Radar Banten, 12 Maret 2015
Kerja dan ikhtiar sastra, atau pun eksperimen
penulisan, seperti yang telah kita maphumi, adalah ikhtiar dan pergulatan untuk
mengolah bahasa yang merupakan bahan mentah sastra itu sendiri, semisal upaya
mencipta diksi dan retorika ketika kita menulis sajak, tak ubahnya seorang
petani yang mengolah ladang dan sawahnya untuk mendapatkan hasil yang baik dan
bagus, di mana suatu kebaruan dan keunikan akan diperlihatkan oleh sebuah
karya, entah puisi atau pun prosa –sebab acapkali yang membuat sastra menjadi
bagus adalah karena kemahiran literer yang ditunjukkan oleh karya sastra itu
sendiri dan upaya untuk menemukan kemungkinan bahasa dan narasi itu sendiri, di
saat para penulis masih menggarap isu dan tema yang sama dengan para pendahulu
mereka.
Misalnya, apakah sebuah karya menawarkan suatu bentuk
pengucapan atau penuturan dan pengucapan tertulis, meski belum jauh berbeda
dengan puisi-puisi atau prosa-prosa sebelumnya, tetaplah mampu memberikan
sedikit sentuhan dan kenakalan.
Memang, tak jarang, kreativitas mesti mendobrak
kemapanan bahasa atau pun mainstream tuturan dari tradisi atau pun kebiasaan
sebelumnya. Sebutlah sebagai contohnya, ikhtiar itu dengan tuturan puitis
sebuah prosa, yang bercerita lewat imaji dan citra-citra pinjaman untuk
menyiratkan sesuatu yang hendak disampaikan, atau cukup dengan jalan sederhana
saja semisal dengan jalan verbalisme yang nakal namun berpetualang, yang dengan
itu semua proses pembacaan sebuah karya sanggup membangkitkan sebentuk orgasme
literer.
Contoh lainnya adalah semisal ketika kita membaca
karya-karyanya Dostoievsky yang membuat kita tergoda untuk menelusuri dan
menerka dunia yang tengah ditebarkannya kepada kita, bak ketak-usaian Alfu
Layla Wa Layla, karena suasana dari efek penulisan prosa-prosanya yang
menghadirkan keragaman sekaligus teka-teki dunia ala novel-novel detektif. Dalam Crime and Punishment itu, misalnya, kita sebenarnya tidak pernah tahu
secara jelas alasan kejahatan Raskolnikov. Apakah karena kemiskinannya? Apakah
karena kebenciannya terhadap tingkah-polah masyarakat rente? Kita tak tahu mana
muasal dan akibat, karena yang tersisa adalah kesamaran yang memberi kita
kesempatan untuk memikirkan sendiri. Dan itulah mungkin yang akan kita sebut
sebagai efek musikal sebuah karya sastra yang tak menghendaki dirinya menjelma
sebuah saintisme-bahasa, tetapi lebih sebagai kebijaksanaan penuturan dan
penceritaan.
Model yang sama juga dapat kita rasakan dalam beberapa
prosa Akutagawa, seperti prosa Di Hutan Belukar-nya yang menawarkan kepada kita
ragam versi kesaksian atas kejahatan yang sama-sama menawarkan anti-tesis bagi
setiap usaha saintisme bahasa. Seperti kita tahu, dalam salah-satu prosanya
itu, Akutagawa rupa-rupannya hendak menyentil dan mempermainkan perspektif
pembaca, atau kita, dalam memahami dan memandang sebuah kejahatan agar tidak
terlalu terburu-buru menuduhnya.
Begitulah, dalam sebuah perbincangan akrab yang
mengambil tema Seputar Intelegensi dan Kecerdasan Insani, Daisaku Ikeda
bertanya kepada Arnold Toynbee: “Apa yang bisa dilakukan sebuah karya sastra
bagi kaum papa?”. Pertanyaan itu, sebagaimana diakui oleh Daisaku Ikeda, memang
dipinjam dari Jean-Paul Sastre. Segera saja, Toynbee menanggapi bahwa adalah
sesuatu yang akan sangat keliru bila memaksakan kesusastraan menjelmakan
dirinya sebagai fungsi sains, karena karya sastra, lanjut Toynbee, lebih sering
berfungsi sebagai pengguggah jiwa dan kesadaran. Toynbee mencontohkannya dengan
dampak novel-novelnya Tolstoy dan Dostoievsky yang telah membangkitkan rasa
iba-hati dan tanggungjawab dalam rangka menciptakan solidaritas-humanis, yang
pada akhirnya menggerakkan kesadaran masyarakat untuk saling-membantu dan
merubah nasib mereka.
Seperti juga Heidegger ketika membincang puisi, sastra
bagi Toynbee kadang-kadang malah menciptakan pilar baru atau wawasan dan
kuriositas bagi ilmu pengetahuan, intelegensi, dan kecerdasan insani. Jika
demikian, “realisme kesusasteraan” tentulah bukan berarti sebuah usaha dan
upaya “menjinakkan” kosmologi kesusasteraan hanya sekedar sebagai “fungsi
sosiologis” semata. Dapatlah dikatakan, kesusasteraan tidak menghendaki hanya
menampilkan data-data survey, tapi lebih mencerminkan sebuah ikhtiar alegoris
dan kiasan untuk mencipta “wawasan”. Kadang-kadang, karena garisnya ini,
“kesusasteraan” tak jarang mendekati fungsi yang agak “profetik”.
Dan demi mengimbangi perbincangan itu, Daisaku Ikeda
kemudian menambahkan bahwa memang, spirit dan rasa bebas yang didasarkan pada
panggilan jiwa kreatif-lah yang menjadi “pilar” dunia kesenian dan
kesusasteraan. Sebab acapkali, demikian Daisaku Ikeda menambahkan dalam
dialognya yang amat bernas dengan Arnold Toynbee pada sesi tentang “pentingnya
kecerdasan itu”, kesusasteraan yang secara sengaja meniatkan menjelmakan
dirinya memiliki tujuan sosial atau fungsi realis malah jatuh pada pragmatisme
dan jebakan politis, yang alih-alih membuatnya kehilangan tujuan sosial yang
diniatkannya. Karena itu, demikian mereka mengakhiri sessi kesekian dialognya
itu, “spirit yang dilandasi pada kebebasan-kreatif-lah” yang akan membuat karya
sastra memiliki fungsi sebagaimana mestinya sebuah karya sastra.
Sementara
itu, terkait tradisi dan kreativitas individual, para jenius tidak dilahirkan
dari rahim kemalasan, meski kadangkala mereka terlahir dengan bakat alam sejak
kecil alias terlahir dengan kecerdasan alami. Tapi dari ketekunan, kerja keras,
perjuangan teguh yang konsisten. Kita tahu Albert Einstein, contohnya, sudah
menampakkan kecerdasan sejak kanak-kanak, namun temuannya yang membuat masyhur
ia dapatkan dan ia raih dari pembelajaran dan pencarian yang sabar dan
terus-menerus.
Demikianlah,
acapkali penemuan seorang ilmuwan tidak ia dapatkan sendiri begitu saja,
melainkan ketika mereka berhasil menggenapkan, menambah, meneruskan,
menyelesaikan, atau melengkapi tesis, teori, dan temuan para pendahulu mereka.
Dalam lingkup atau komunitas alias tradisi saintifik itulah, keberhasilan,
temuan, dan prestasi sejumlah ilmuwan diraih ketika mereka sanggup mengoreksi
kekeliruan dan menyelesaikan kebuntuan para pendahulu mereka, atau ketika
mereka berhasil memecahkan “kegagalan teoritik dan saintifik” para pendahulu
mereka.
Apa
yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa prestasi kreatif atau keberhasilan
saintifik seseorang tidak murni individual. Tradisi dan kerja serta karya dan
temuan para pendahulu mereka telah memberikan bahan dan kemungkinan bagi
capaian dan keberhasilan para penerus mereka di kemudian hari. Dalam lingkup
dan komunitas para fisikawan, contohnya, keberhasilan dan temuan para fisikawan
justru ketika mereka menyelesaikan kegagalan dan kebuntuan para pendahulu
mereka tersebut, dan karena mereka tetap menghormati para pendahulu mereka,
karena mereka justru mendapatkan “berkah” dari kegagalan para ilmuwan dan
fisikawan sebelum mereka tersebut.
Bagaimana
dalam dunia sastra? Tentu saja tidak jauh berbeda. Prestasi dan keberhasilan
seorang penyair atau penulis acapkali ia raih ketika mereka mampu belajar dari
“kekurangan” dan “keberhasilan” para pendahulu mereka dalam menggali dan
mengolah kemungkinan naratif dan eksperimentasi bentuk tuturan dan penulisan
itu sendiri, dalam “membunuh” sekaligus “menghidupkan” bahasa. Dan tentu saja
dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan T.S. Eliot, apa yang kita sebut tradisi
bukanlah kejumudan dan ketaatan-buta yang justru akan mematikan dan menghambat kreativitas.
Saya
sendiri lebih suka menganalogikan, meski barangkali tak persis relevan dan
akurat, tradisi seumpama sawah yang harus dibajak, dicangkuli, dan ditanami
kembali setelah sebelumnya telah dibajak dan ditanami. Dan tentu saja,
resikonya, adalah hasil yang lebih baik, sama saja, tak jarang malah buruk,
gagal, dan mengecewakan. Kita lah para pembajak dan penanam yang kadang
berhasil memuaskan dan tak jarang mengecewakan itu. Di mana temuan,
kreativitas, dan inovasi kita sendiri akan sangat berpengaruh pada kerja dan
ikhtiar estetik dan literer kita sendiri.
Tak
ubahnya dalam dunia saintifik dan komunitas ilmuwan dan para fisikawan itu,
kita pun dapat mengetahui tempat dan posisi kita ketika kita belajar dari
kekurangan dan keberhasilan para pendahulu kita, ketika mereka bekerja dan
bergulat di ladang-ladang narasi dan pematang-pematang bahasa. Dengan resiko
yang juga tak jauh berbeda: kita bisa melanjutkan, melampaui, bahkan jatuh
dalam kegagalan alias terjerembab dalam degradasi yang malah menjadi lebih
buruk dibanding para pendahulu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar