Seringkali, sikap kritis
seorang anak dianggap sebagai kenakalan dan sifat memberontak yang
membahayakan. Anggapan tersebut juga menimpa Einstein kala remaja, persis
ketika di usia 16 tahun, Einstein dikeluarkan dari sekolah oleh gurunya karena
dikhawatirkan sikap “nakal”-nya itu akan mempengaruhi teman-temannya. Sementara
itu, sebagai seorang ilmuwan dan khususnya fisikawan, Einstein tergolong orang
yang sangat menghargai seni –utamanya musik, dan kebetulan ia bisa memainkan
biola dengan baik.
Bila dalam kacamata
pandangan pendidikannya Bertrand Russell, Einstein tergolong individu yang
memiliki bakat tidak puas dengan status quo, dan karenanya berwatak “tidak
patuh” secara institusional, dan karena itulah ia dikeluarkan dari sekolahnya,
sebab ia tergolong bukan “warga negara” yang baik (patuh) pada status quo. Namun,
demikian Bertrand Russell, orang-orang seperti inilah yang kelak menjadi para
pioneer, penemu, dan pencipta dunia baru.
Namun tentu saja, bukan
berarti orang-orang seperti itu tidak pandai untuk menjalin persahabatan atau
menjadi seorang leader. Sifat-sifat pioneer tersebut justru yang kemudian
membuat mereka menjadi pemimpin dalam bidang dan disiplin mereka masing-masing –setidak-tidaknya
dalam kategori sebagai orang-orang yang mandiri dan inovatif. Orang seperti ini
juga acapkali memiliki watak tekun dan konsisten menekuni bidang yang dipilih
dan dicintainya.
Dalam buku biografi yang
ditulisnya, Walter Isaacson (yang juga menulis biografi Steve Jobs) itu
menyatakan bahwa masa muda Einstein penuh pemberontakan terhadap aturan. Ia
bahkan menjadi panutan suci bagi anak-anak sekolah yang bermasalah di mana saja.
Ada hal-hal menarik yang dinarasikan buku yang ditulis oleh Isaacson tersebut,
yang antaranya adalah:
“Berbeda dengan ilmuwan
lain yang ketika meninggal jenazahnya mendapat perlakuan sangat istimewa,
Einstein menginginkan hal lain yang sederhana. Ia meminta mayatnya dikremasi
secara sederhana di Trenton, saat sore hari pada hari meninggalnya. Maka sesuai
permintaannya, ia pun dikremasi. Sebelum sebagian besar orang di seluruh dunia
sempat mendengar kabar kematian tersebut.
Hanya 12 orang yang hadir
di krematoriumnya, termasuk anak dan beberapa orang keluarga dekat. Beberapa
baris karya Goethe dibacakan saat abu Einstein ditebar ke Sungai Delaware.
New York Times memuat
sembilan artikel ditambah tajuk rencana tentang kematian Einstein keesokan
harinya. Einstein bersikeras abunya disebarkan sehingga tempat peristirahatan
terakhirnya tidak menjadi tempat pemujaan yang tidak wajar.
Namun, ada satu bagian
tubuhnya yang tidak dikremasi. Yaitu, otak. Antara lucu dan mengerikan, otak
Einstein ternyata telah mengembara ke sana kemari selama lebih dari empat
dekade. Berjam-jam setelah kematian Einstein, otopsi rutin dilakukan oleh ahli
patologi Rumah Sakit Princeton, Thomas Harvey. Ia mengeluarkan dan memeriksa
setiap organ penting, lalu menggunakan gergaji listrik untuk memotong tengkorak
dan mengeluarkan otaknya.
Ketika menjahit kembali
tubuh Einstein, dia memutuskan, tanpa meminta izin, untuk mengawetkan otak
Einstein dan menyimpannya. Hans Albert (anak laki-laki Einstein) menelepon
rumah sakit untuk menyatakan keberatannya atas disimpannya otak tersebut. Tetapi
Harvey bersikeras mungkin ada nilai ilmiah jika meneliti otak tersebut. Katanya
Einstein pasti ingin hal itu dilakukan. Tak lama kemudian, Harvey diserbu oleh
mereka yang menginginkan otak Einstein atau bagian otak tersebut. Termasuk pejabat
departemen patologi Angkatan Bersenjata A.S. Namun Harvey menolak. Melindungi
otak tersebut telah menjadi sebuah misi.
Bertahun-tahun kemudian,
Harvey terus membawa potongan-potongan otak Einstein kemanapun ia pergi. Di
antara puluhan orang yang diberi potongan otak Einstein oleh Harvey, hanya 3
yang menerbitkan penelitian ilmiah penting. Baik tim pertama, kedua dan ketiga
menemukan beberapa perbedaan otak Einstein dibanding manusia normal. Seperti
sel saraf otak Einstein yang membutuhkan lebih banyak energi dibanding otak
manusia pada umumnya. Salah satu bagian otak Einstein, korteks serebri, juga
ditemukan lebih tipis dibandingkan lima sampel otak lain.
Di salah satu bagian otak
lainnya, otak Einstein juga ditemukan lebih lebar sekitar 15% dari manusia
normal. Akan tetapi memahami imajinasi dan naluri Einstein tidak bisa
didapatkan dengan meneliti pola jaringan penghubung dan alur otaknya. Pertanyaan
yang relevan adalah bagaimana pikirannya bekerja, bukan otaknya. Seperti yang
sering dikatakan Einstein mengenai pencapaiannya: ‘I have no special talents. I
am only passionately curious’.”
Pertanyaannya adalah: Apa
yang membuat Einstein menjadi demikian istimewa? Salah-satu jawabannya adalah
karena penemuan teori relativitas umumnya telah meruntuhkan hegemoni fisika
klasik yang dibangun oleh Isaac Newton. Hanya saja anehnya, meski ia masyhur
karena Teori Relativitasnya, Einstein justru mendapatkan nobel fisika pada
tahun 1921 melalui karyanya di bidang efek fotoelektrik.
Dalam buku biografi yang
ditulisnya itu, Walter Isaacson, yang seperti telah kita ketahui juga penulis
buku biografi Steve Jobs, mampu menuliskan kisah hidup dan perjuangan Einstein
sebagai manusia biasa dan ilmuwan dengan gaya tutur atau narasi yang sederhana,
hingga buku tersebut dapat juga dibaca atau diakses oleh mereka yang tidak
akrab dengan dunia sains umumnya dan khususnya fisika. Meskipun begitu, membaca
buku yang tebalnya hampir 600 halaman ini, setidak-tidaknya pembaca harus mengetahui
informasi tentang dasar-dasar matematis dan pemahaman dasar tentang teori
relativitas khusus, juga sedikit fisika dasar (baik klasik maupun modern).
Buku yang ditulis Walter
Isaacson ini juga menceritakan ihwal sejumlah pemberitaan, gosip, hipotesis,
dan “kabar burung” yang beredar di kehidupan kita yang ternyata tidak benar. Misalnya
kabar burung atau gosip yang menyatakan bahwa Einstein sebenarnya tidak pandai
matematika, yang ternyata hal tersebut dibantah oleh gurunya sendiri, di mana
menurut penuturan gurunya itu, Einstein bukan tidak pandai matematika, tapi
kurang terlalu ‘yakin’ bahwa dengan kemampuan matematisnya ia akan mencapai
jawaban atas ‘skenario’ fisika yang dirancang dalam pemikirannya. Sebab,
sebagaimana jamak dalam dunia eksak, skenario tersebut perlu pembuktian dan
bahasa pembuktian terbaik dalam ranah eksakta untuk berbagai fenomena alam, tak
dapat dipungkiri, adalah matematika –semisal dengan menggunakan geometri.
Sebagaimana pengakuannya
yang dinyatakannya sendiri: I have no special talents. I am only passionately
curious, bila kita merujuk pada sejumlah kategori atau ciri para jenius
sebagaimana yang dipaparkan Isaacson, sekurang-kurangnya ada sejumlah kualitas utama
yang menjadi ciri kejeniusan Einstein, yaitu passion atau cenderung
perfeksionis, simple, dan berani ‘menantang’ para jenius sebelumnya.
Sebagaimana kita tahu, Albert
Einstein hadir berabad-abad setelah Sir Isaac Newton, sang ilmuwan yang didapuk
sebagai bapak fisika modern, itu wafat. Kala itu, sebelum Einstein membuktikan
sebaliknya, sejumlah besar ilmuan umumnya dan fisikawan khususnya, masih
percaya kepada teori-nya Isaac Newton bahwa waktu akan berjalan sama setiap
detiknya, terlepas dari bagaimana cara kita mengamatinya. Namun kemudian,
Albert Einstein datang dengan pemikiran dan temuannya, yaitu teori relativitas,
sebuah temuan yang membuatnya masyhur hingga saat ini. Dengan teorinya itu,
Einstein menyatakan bahwa waktu itu relatif, tergantung tempat dimana kita
berada. Kemampuan Albert Einstein untuk berpikir beda dan menantang jenius
lainnya inilah –yang menurut Isaacson, yang telah menjadikan Albert Einstein sebagai
seorang jenius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar