Radar Banten, 21 Mei 2014
Secara singkat,
eco-literacy adalah kesadaran ekologis atau melek ekologi, baik secara kognitif
maupun praksis. Istilah ini pertamakali dikenalkan oleh Fritjof Capra dalam
bukunya yang berjudul The Web of Life yang di-Indonesiakan menjadi
Jaring-jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, dan juga bukunya
yang berjudul The Hidden Connection itu. Ada sebuah nubuat menarik yang
disampaikan Capra dalam bukunya yang berjudul The Hidden Connection, itu bahwa
ada dua perkembangan dalam dunia modern yang memiliki dampak tak terabaikan
bagi masyarakat. Pertama adalah kebangkitan kapitalisme global, yang kedua
adalah lahirnya kesadaran ekologis, di mana yang pertama dan yang kedua
tersebut saling bertentangan dan bertolak-belakang satu sama lain. Meski
demikian, berkat gerakan ekologis bernama eco-literacy, yang kemudian dalam
praksisnya dikenal dengan mewujudkan eco-design tersebut, upaya untuk
menciptakan industri yang ramah lingkungan pun akhirnya terus diupayakan dan
masih terus selalu diupayakan hingga saat ini.
Capra sendiri sebelumnya
dikenal sebagai seorang fisikawan energi tinggi sebelum terjun ke dalam minat
dan praksis ekologis setelah perjumpaan dan pergulatannya dengan kearifan dan
mistisisme Timur, termasuk dari filsafatnya Mulla Sadra. Tak hanya dari
kearifan Timur, sebagai seorang pemikir dan ilmuwan, Capra juga terinspirasi
ceramah dan bukunya fisikawan Austria, Erwin Schrodinger, yang berjudul What is
Life?, yang kelak menjadi gagasan dasar Capra sendiri ketika bersentuhan dan
bergulat dengan soal-soal eksistensi dunia dan hidup, termasuk yang kelak
berkaitan dengan wacana ekologis yang ditulisnya.
Relevansi eco-literacy
seperti yang digagas Capra tersebut tentu saja pas dan terasa dalam konteks
masyarakat dan dunia global saat ini yang acapkali ditimpa masalah-masalah
ekologis, kerusakan lingkungan, dan maraknya bencana alam akibat kerusakan
lingkungan dan terkikisnya keseimbangan ekosistem atau keselarasan ekologis.
Persis, di sinilah, menurut Capra dengan wawasan fisika dan ekologisnya itu,
unsur-unsur yang ada dan membentuk hidup kita, atau segala realitas yang tampak
dan tidak tampak dalam semesta dan di bumi kita ini, memiliki hubungan dan
keterkaitan satu sama lain, tak ubahnya jaring-jaring kehidupan dan hidup itu
sendiri. Sebagai contoh, jika hutan dan gunung mengalami pegundulan, penebangan
serta perusakan, maka rusak pula sistem dan tempat penyimpanan (serta
penyaringan dan penahan) air, yang akibatnya adalah terjadinya longsor dan
erosi tanah, yang akhirnya merubah lempengan dan komposisi bumi itu sendiri.
Bagaimana Dengan Sampah
Komoditas?
Yang juga menjadi
perhatian atau konsen eco-literacy dan eco-design adalah masalah sampah dan
dampaknya yang tidak kecil. Dalam konteks ini, kepedulian ekologis tak cukup
hanya di tingkatan wacana saja, tapi dibutuhkan solusi praktis. Misalnya,
mengembangkan dan berusaha melakukan inovasi dalam bidang industri yang selaras
dengan perawatan alam dan lingkungan dan sanggup meminimalisir residu (sampah).
Contohnya, memaksimalkan re-cycling atau upaya daur ulang sampah menjadi produk
dan komoditas yang bermanfaat. Jepang dan Korea Selatan dengan Landfill
Recovery Project-nya terbilang sebagai dua Negara yang sukses melakukan hal
tersebut.
Dengan kata lain, dan ini
sebagaimana ditegaskan oleh Capra sendiri, untuk mewujudkan visi eco-literacy
dan eco-design dibutuhkan dukungan di tingkat political policy atau di tingkat
kebijakan pemerintah sendiri, utamanya pemerintah pusat. Sebab, seperti jamak
kita ketahui, sumber daya alam tertentu memiliki potensi akan habis bila
dieksploitasi dengan tanpa perhitungan dan secara berhamburan. Di sini kita
ingat pepatah bangsa kita sendiri yang berbunyi, “alam bukan warisan nenek moyang,
tetapi titipan dari anak cucu kita”.
Pada tingkatan policy atau
kebijakan ini, sebagaimana dinyatakan Jessica Tuchman Mathews, meski
menyuarakannya di tahun 90-an, akan turut pula menentukan survival sebuah
Negara atau kawasan. Bahkan, sebagaimana ia tegaskan, akan menentukan kekuatan
keamanan nasional atau national security sebuah Negara, juga kawasan. Mengapa
demikian? Tak lain karena dampak global itu sendiri. Bukankah kepulan dan
gulungan asap dari Riau juga terbukti mengganggu Malaysia dan Singapura? Di
sini, lagi-lagi menurut Jessica Tuchman Mathews, yang tentu saja sebagai
penguat visi ekologis Capra, penanganan, perawatan, dan perbaikan ekologis
semestinya tak hanya menyangkut konsen satu Negara tertentu saja, tapi
diperlukan kerjasama yang sinergis antara beberapa Negara yang terkait dengan
kawasan itu sendiri. Misalnya, ancaman banjir dan masa depan ekologis di
Bangladesh terkait dengan lingkungan di India dan Pakistan, atau banjir di
Jakarta tidak dapat dilepaskan dari situasi dan dampak ekologis di Bogor (Jawa
Barat) dan Tangerang (Banten).
Sebuah Keniscayaan
Maka, tidak berlebihan
jika kita katakan bahwa ecoliteracy merupakan keharusan atau keniscayaan jaman
kita ini. Terlebih sudah lama produk-produk atau komoditas yang diproduksi
industri manusia, semisal plastik, bertentangan dan melawan alam, tidak hancur
seperti hancurnya daun dan menjelma pupuk atau tanah ketika jatuh. Alam tidak
menghasilkan residu (sampah), tetapi industri serta produk-produk modern lah
yang menghasilkan dan menjelma sampah. Sebagai perbandingan, bila dulu orang
tua-orang tua kita menggunakan kemasan pembungkus dan wadah dari daun yang akan
hancur dan kembali ke alam bila terbuang, manusia saat ini senantiasa
menghasilkan sampah (residu), yah seperti plastik yang telah disebutkan itu.
Di sisi lain, kita juga
tak ingin hanya bisa mengkritik atau melakukan kritik semata tanpa dibarengi
dengan aksi konkret dalam rangka merawat bumi dan ekologi ini. Persis dalam hal
inilah, sebagaimana ditawarkan Capra seperti yang sudah dikemukakan,
ecoliteracy saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan ecodesign, yaitu dengan
langkah nyata melalui usaha inovatif untuk mengembangkan tekhnologi dan
industri yang ramah lingkungan. Juga, tentu saja, sikap dan gaya hidup yang
selaras dengan lingkungan.
Di luar negeri, upaya dan
aksi nyata apa yang disebut Capra sebagai ecodesign itu, sebagai contohnya,
sudah dilakukan oleh wiraswastawan Gunter Pauli di awal tahun 90-an, yang
akhir-akhir ini banyak langkah serupa dilakukan oleh ilmuwan juga orang-orang
mandiri di Eropa, semisal di Jerman. Dalam kasus Gunter Pauli sendiri, ia telah
membuat pengelompokan industri secara ekologis bersama organisasi yang
didirikannya: ZERI, Zero Emission Research and Initiatives. Sebuah organisasi
yang cukup gigih untuk memperjuangan kesehatan ekologis dan memperjuangkan
industri yang ramah lingkungan, yang juga bergerak dalam kerja-kerja industri
daur ulang sampah menjadi produk-produk yang bermanfaat, dan akhirnya tidak
melakukan pemborosan atau penghamburan bahan mentah alam.
Apakah contoh yang
dilakukan Gunter Pauli tersebut relevan untuk konteks Indonesia? Tentu saja dan
tidak mungkin disangsikan lagi. Sekaya-kayanya sumber daya alam Indonesia,
pastilah akan berkurang dan tidak akan memberikan keuntungan serta manfaat
besar jika tidak dikelola dengan baik dan cerdas. Terlebih lagi, faktanya,
banyak hutan-hutan dan gunung-gunung kita yang sudah rusak dan gundul. Juga,
yang tidak dapat dilupakan, betapa setiap tahun banjir semakin membesar di
Jakarta, yang seperti kita tahu, salah-satunya akibat kerusakan di hulu
(Bogor), hingga sampah-sampah dari Bogor terbawa ke Jakarta bila datang banjir
dan hujan. Dan bila dalam tulisan ini telah disitir pepatah bangsa kita yang
berbunyi, “alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan dari anak cucu
kita”, maka hal yang sama juga berlaku untuk kota-kota dan lingkungan kita
berada.
Sulaiman Djaya
Burrard-Lucas Photography
Tidak ada komentar:
Posting Komentar