Dalam Sad Pand va Hekayat
Imam Ali diceritakan seorang perempuan tua dengan fisik yang lemah sedang
mengangkat tempat air besar. Dengan terseok-seok dan napas yang terengah-engah
perempuan tua itu melangkah menuju rumahnya. Tiba-tiba ada seorang pria tak dikenal
mendekatinya dan menawarkan untuk membawakan tempat air yang berat itu.
Perempuan tua itu menggerakkan bibirnya dan berterima kasih kepada Allah Swt.
Ia kemudian berkata pada pria yang tak dikenal itu, “Allah mengirim engkau
untuk menolongku. Insya Allah, engkau akan mendapatkan pahala dari perbuatanmu
ini dari Allah.”Rumah perempuan tua itu tidak terlalu jauh. Ketika sampai,
perempuan tua itu membukakan pintu. Anak-anaknya yang masih kecil begitu
gembira setelah tahu ibu mereka telah kembali. Tapi rasa ingin tahu membuat
mereka bertanya-tanya siapa orang asing ini.
Pria tak dikenal itu
kemudian meletakkan tempat air di tanah dan bertanya kepada perempuan itu,
“Jelas bahwa tidak ada pria di rumah ini, sehingga engkau sendiri yang
mengangkat air. Apa yang terjadi sehingga engkau tinggal sendiri?”Perempuan itu
menarik napas panjang dan berkata, “Suamiku dulunya adalah seorang pejuang. Ia
berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam sebuah perang dan di sana ia
meninggal. Ia meninggalkan saya dengan beberapa orang anak.” Mendengar ucapan
perempuan tua, pria tak dikenal itu tidak dapat berkata apa-apa. Tapi dari
wajahnya terlihat ia begitu sedih. Ia hanya bisa menundukkan kepala, kemudian
meminta diri dan pergi dari situ. Tapi tidak berapa lama ia kembali ke sana
sambil membawa sejumlah makanan.
Perempuan tua itu
mengambil makanan dari pria tak dikenal itu dan berkata, “Semoga Allah
meridhaimu!” Pria asing itu berkata, “Saya ingin membantu pekerjaanmu.
Perkenankan saya membuat adonan roti, membakarnya atau menjaga anak-anak ini.”
Perempuan itu berkata, “Baiklah! Jelas saya lebih baik dalam membuat adonan
roti dan membakarnya. Engkau mengawasi anak-anak, sampai aku selesai membakar
roti.” Pria asing itu menerima dan pergi menemui anak-anak itu. Tapi sebelum itu
ia menghampiri bungkusan yang dibawanya dan mengambil daging lalu membakarnya.
Setelah matang, dengan sabar ia menyuapi anak-anak itu. Ia berkata,
“Anak-anakku! Relakanlah Ali bin Abi Thalib, bila ada kekurangan yang dilakukan
terkait kalian…”
Adonan roti telah siap.
Perempuan tua itu berkata, “Wahai hamba Allah! Nyalakan api untuk membakar roti
ini…” Pria itu beranjak dari tempatnya dan pergi untuk menyalakan api. Tungku
telah menyala. Air mata telah menggenang di pelupuk mata pria asing itu. Ia kemudian
mendekatkan wajahnya ke api sambil berkata, “Rasakan panasnya api! Inilah
balasan orang yang tidak mengurusi anak-anak yatim dengan baik dan tidak tahu
kondisi para wanita yang menjanda…” Pada waktu itu, ada tetangga perempuan yang
rumahnya bersebelahan dengan perempuan tua itu datang ke rumahnya. Ketika ia
melihat pria tak dikenal itu, dengan segera ia menghadapi perempuan tua itu dan
berkata, “Celakalah engkau! Tahukah siapa pria yang engkau perbantukan ini?”
Perempuan tua itu terkejut
dan berkata, “Tidak. Saya tidak mengenalnya. Ketika hendak kembali ke rumah
saya bertemu dengan dia dan langsung menawarkan diri untuk membantu saya.”
Tetangganya berkata, “Pria itu adalah Ali bin Abi Thalib, Amir al-Mukminin!”
Begitu mengetahui pria asing yang membantunya adalah Ali bin Abi Thalib,
perempuan tua itu langsung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia mendekati
pria itu dan berkata, “Wahai pria penolong! Maafkan saya yang tidak mengenalmu
dan memintamu untuk membantuku.” Imam Ali berkata, “Tidak! Saya yang harus
meminta maaf kepadamu. Karena saya tidak melaksanakan kewajibanku dengan baik
kepadamu dan anak-anak yatim ini.”
Setelah itu, Imam Ali
secara berkala mendatangi rumah perempuan tua itu dan menanyakan keadaan
mereka, sambil membantu makanan dan uang sesuai kemampuan beliau kepada mereka.
Cerita atau tarikh Islam ini menyarikan inti saripati tentang keteladanan
seorang pemimpin yang peduli dan menyatu dengan rakyatnya. Pemimpin yang peduli
dan terlibat, dan tak hanya duduk di kursi atau meja “kepemimpinannya” semata.
Mahkota Sejati Pemimpin
Yang barangkali juga
penting untuk disimak adalah bahwa saat terjadi krisis politik, Imam Ali Bin
Abi Thalib berjanji untuk meredam pemberontakan Muawiyah Bin Abu Sufyan, meski
ada perasaan terpaksa dalam hati Imam Ali Bin Abi Thalib. Itu semua karena
menurutnya dan menurut mayoritas kaum muslim pada masa itu pembangkangan
Muawiyah Bin Abu Sufyan lebih karena motif haus kuasa dan sifat tamak, alias
bukan atas dasar cita-cita kemaslahatan ummat, tetapi lebih karena ambisi
pribadi semata. Muawiyah Bin Abi Sufyan sendiri memang dikenal haus kuasa dan
tak segan menggunakan segala cara, hingga istana pribadinya semegah istana
kekaisaran Persia dan Romawi. Berbeda dengan para sahabat di era awal Islam,
semisal Abu Dzar al Ghifari dan Salman al Farisi yang hidup sederhana,
misalnya.
Pada suatu hari, misalnya,
seorang Yahudi dari Bait al Maqdis hampir tak percaya ketika berkunjung ke
Madinah. Rasa heran orang Yahudi itu tak lain karena ia tak mendapati istana
megah khalifah. Karena rasa herannya itu, ia pun bertanya kepada salah seorang
penduduk Madinah yang ditemuinya: “Di manakah istana khalifah?” Mendengar
pertanyaan pengunjung Yahudi itu, salah-seorang penduduk Madinah pun menjawab:
“Istana khalifah ar Rasyidin adalah di akhirat kelak”. Mendengar jawaban
salah-seorang penduduk Madinah tersebut, sang pengunjung Yahudi itu pun kembali
bertanya: “Apakah khalifah ar rasyidin mengenakan mahkota di kepala? Dan adakah
mahkota khalifah terbuat dari emas atau berlian?” “Mahkota khalifa ar rasyidin
adalah mahkota budi pekerti dan sikap amanah.” Begitulah salah-seorang penduduk
Madinah menjawabnya.
Bagi kita saat ini,
ilustrasi tersebut tak ragu lagi mengandung sindiran atas budaya dan perilaku
korupsi yang masih menjalar di negeri ini. Di sisi lain, ilustrasi tersebut
juga menggambarkan keteladanan dan kesederhanaan para sahabat seperti yang
telah disebutkan, yang juga memang dikenal sebagai para pemimpin yang berusaha
hidup sederhana, agar mereka yang miskin dan kekurangan mendapatkan kesepadanan
dalam diri para pemimpin mereka, sekaligus tidak merasa iri dan cemburu kepada
para pemimpin mereka. Selain sederhana, mereka juga dikenal sebagai para
pemimpin yang tahu kebijakan apa dan kapan sebuah kebijakan politik mesti
dilakukan dengan keras atau tidak. Tentu saja, dengan berpegang pada sikap adil
dan benar. Ketegasan mereka didasarkan kepada rasa keadilan, begitu pun ketika
mereka harus mengambil keputusan dan kebijakan politik yang keras, semisal
perang, tak lain dalam rangka menegakkan keadilan dan stabilitas ummat itu
sendiri.
Jika demikian, selain
mereka juga dikenal sebagai para pemuka agama, mereka pun para negarawan, yang
seperti banyak diceritakan, bahkan keterpilihan Ali Bin Abi Thalib, misalnya,
menjadi khalifah tidak didasarkan kepada keinginan pribadi, tapi atas
permintaan ummat. Tak hanya itu, Ali Bin Abi Thalib bahkan tetap bertanya
kepada jamaah bila saja ada kaum muslim yang tidak setuju kepada dirinya yang
didesak sebagai khalifah.
Dalam hal yang demikian
itu, dapat dikatakan, dipilihnya seseorang untuk menjadi seorang pemimpin
mestilah karena keinginan dan kesepakatan rakyat dalam ummat itu sendiri, bukan
atas dasar desakan pribadi seseorang yang ingin menjadi penguasa, semisal
dicontohkan dengan sosok Muawiyah Bin Abi Sufyan yang haus kuasa dan ingin
menjadikan dirinya sendiri sebagai kaisar, laiknya seorang Kaisar Persia atau
seorang Kaisar Romawi. Berbeda dengan khalifa ur rasyidin yang tidak memiliki
mahkota di kepala mereka, Muawiyah Bin Abi Sufyan memahkotai dirinya sendiri
sebagaimana para kaisar Persia dan Romawi mengenakan mahkota.
Muawiyyah Bin Abi Sufyan,
dengan begitu, merupakan kebalikan 180 derajat dari keteladanan dan
kesederhanaan yang dicontohkan para figur Islam teladan, semisal Abu Dzar al Ghifari
dan Salman al Farisi. Pun, kita tahu, di jaman Muawiyah itulah budaya dan
perilaku korupsi mulai merebak dalam lingkup kekuasaan dan pemerintahan.
Rupa-rupanya, sikap dan perilaku hidup yang kontras berbeda antara para sahabat
teladan dan Muawiyah Bin Abu Sufyan itu juga menjadi pengaruh faktor budaya dan
politik yang juga sangat bersebrangan. Sementara, di jaman Muawiyah Bin Abi
Sufyan, acapkali korupsi para gubernur tetap dibiarkan sepanjang gubernur
tersebut patuh kepada Muawiyah. Sedikitnya, situasi di jaman Muawiyah Bin Abi
Sufyan itu agak mirip dengan di jaman orde baru, juga ketika korupsi
seakan-akan dibiarkan, yang memang demi melanggengkan kepatuhan para pejabat
dan birokrat kepada Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar