Oleh Mugya Syahreza Santosa*
“Aku selalu punya hitam
yang paling lembut, // sebuah rumah dalam kerang // bermahkota kabut. Aku
selalu punya dinding // yang senantiasa menggambar waktu.“
Penggalan puisi di atas
merupakan pernyataan Sulaiman Djaya (selanjutnya dipanggil SD) sebagai penyair
yang berhadapan dengan puisi-puisinya. Puisi dalam diri SD merupakan buah
pengembaraannya ke dunia teks untuk menghasilkan kembali sebuah teks lain,
meski tak dituntut menjadi hal baru, namun minimal memproduksi sesuatu yang
mewujud “rupa baru”. Ini merupakan terusan dari apa yang diutarakan Arip
Senjaya dalam epilog buku itu. Meskipun Arip menjelaskan bahwa jejak pembacaan
SD dalam hal ini, tidak akan menjamin memperlihatkan tempat pemberangkatannya,
melainkan mempertajam puisi-puisi SD itu sendiri.
Padahal, dengan tingkat
kepercayaan diri SD yang ragu, pada kata pengantarnya, sang penyair sudah
menyatakan bahwa puisi-puisinya mungkin saja lanjutan dari setiap hal yang
telah hadir sebelumnya. Baik sebagai ide gagasan, estetika, maupun spiritnya.
Saya kira tidak ada yang aneh dengan kesadaran SD akan hal tersebut. Bahkan
satu sisi mungkin kesadaran tersebut menjebak sebagai kutukan yang bertahap
menghampiri diri seorang penyair.
Akan tetapi tulisan ini,
demi menghindari pembacaan yang sama, saya lebih memilih mengincar obsesi SD
pada hal-hal yang riil dan seringkali menghiasi puisi-puisinya. Baca saja frasa
“Hitam yang paling lembut” di larik pertama puisi SD yang berjudul “Mula
Puisi”, yang menyuratkan obsesi SD sebagai penyair terhadap warna. Obsesi
sebagai pikiran yang berulang dan menetap, impuls-impuls atau dorongan yang
menyebabkan kecemasan. Obsesi itu acapkali muncul di berbagai puisi-puisinya
untuk menegaskan di mana di SD sebagai penyair sedang berdiri: yang
mengakibatkan adanya panorama yang sedang direnunginya sebagai peristiwa, alur
waktu seperti ditegaskannya pada frase berikutnya: “menggambar waktu”,
dan kegelisahan lainnya lagi yang kerap hadir menghantuinya.
Rasionalisasi benda-benda
pada puisi-puisi Sulaiman Djaya selalu memungkinkannya untuk memaknai obsesi
tersebut, seperti tercermin dalam pengakuannya: “benda-benda menggambar
cuaca jadi warna”, dan begitu mendambakannya SD pada “kertas merah tua
dari senja” hingga puisi akan terus dituliskan di atas hamparannya. Pada
puisi berikutnya, yaitu “Di Ruang Baca”, SD semakin mendesak pembaca
untuk larut mengiyakan bahwa “hari-hari yang kadang putih” merupakan
pemandangan dari mata penyair untuk diterima oleh kita juga. Mengapa bisa
demikian? “Karena waktu yang tak pernah bosan // menggambar warna pada
bayang-bayang”, yang menurut SD terus ada dalam pikirannya.
Sementara itu, dunia dalam
puisinya yang berjudul “Monolog” yang menjadi bagian percakapan penyair
dengan bathinnya itu memperlihatkan kembali adanya keraguan untuk menyatakan
warna apa yang dirasa pas demi mewakili sebuah nasib yang ditanggungnya? Karena
bagi SD “bukan berwarna biru, ungu atau hijau abu-abu”. Ini membuat saya
sebagai pembaca harus menerawang dan membayangkan apa yang diwakili warna dalam
puisi-puisi SD bisa menjadi sebuah tolok-ukur untuk benda-benda yang sifatnya
metafisik.
Akan banyak sekali yang
ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi SD ini, yang
secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk menandakan
benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”, “November
yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”, “mendengar
putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna kelabu
yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja
tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah
Desember putih”, dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat
disandingkan dengan penanda waktu.
Mungkinkah SD sedang
berusaha meneguhkan dirinya lewat warna-warna yang ada di dunia ini? Agar tidak
serta-merta warna-warna tersebut hanya menjadi identitas sebuah produk yang
dapat dijual sebagai dagangan semata. Semisal menjadi wilayah fashion, trend,
atau hasil industri dan pasaran lainnya lagi. Mungkin puisi yang langsung
diberi judul “Elegi Kirmizi” akan memberi sedikit peluang dalam
menemukan di mana SD sebagai penyair mengandaikan hidup dirinya “sepekat
malam”, hingga pikirannya terobsesi warna-warna di luaran dunia sana.
Lalu perhatian saya
berikutnya sebagai pembaca, meyakini latar waktu dalam puisi-puisi SD memiliki
peranan ganda yang tidak hanya menjadi durasi, melainkan menjadi ruang
beralusi. Jelasnya: “selalu punya dinding yang senantiasa menggambar waktu”
untuk dipandangi, dibandingkan kembali bahkan diputar ulang sebagai peristiwa
baru lagi untuk dinikmati.
Nama-nama bulan dalam
perkalenderan pun banyak diseret oleh SD sebagai sejumlah metafor yang bisa
dicampur-baurkan dengan warna-warna, menjadi semacam impressi. Nyanyian
Desember adalah puisi yang paling mengesankan semua itu, baik dilihat pada
obsesinya pada warna yang terus dihadirkan oleh sang penyairnya, juga latar
waktu sebagai alusi. Secara sengaja atau tak sengaja, puisi-puisi SD merupakan
bagian dari representasi dari keadaan jiwanya dalam menangkap fenomena di
sekitarnya, yang dalam hal ini dituangkan lewat penanda pada jenis warna-warna
yang begitu sangat dominan di sebagian besar puisi-puisinya dalam buku Mazmur
Musim Sunyi. Kemungkinan SD mengirim lambang-lambang tersebut untuk memperkokoh
kelangsungan pilihan katanya.
Cermati saja, betapa
sering SD mewakilkan dirinya sebagai penyair dan sebagai seseorang yang
senantiasa menghasilkan sebuah karya, yang berusaha bahkan bersaing dengan
dirinya sekalipun, dan kadang penuh “kebirahian”. Hingga nampak, misalnya, pada
disandingkannya dengan kata “senja”, terus dengan “kata-kata pertama hawa”,
dan sebagainya. Barangkali hal itu disadari oleh SD sebagai penyair, namun bisa
jadi alam bawah sadar-nya lah yang membimbing dan menuntunnya.
Sementara itu, warna biru,
yang menggeliat di sejumlah nafas puisi-puisinya, memberi kesan menenangkan
hingga tercapailah “takdir yang bukan biru”. Sehingga SD sebagai penyair
meneguhkan dirinya akan nasibnya yang tidak pernah tenang, tidak pernah banyak
harapan seperti tergambar dalam perlambang warna ungu, namun juga tak ada
keinginan untuk hampa sebagaimana tercermin dalam perlambang “hijau yang
abu-abu”.
Ada baiknya saya akan
memberikan beberapa pemahaman saya sebagai pembaca akan warna-warna dalam
puisi-puisi SD tersebut sebagai sesuatu yang memiliki ruang jiwa yang dapat
kita duga. Misalnya pada warna hijau yang selalu mengesankan suatu keinginan,
meski di dalamnya ada ketabahan dan kekerasan hati. Sementara untuk warna
coklat seringkali memperlihatkan kondisi perebutan, yang kurang toleran,
keadaan pesimis pada masa depan adalah wataknya. Dan terakhir, yaitu warna
ungu, menjadikan semacam bagian dari bauran warna merah dan biru sebagai ke-erotis-an,
dan selalu mempercayai banyak harapan.
Dari pendekatan inilah,
saya sebagai pembaca, bisa menarik-ulur apa yang sering diandaikan penyair,
yang dalam hal ini SD, untuk melekatkan citraan warna sebebas-suka pada
benda-benda yang ada di ruang sekitarnya. Tidak hal yang ganjil, sebenarnya,
warna-warna tersebut menjadi semacam jurus, karena beberapa penyair sebelumnya
juga menggunakannya. Meski dalam hal ini, rimba warna dalam puisi-puisi SD
begitu kentara dan terkonsentrasi begitu kuatnya. Demikianlah pembacaan saya
atas buku puisi Sulaiman Djaya, Mazmur Musim Sunyi, sesuai dengan fokus dan
tafsir saya yang melihat dan mencermatinya pada “kekhususan” SD sebagai penyair
ketika menggunakan perlambang warna-warna dan bulan-bulan dalam perkalenderan.
Dalam hal yang demikian itu, SD menuliskan kilauan-kilauan puisi-puisinya lewat
dendang dan nyanyian yang sunyi, namun sekaligus bergairah.
*Penyair
Sumber: Tabloid Banten
Muda Edisi 17, Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar