bumi masih bergerak ibu /
dan aku berdiri pada putaran-putaran gunung (Jamal D. Rahman, Aura Sembahyang
Meneteskan Airmata).
Ada suasana keintiman pada
upaya mengajak pembaca untuk memasuki dunia kesunyian seorang penyair dan
perenungannya yang intens dalam sajak-sajak Jamal D. Rahman. Adakalanya terasa
lembut dan merayu, adakalanya terasa pekat. Ketika dunia-dunia yang dibangun
dalam sajak-sajaknya terasa senyap. Tetapi bagaimana pun satu hal yang menurut
saya sangat kental dalam sajak-sajaknya adalah upaya untuk meneropong manusia
dan kehidupannya. Meski figur-figur yang dipinjamnya sebagai referensi dan
kiasan bisa berupa angin, lembah, atau rumput: matahari melelehkan jiwaku /
tumpah di tebing / di jurang gelombang / aku lupa memandang langit / aku lupa
memandang laut / ke mana matahari seterik itu pergi / di barat peraduan menanti
/ di timur fajar tak terbit lagi (Di Timur Fajar Tak Terbit Lagi).
Selintas larik-larik sajak
di atas adalah sebuah gambaran apokalipstik. Meski apa yang ingin dilukiskannya
merupakan suasana bathin kesunyian meditatif penyairnya dalam dunia personal
dan kesehariannya. Kita juga dapat mebandingkannya dengan sajak berikutnya yang
menurut saya masih berada dalam suasana dan nuansa yang sama: bernafaslah pada
ombak / karena danau telanjur menyimpan buih / membendung gelombang zaman / dan
menghanyutkan doa / dari bukit sukmamu batu-batu pun hanyut / ke dalam sujud
muara / memadatkan tangis benua (Bernafaslah pada Ombak).
Teranglah dalam sajak
Bernafaslah pada Ombak gambaran keintiman meditatif penyairnya tentang
keprihatinan-bathin manusia yang selalu melupakan dunia di mana mereka hidup
dan berada. Dengan demikian dapatlah dikatakan religiusitas sajak-sajak Jamal
D. Rahman adalah sejenis religiusitas yang memandang dan mengakrabi dunia
sebagai sebuah kosmologi di mana manusia dan dunia tidak mungkin dapat
dipisahkan. Dengan cara pandang kosmologis itu pula penyair melihat dan
mencandra kehidupan dan dunia yang dijumpai dan diakrabinya melalui pelukisan
kesunyian diri: mengetuk pintu demi pintu / jam mendetak di lantai / dinding
pun terjaga / dan ombak bangkit dari jendela / aku tersungkur: lewat pintu-pintu
itu / angin mengusung zikirku dari alif ke alif / dan asmaramu mengerang di
padang-padang sembahyang (Di Padang Sembahyang).
Kita pun dapat memafhumi
sesering apa pun sajak-sajaknya Jamal D. Rahman mengambil tema dan isu
meditatifnya, kecenderungan umum sajak-sajaknya terkonsentrasi pada keintiman
penyairnya dengan alam dan keseharian. Hanya sesekali saja penyairnya
menyempatkan kecenderungan isu-isu politik. Bisa juga dikatakan jika pun
penyairnya menyempatkan untuk mengurusi isu-isu politik hanya sebatas
peminjaman untuk membangun tema umum kosmologi sajak-sajaknya yang lebih
mengedepankan meditasi penyairnya dalam dunia dan keseharian.
Sembari tetap menjaga
konsistensinya tersebut, beberapa sajaknya toh masih sempat menyuarakan
romantika yang lembut, merayu, dan sarat suasana liris yang sifatnya individual
seperti yang dapat kita baca dalam sajaknya yang berjudul Pada Riak Rindu Kita:
engkau meneteskan airmata ketika aku datang bersama sepotong kabut / yang
menyelimuti seluruh aura tubuhku / aku tahu, airmatamu kini penuh gelora masa
kanakmu yang biru / menggemuruh di sekujur tubuhku / membawa air akar
pohon-pohon yang tumbuh sepanjang airmatamu.
Dalam hal ini, bila Abdul
Hadi WM menyebut sajak-sajak Jamal D. Rahman memiliki kecenderungan nada
misitikal sufistik, maka saya lebih merasakannya sebagai sajak-sajak yang
membangun dunianya dengan permenungan-permenungan religius “sang aku” dengan
subjektivitas eksistensinya dalam dunia dan keseharian yang dialami dan
dirasakan oleh seorang penyair. “Sang aku” ini, yang bila meminjam frasenya
Tommy F. Awuy adalah aku yang senantiasa gelisah dalam antrian panjang
kehidupan. Di sini pula saya berani mengatakan bahwa sajak-sajak meditatifnya
Jamal D. Rahman pada dasarnya bersifat Heideggerian. Ketika keintiman penyairnya
dengan hidup dan keseharian terasa kuat dan kental. Di mana dunia dipandang dan
disikapi sebagai cakrawala yang hidup dan intim.
Setidak-tidaknya
kekentalan meditatifnya itu mampu digambarkan dengan baik dalam sajaknya yang
berjudul Kurendam Tangis dalam Lautku: kucelupkan mukaku ke dalam rimba gerimis
/ dari doa-doamu di sepanjang jalan itu / tak kutemukan sunyi / nafas yang
ditindih peradaban / dan sukma yang selalu merintih / bersujud di pinggir jalan
/ hingga memar wajahku / o, begitu pucat mimpiku. Juga dalam sajaknya yang
berjudul Aura Sembahyang Meneteskan Airmata: bumi masih bergerak ibu / dan aku
berdiri pada putaran-putaran gunung / kawah dan magma membuat irisan-irisan
waktu / kian menggelora di hatimu / meski rimbun dedaunan itu telah mengembalikan
aura sembahyangku kepadamu / bumi terus bergerak, ibu / dan masih kupeluk
sukmamu.
Ibu dalam sajak di atas
lebih merupakan simbolisasi kosmologis yang tetap menyisakan terjemahan
verbal-nya. Dua kemungkinan tersebut dibiarkannya memiliki peluang pemaknaannya
masing-masing. Dan karena dualisme dan kemungkinan polisemiknya itulah sajak di
atas bisa dibaca secara terbuka yang akan memberikan kekayaan arti dan makna.
Yang kalau meminjam istilahnya Umberto Eco sajak di atas disebut sebagai karya
terbuka alias “opera aperta”. Di mana sebuah karya mampu memberikan keragaman
makna dan penafsiran kepada pembacanya.
Kata “ibu” dalam sajak di
atas dipinjam sebagai kiasan untuk melukiskan kecemasan dan keterasingan
manusia dalam keseharian dan kesunyiannya. Bisa juga dibaca sebagai gambaran
kehilangan dan kerinduan. Kesemua arti tersebut tentu saja akan sangat
dipengaruhi konteks dan dunia yang ingin dituturkan seorang penyair.
Lebih lanjut, dalam
sajak-sajak Jamal D. Rahman alam dan benda-benda dihadirkan sebagai sejumlah
entitas yang akrab dan berbicara kepada penyair. Seperti benua yang menangis
dan jala yang cemas dalam sajaknya yang berjudul Bernafaslah pada Ombak. Juga
bisa dikatakan kesunyian penyair senantiasa digambarkannya dengan meminjam alam
dan benda-benda sebagai figur-figur yang mengungkapkannya dengan jernih dan
telanjang.
Pencandraan dan
pengakraban tersebut lahir dari keintiman seorang penyair pada kesekitaran dan
keseharian yang dialami dan dihidupinya secara personal. Yang dengan itu pula
dunia dan benda-benda dalam sajak-sajaknya Jamal D. Rahman tidak lagi dipandang
sebagai objek, melainkan subjek-subjek yang dekat dan menyapa penyair dalam
kesunyian mereka dan kesunyian penyair itu sendiri. Karena itu dapatlah kita
pahami bahwa “dunia” dalam sajak-sajaknya Jamal D. Rahman adalah sejumlah dunia
dan kesunyian yang menyingkapkan diri berkat keintiman meditatif dan kedalaman
religiusitas seorang penyairnya.
Dengan demikian,
keunggulan dan kekuatan lain yang juga dapat menjadi bukti kematangan dan keberhasilan
Jamal D. Rahman sebagai seorang penyair adalah kekentalan “dunia” bathin yang
ingin digambarkan dan diutarakannya kepada kita. Contohnya dapat kita rasakan
ketika kita membaca sajaknya yang berjudul Daun-Daun Kemboja: daun-daun kamboja
sore itu / seperti lukisan senja yang cemas / dan engkau datang tanpa cahaya
rembulan / ini cintaku / pada suaramu yang muram / sederet kaligrafi adalah doa
yang letih: / kenapa mereka dituliskan pada daun-daun kemboja / seperti lukisan
senja secemas ini? / ini cintaku, untuk tanah air sukmamu yang menggelora /
cinta dengan segumpal darah dan impian / begitu dalam tatapanmu kini / seperti
mengisahkan sebuah benua tua / yang menyimpan gelora lukisan senja secemas ini
/ sementara rambutmu terurai gerimis / dikipas-kipas angin sore hari.
Dalam hal inilah, jika
kita percaya surealisme adalah sebentuk kemampuan mengalihkan suasana bathin ke
pelukisan yang bersifat ikhtiar transendensi dan fantasi lewat peminjaman alam
dan benda-benda yang berbicara, atau sebentuk pembangunan gambaran imajis yang
padat dan kental, maka sajak-sajak Jamal D. Rahman telah melakukannya dengan
baik. Yang ketika kita membaca sebuah sajak kita dapat merasakan kesenangan dan
tergoda untuk berkelana memasuki dunia imajis dan fantasi sebuah sajak yang
kita baca sekaligus membuat kita seolah-olah tengah memandangi sebuah lukisan
yang indah karena kekuatan seduktif dan kekentalan penggambaran imajis dan
fantasinya.
Sementara itu bila kita
membacanya dalam perspektif Heideggerian, sajak-sajak Jamal D. Rahman adalah
sejumlah dunia dan keseharian yang menyingkapkan dirinya secara telanjang di
hadapan seorang penyair ketika seorang penyair mengintimi dan mengakrabi
kesunyian dirinya dan kesunyian dunia dan keseharian yang dihidupi dan
dialaminya dengan sepenuh penerimaan.
Begitu pun bila dibaca
secara sintaktik atau dari cara dan kemampuan penyairnya melukiskan dan
membangun dunia dalam sajak-sajaknya, kita bisa menangkap intensitas dan
konsistensi sajak-sajaknya berbicara tentang kecemasan dan kerentanan manusia
di hadapan ketakterbatasan alias infinitas ketakterdugaan hidup itu sendiri:
sebab engkau angin / kematian akan sampai pada dingin dedaunan / langit menjauh
/ malam memberat / dan engkau melambaikan kuning dalam gerimis / aku dengar
sungai mengalir / mengantarkan wewangian di sela bebatuan / sebab engkau angin
/ aku ingin kembali pada desir paling semilir (Sebab Engkau Angin).
Kata “angin” dipinjam
sebagai kata benda sekaligus simbol dan kiasan karena kata tersebut mampu
mencakupkan dirinya bagi makna polifoni dan polisemik. Ia bisa menggambarkan
ketakterdugaan, infinitas, keabadian, dan ketiadaan alias kerentanan dan
kekosongan.
Ketika saya membaca
sajak-sajak Jamal D. Rahman saya diingatkan kembali pada keberadaan saya
sendiri dalam dunia dan keseharian yang seringkali saya lupakan. Begitu pun
komitmen saya pada kehidupan dan dunia keseharian ditegur kembali dengan sapaan
dan meditasi kesunyian sajak-sajaknya yang sarat nada-nada seduktif yang
kental. Bahwa saya hidup dalam sebuah kosmologi yang bukan hanya diri saya
sendiri yang ada, melainkan saya hidup dalam sebuah semesta dan dunia.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar