hidup Matinya Seorang Pengarang, 2000:64). Prinsip ini adalah kemampuan untuk memaknakan ulang yang memungkinkan kita, membuat penafsiran. Jika makna tidak dapat diulang kembali, maka ia tidak dapat diaktualkan orang lain dan karenanya tidak dapat dipahami atau ditafsirkan. Determinacy adalah sifat dwi-makna yang diperlukan agar ada sesuatu yang dapat diwujudkan kembali. Ia mutlak diperlukan agar sesuatu makna dapat diteruskan pada orang lain. Memang, sebagian besar makna kata tidak persis dan kabur. Ia memiliki daerah perbatasan antara keambiguan (makna ganda) dan ketunggalan. Makna kata memiliki identitas diri pada kurun waktu yang berkaitan dengan sejarah atau waktu. Dalam pembicaraan ini kita menampilkan beberapa puisi penyair (menurut pilihan dan pertimbangan tertentu). Pertama, puisi karya penyair Sulaiman Djaya dari Banten (Mazmur Musim Sunyi, 2000). Simaklah kata-kata di bawah ini: Bacalah dengan nama piring, gelas, sendok, dan buku-buku, juga sepotong kue bolu di antara baris-baris angka dan kalender tua. Di bawah Maret yang agak coklat dan sudut-sudut yang tak saling menyapa, benda-benda saling sibuk menghitung apa yang tak sempat kaubaca dalam diam mereka yang dungu dan bisu, bagai lembar-lembar sebuah fiksi kesukaanmu. Kudengar gerimis berjingkat-jingkatan di sudut matamu, dan senja tiba-tiba telah berubah menjadi rumah-rumah yang tak satupun memiliki jendela. Namun, kau masih sempat memandang beberapa ekor burung dan unggas yang melintas. juga tiang-tiang biru sebuah istana yang pernah kauceritakan. Puisi penyair di atas benar-benar memadukan dunia realitas dan dunia mimpinya. Dunia keseharian seorang penyair yang bertemu dengan kebutuhan fisikal manusia yakni makan, minum bermain menikmati alam dan membaca. Bagi sang penyair alam dan kebiasaan adalah teman manusia setiap hari. Sesekali ia memimpikan sebuah istana suatu gambaran dunia kekuasaan. Pada puisi yang berjudul 'Monolog" ia mengakui dirinya untuk belajar menyimak berita yang tidak semuanya sesuai dengan fakta. Penyair menulis; Saya tahu seorang penyair harus belajar Menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku Tapi di luar kalimat tak pernah terjadi apa-apa, Di luar kalimat segalanya berubah kapan saja Seperti cuaca.Namun tidak juga Saya mesti menyimak semua berita Yang semakin tak membuktikan apa-apa. Pada puisi "Mantra dari Negeri Para Sultan" penyair melakukan referensi ke masa lalu. Kata-kata yang dipakai untuk membangun semacam 'the time tunnel' sebuah lorong waktu masa lalu yang dicurahkan ke masa kini. Simaklah puisi yang di anggap terindah dalam kumpulan puisi ini. Misalkan kau Bandar di kota tua, aku adalah seorang kapiten muda yang mencari sirih dan lada dari Banten dan kapur dari Barus. di atas bentangan layarku , langit menyisir rambutnya yang perawan. saat itu aku adalah Diogo de Couto yang berangkat dari Coromandel dan Calcutta. Sedangkan kau seorang putri Ong Tien dari Tiongkok yang terdampar di Teluk Karangantu saat hendak ke Tuban dan Aros Baya. Pada puisi 'Cello Serenade" penyair memahami puisi dengan cara berpuisi. Biarkan puisi mencari takdirnya sendiri Karena puisi tak cuma nukilan kata-kata Bahkan bahasaku seumpama Bulu-bulu yang lepas dari sayap Penyair kedua adalah Raudah Jambak asal kota Medan. Ada dua puisi yang sempat terekam dalam lembaran Budaya Analisa (18 Mei 2008). Puisi 'Pada Kalender-kalender yang Tak Lagi Terbaca' penyair menuliskan kecemasan dan keresahannya tentang perpisahan masa lalu yang dimetaforakan pada kalender yang setiap bulan berganti dan akhirnya tertinggal dan mungkin terkoyak bersama kenangan. Kita baca ulang kembali puisi tersebut. Pada kalender-kalender yang tak lagi Terbaca, aku susun catatan-catatan kita Angin mengelus dingin ubun-ubunku Bersama genangan airmata Stasiun ini pun telah lama tak lagi menunggu janji setia, yang tertinggal Hanya serpihan hati dari gores tangan Berwarna derita Pada kalender-kalender yang tak lagi Terbaca, rindu dendam telah lama buram Mengenangmu, entah di mana berimba. Stasiun sebagai terminal selalu menjadi inspirasi beberapa penyair untuk menangkap lanskap 'terminal' suatu simbol perhentian sementara, suatu yang menawar janji untuk tidak setia. Secara paradoks setiap waktu trem dan kereta api mengangkut manusia tetapi belum tentu mengangkut diri penyair, stasiun tetaplah sebuah penantian sementara kereta yang ditunggu tetap hadir mengangkut penumpang tetapi belum tentu kita penumpangnya. Pada puisi 'Tentang hujan daun dan kau' penyair ini berkata; Sederas deru nyanyian hujan kau tetap bertahan Baris-baris debu, menyembur mantra beraroma dupa Karam di kornea mata menghapus jejak perjalanan Di setiap titik peron-peron lengang Baris-baris takdir menghadirkan bau amis Meranting sepanjang jalanan bercabang Dan daun-daun yang melayang rebah Sekelam bayang-bayang malam kau hadirkan geram Langkah-langkah kata pun perlahan terhenti menderas Sepenuh tangis memeluk risau Sekeras deru nyanyian hujan kau tetap bertahan… Ada tiga simbol yang dipakai penyair yakni hujan, daun dan kau. Simbol, hujan untuk menampilkan kedatangan rahmat Tuhan karena itu orang yang sadar tentang rahmat Tuhan akan bertahan penuh kesabaran. Namun, tidak dengan daun, lambang takdir yang 'meranting selama perjalanan hidup seseorang manusia' dan akhirnya gugur layu menunaikan takdirnya. Suatu simbol awal kehidupan dan akhir kematian. Kemudian 'kau' dipakai sebagai media dialog antara penyair dengan seseorang mungkin anak istri, murid atau teman-teman yang dianggap akrab dengan kehidupan penyair. Beberapa puisi yang ditulis oleh dua penyair pilihan bulan ini membuktikan bahwa pendekatan determinacy sebagai alternatif memahami dan menafsir puisi menurut kita adalah suatu makna dapat diteruskan pada orang lain. Semua ini berdasarkan identitas diri kepenyairan. Oleh karena tanpa identitas diri komunikasi maupun ketepatan dalam tafsir tidak akan mungkin terjadi. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar