Banten Raya, 30 Maret 2013
“Dalam pengembaraan tanpa
akhirnya, Sana’i pernah melihat tukang sapu yang tengah sibuk dengan
pekerjaannya. Dan ketika melihat ke sisi lain, matanya luruh ke arah muazin
yang tengah menyerukan panggilan sholat. Lalu ia pun berkata: pekerjaan yang
kedua (maksudnya pekerjaan muazin) sama-sekali tidak lebih baik (dari pekerjaan
si tukang sapu). Sesungguhnya mereka menjalankan tugas yang sama. Mereka tidak
tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. Mereka hanya melakukan kewajiban
sebagai pekerjaan demi memperoleh makanan mereka”
Saya masih ingat ketika
saya masih aktif nimbrung dalam diskusi-diskusi Kajian Islam atau Islamic
Studies yang membahas tulisan-tulisan dan buku-bukunya Fazlur Rahman sewaktu
saya masih ngendon di Ciputat. Dari tulisan-tulisan dan buku-buku Fazlur Rahman
yang kami baca dan kami diskusikan bersama-sama itu, saya jadi paham bahwa
untuk mengerti ruh Islam, kita mau tidak mau mesti merujuk pada biografi historis
dan personal Muhammad itu sendiri.
Hal itu dimaksudkan Fazlur
Rahman bukan karena al Qur’an tidak penting. Tetapi lebih karena dengan membaca
dan mengetahui biografi historis dan personal Muhammad itu sendiri, kita jadi
maphum dengan situasi historis, kultural, sosiologis, bahkan nuansa personal
apa yang akan kita sebut sebagai Islam, baik sebagai sejumlah doktrin atau pun
wawasan.
Garis yang sama juga
dilakukan Karen Armstrong ketika ingin mempelajari dan memahami Islam. Dengan
sudut pandang seperti itu, Rahman dan Armstong, percaya bahwa kita akan
mengerti dan memahami setiap celah dan sisi manusiawi dari iman atau pun
keyakinan keagamaan yang kita anut. Di mana ukuran kesalehan dan keimanan tetap
meniscayakan sebuah tempat dan konteks dimana kita hidup dan berada sebagai
manusia dan orang beriman.
Dengan landasan pemahaman
demikian, sebagai orang beriman sekalipun kita adalah manusia dan individu yang
hidup di bumi, bukan terkunci di surga. Dan karena itu pula, tak jarang
misalnya, persoalan-persoalan manusiawi acapkali membajak dan meminjam retorika
dan wawasan keagamaan demi mendapatkan legitimasi bagi setiap tindakan yang
sengaja dipilih seseorang atau kelompok tertentu.
Dari literatur-literatur
yang ditulis Rahman dan Armstrong itu, kita sedikit-banyaknya akan mendapatkan
gambaran dan bayangan yang berbeda tentang siapa itu Muhammad, yang mungkin
saja sebelumnya dipercayai dalam kemiskinan ilustrasi yang sifatnya historis,
personal, dan manusiawi seperti yang dimaksudkan Rahman dan Armstrong itu.
Demikian, berkat
tulisan-tulisan dan buku-bukunya Fazlur Rahman dan Karen Armstrong itulah saya
pun kemudian mendekati Muhammad sebagai pribadi yang layaknya pribadi yang
saleh dan cerdas, peka dan tidak dogmatis. “Ia menjadi seorang ayah yang
menggendong cucunya dan menyeru istrinya dengan lembut dan mesra”, tulis
Armstrong. Di sini Muhammad bukanlah seorang lelaki atau suami yang doyan
memukul dan melakukan kekerasan terhadap istrinya layaknya para muslim
patriarkh yang kaku dan dogmatis itu.
Sebagai pengusung wawasan
baru, demikian menurut Armstrong dan juga seperti telah kita ketahui, Muhammad
adalah orang yang menentang pembunuhan dan penguburan anak perempuan yang masih
hidup dalam kebudayaan Arab di mana Muhammad hidup. Sebuah sikap yang saat itu
cukup berbahaya dan melawan mainstream. Sebab, kebiasaan itu sudah berjalan
selama bertahun-tahun sebelum Muhammad dilahirkan.
Dengan itu semua, saya
hanya ingin mengatakan bahwa agama atau “iman” sekalipun pada akhirnya harus
bergelut dengan sejarah. “Kita selalu berbicara tentang pengaruh agama pada
sebuah masyarakat”, tulis Amin Maalouf, “sembari kita melupakan manipulasi dan
politisasi oleh orang-orang yang mengaku-ngaku diri saleh yang seringkali
mengatasnamakan perintah agama ketika melakukan kekerasan dan penodaan pada
sesama manusia”.
Keresahan Amin Maalouf
tersebut adalah juga kegelisahan seorang Umberto Eco dan Kardinal Carlo Maria
Martini dalam dialog intens mereka seputar wahyu dan agama di tengah dunia
modern dan orang-orang awam atau orang-orang yang tidak beriman. Ketika dalam
aspek tertentu, misalnya, semaraknya sikap-sikap keagamaan acapkali hanya
bersifat permukaan semata. Basah di kulit tapi kering di hati. Sebuah fenomena
yang menurut Harvey Cox terjadi di Amerika yang dilanda puritanisme dan arah balik
menuju fundamentalisme keagamaan, di saat Eropa mengaku diri atheis tetapi peka
pada situasi kemanusiaan karena belajar dari trauma dan sejarah perang
keagamaan dan perang sekuler karena wabah nasionalisme.
Baik Amin Maalouf atau
Karen Armstrong sebenarnya tengah berbicara tentang agama atau “iman” yang pada
akhirnya “direbut” oleh kepentingan manusiawi para penganutnya. Entah dalam
situasi keterdesakan atau pun dalam situasi normal dan biasa. Agama dalam
sejarahnya, demikian banyak penulis seperti Armstrong dan Maalouf itu
menyatakan, tak pernah imun atau kebal dari hasrat-hasrat politisasi dan
manipulasi.
“Agama atau doktrin
apapun”, tulis Maalouf, “senantiasa membawa tanda-tanda jaman dan tempatnya.
Masyarakat yang percaya diri tercermin dalam perilaku keagamaan yang percaya
diri, tenang, dan terbuka. Tetapi masyarakat yang dogmatis dan inferior
tercermin dalam perilaku keagamaan yang hipersensitif, sok suci, dan menutup
diri”.
Apa yang dikatakan Maalouf
tersebut terjadi juga dalam masyarakat Islam, meski tidak semuanya, setelah
perjalanan sejarah mereka menerjemahkan Yunani bagi Eropa dan membangun
peradaban puncak-puncak ilmu pengetahuan dari Bagdad hingga Cordoba di masa
Imperium Abbasid.
Dalam konteks itu,
puritanisme dan wahabisme sebenarnya lebih merupakan entitas yang
bertolak-belakang dengan spirit pembebasan yang diperjuangkan Muhammad selama
hidupnya.
Di sisi lain, dogmatisme,
yang seperti kita tahu, tumbuh dalam sikap-sikap dan kesalahpahaman tentang
kepercayaan dan keimanan sebagai kehendak untuk menutup diri rapat-rapat dari
kehadiran “yang lain”. Sikap-sikap seperti itu sebenarnya pernah disindir
dengan halus oleh Ibnu Arabi:
“Janganlah kaulekatkan
dirimu pada satu kepercayaan secara tertutup, sehingga kau jadi tidak
mempercayai yang lainnya. Jika demikian, kau akan kehilangan banyak kebaikan.
Bukan hanya itu saja, kau pun akan gagal mengenal kebenaran segala sesuatu.
Tuhan, yang serba hadir dan kuasa, tidaklah terbatas pada satu kepercayaan
saja, karena dia mengatakan: ke mana pun wajahmu menghadap, di sana ada wajah
Tuhanmu.”
Sikap-sikap seperti itu
pada aspek tertentu didasarkan pada egoisme dan pada aspek yang lain karena
politisasi institusi keagamaan. “Setiap orang memuji apa yang dipercayainya”,
tulis Ibnu Arabi, “Tuhannya adalah ciptaannya sendiri, dan dalam memuji itu ia
sebenarnya memuji diri sendiri. Akibatnya, dia menyalahkan kepercayaan orang
lain, sesuatu yang tidak akan dilakukannya jika dia bersikap adil. Kebenciannya
didasarkan pada ketidaktahuan”.
Apa yang tengah disindir
Ibnu Arabi adalah agama dan dogma yang menjelma ideologi tertutup yang tidak
memberikan tempat bagi kepekaan dan kesalehan manusiawi kita sebagai sesama
manusia yang tengah hidup dan menjalani keseharian kita bukan di surga.
Sedangkan pada sisi yang
lainnya lagi, masalah kesalehan yang acapkali terjebak sekadar rutinitas dan
dogmatisme keseharian telah disadari oleh penyair sufi masyhur Fariduddin Attar
yang produktif menulis puisi-puisi fabel dan satir itu. Seperti ketika ia
menggunakan kisah tentang Hakim Sana’i demi memngembangkan wawasan keagamaannya
sendiri sebagaimana termaktub dalam Musibah-nama:
“Dalam pengembaraan tanpa
akhirnya, Sana’i pernah melihat tukang sapu yang tengah sibuk dengan
pekerjaannya. Dan ketika melihat ke sisi lain, matanya luruh ke arah muazin
yang tengah menyerukan panggilan sholat. Lalu ia pun berkata: pekerjaan yang
kedua (maksudnya pekerjaan muazin) sama-sekali tidak lebih baik (dari pekerjaan
si tukang sapu). Sesungguhnya mereka menjalankan tugas yang sama. Mereka tidak
tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. Mereka hanya melakukan kewajiban
sebagai pekerjaan demi memperoleh makanan mereka”.
Yang ia maksud kewajiban
yang dilakukan si tukang sapu dan muazin dalam anekdot tersebut adalah ketika
kewajiban telah menjelma rutinitas yang menggerus penghayatan dan refleksi
bathin kita. Sebab, si muazin atau pun si tukang sapu dalam anekdot yang
diceritakan Attar itu adalah individu-individu yang telah digaji oleh
pemerintah kota. Pesan didaktiknya cukup jelas: kesalehan bukanlah kapasitas
birokratis, tetapi lebih merupakan sebuah sikap dan perilaku yang didasarkan
pada pilihan dan penghayatan yang bersumber dari kejujuran. Bila demikian, maka
kita tak perlu heran ketika ada seseorang yang rajin sholat tetapi pada saat
yang sama rajin menghina dan menista orang lain. Bahkan, dan ini yang sering
kita sesalkan, orang seperti itu acapkali mudah digerakkan sebagai mesin
pembunuh sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar