KONTEKS
Ketika Sayyidina Ali, Fatimah az Zahra (sa)
dan keluarga Rasulullah sedang memandikan jenazah Rasul dan mengurus
pemakamannya, sebagian sahabat lebih memilih rapat di Saqifah untuk menentukan
kepemimpinan politik setelah Rasul, meski Rasulullah sendiri telah mendeklarasikan
bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai imam (pemimpin ummat dalam hal agama, politik,
dan kemasyarakatan) dan khalifah (pemimpin ummat dalam hal politik dan
kemasyarakatan) di Ghadir Khum, persis ketika Rasul hendak menyudahi haji
wada’, persis ketika ayat 67 surah al Maidah diwahyukan oleh Jibril kepada
Rasul.
Setelah menerima perintah wahyu yang berbunyi
“Yaa ayyuhar rasul ballig maa unzila ilayka…..” (al Maidah ayat 67) tersebut,
Rasulullah pun menyampaikan khutbah panjang, termasuk menyampaikan hadits
tsaqalain (aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang teramat berat, al
Qur’an dan itrah ahlul baitku) dan menyampaikan “Man kuntu maulahu fahadza ‘Ali
maulahu” (Sesiapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka ‘Ali adalah
pemimpinnya). Karena itulah, wajar jika saudara-saudara muslim kita yang lain
tetap ingin mengenang momen tersebut.
KHUTBAH
dan SYARAH
“Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii]
membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa
kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada
penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang
sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan
diri darinya.
Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya
harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab,
di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin
yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat
matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya
mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.
Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya,
tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-‘A’sya’:
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan). Sementara ada
hari-hari (kemudahan). Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara
Jabir.[iii]
Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan
diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah
matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting
susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan
kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong
dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian.
Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila
ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya
maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam
kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya
tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia
pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu
kelompok[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa
hubungan saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang
saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang
dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka
merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka
menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain
karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari
orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya.
Bersamanya sepupunya pun bangkit sambil menelan harta Allah[v] seperti seekor
unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya
mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.
Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya
selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu
tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya
robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya
mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu
kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan
mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, “Negeri akhirat itu Kami
jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang
yang bertakwa” (QS. 28:83).
Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan
memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mata mereka dan hiasannya menggoda
mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan
makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung
tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama
bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya
orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya,
dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang
pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak
lebih baik dari bersin seekor kambing.
Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib karramallahu wajhah sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki
dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin
melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn ‘Abbas –semoga Allah meridai
keduanya– berkata, “Ya Amirul Muk-minin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda
dari mana Anda telah memutuskannya.” Atasnya ia menjawab, “Wahai Ibn ‘Abbas,
hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian)
mereda.”
Ibn ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah
menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib as tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Sayid Syarif Radhi mencatat: Kata-kata dalam
khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud menyampaikan bahwa bilamana
seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu
lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu
liar, maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali.
Asynaq an-nāqah digunakan bilamana si
penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang
sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya
dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as telah mengatakan
asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan
aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan
keduanya dalam bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa
lahā seakan-akan sebagai ganti in rafa’a lahā ra’sahā, yakni “apabila ia
menghentikannya dengan menarik kekang”.”
[i] Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah
Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib as yang paling masyhur. Khotbah ini disampaikan di Ar-Rahbah
(suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang menyangkalnya sebagai ucapan Amirul
Mukminin, dan mengatakan bahwa itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi),
namun para ulama pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada
pula dasar untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Imam Ali bin Abi Thalib
as dalam hal kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan
semacam itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang
telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan sejarah
yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Apabila
peristiwa-peristiwa yang sama yang bertalian dengan sejarah dikatakan kembali
oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as maka manakah alasan untuk
menyangkalinya? Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak menyenangkan
segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya, tidaklah hal itu
harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai prestise tokoh-tokoh
tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada mereka. Tetapi,
kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan menolak khotbah ini sebagai ucapan
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, kecuali apabila peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya dianalisa dan kebenarannya diungkapkan. Apabila tidak demikian,
sekadar menolaknya sebagai ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as karena
mengandung peremehan terhadap individu-individu tertentu, tidaklah berbobot,
padahal kritik yang sama telah diriwayatkan oleh sejarawan lain pula.
Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh
telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as, dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam
Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah:
Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit
seperti gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila
kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas. Alhasil, gagasan bahwa khotbah
itu buatan Sayid Syarif Radhi adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan
hasil partisan dan sikap memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu
penelitian, haruslah dikemukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada
ilusi penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan
argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak setuju dan
tak senang.
Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para
ulama dan ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, supaya pentingnya secara historis
diketahui. Di antara para ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Syarif Radhi,
sebagian semasa dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua
meriwayatkan melalui isnad mereka sendiri-sendiri.
[1]
Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu Syabib
al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu
Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu
Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana Ibnu ‘Abbas menyampaikan
kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak lengkap, Ibnu Khasysyab
mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu,
pastilah ia sudah menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara
misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia
tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan
semua yang hendak diucapkannya.
Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak
dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu
Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya
bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia
menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana
saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan
bahwa sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana
mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti
itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya.
Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah
melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid
Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang terkenal yang saya
tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa
itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”
[2]
Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam
kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu Ahmad) al-Balkhi (m. 317
H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa pemerintahan Muqtadir Billah,
sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya Sayid Radhi.
[3]
la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku Inshāf karya
Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu ‘Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim
al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h.
205-206).
[4]
Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia telah
melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri Muqtadir
Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh
al-Balāghah, I, h. 252-253).
[5]
Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut tentang
khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minhājul Barā ‘ah fī
Syarh Nahjul Balāghah: “Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim
menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’,
al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu
‘Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad Ibnu Musa)
Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari al-Hafizh Abul Qasim
Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan dia dari Ahmad Ibnu Ali
al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari
Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’ Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu
‘Abbas.” (Biharul Anwār, edisi pertama, jilid VIII, h. 160-161).
[6]
Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga termuat
dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahhab) al-Jubba’i (m. 303 H.).
[7]
Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi
menulis: “Qadhi ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang
Mu’tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini dalam
buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak menyerang para
khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa itu komposisi Amirul
Mukminin.” (Ibid., h. 161).
[8]
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis: “Muhammad Ibnu
Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami bahwa ‘Abdul ‘Aziz Ibnu
Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya bahwa Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu
‘Ammar Ibnu Khalid mengata¬kan kepadanya bahwa Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid
al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan kepadanya bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan
khotbah ini dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu
‘Abbas.” (Ilal asy-Syarā’i, bab XXII, h. 360-361).
[9]
Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut: “Muhammad Ibnu Ali
Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan ia mengambilnya dari
pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad Ibnu Abi ‘Abdillah (Muhammad
Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi
‘UMalr dan dia dari Aban Ibnu ‘Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia
dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syarā’i’, I, bab 122, h. 146;
Ma’am al-Akhbar, bab 22, h. 361).
[10]
Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id al-‘Askari (m. 382 H.),
yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan penjelasan tentang
khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih dalam. ‘Ial asy-Syard’i dan
Ma ‘dni al-Akhbār.
[11]
Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis: “Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq,
Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan
khotbah ini melalui rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis
buku ini hari Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha
al-Musawi lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu
‘māniyyah, h. 37).
[12]
Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini al-Hilli (m.
664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian
sanad berikut: “Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf,
yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim az-Za’farani, dan ia
(meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari Ya’qub
Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan
dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan Ath-Thara’if, h. 202)
[13]
Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me¬nulis:
“(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar meriwayatkan khot¬bah
ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma’il Ibnu Ali Ibnu Ali)
ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya Di’bil (Ibnu Ali
al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah
Ibnu A’yan dan dia dari Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq),
dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137)
[14]
Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man, m. 413 H.), guru Sayid
Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini: “Sejumlah periwayat hadis
telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.”
(Al-Irsyād, h. 135)
[15]
‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah
mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.
[16]
Abu Manshur ath-Thabarsi menulis: “Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang
khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan
bahwa ia bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada
kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul
Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini.”
(Al-Ihtijaj)
[17]
Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654
H.) menulis: “Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini
kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu ‘Abbas, yang
mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk¬minin sebagai
khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki dari hadirin
bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul Mukminin serta merta
mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat Khawashsh al-Ummah, h. 73)
[18]
Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian
dengan keasliannya: “Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra),
‘Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi
ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'” (Syarh Durrat
al-Ghawwash, h. 17)
[19]
Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis: “Amirul Mukminin SayyidAl-‘Arifin Ali
a.s. telah menyatakan dalam satu khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah
yang menyembur keluar”. (al-‘Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah
di Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India)
[20]
Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan
kata syiqsyiqah: “Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah
asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsāl, jilid I, h. 369)
[21]
Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan kata-kata dari
khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m.
606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin.
[22]
Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu dalam Majma’
al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul Muk¬minin dengan
kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”
[23]
Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul
Mukminin, dalam Lisan al-‘Arab, jilid XII, h. 54, dengan mengata¬kan, “Itu
adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda.”
[24]
Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam
kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251): “Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian
karena ketika Ibnu ‘Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia
telah me-ninggalkannya, ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta
(syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda.”
[25]
Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan: “Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali
diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”
[26]
Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan Amirul
Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh Nahjul Baldghah.
[27]
Muhammad Muhyidin ‘Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa Arab,
Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul Baldghah dengan
membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah yang mengandung
pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagai ucapan Amirul Mukminin.
Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini, tidak ada
tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa
itu buatan Sayid Radhi sendiri.
[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu
Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka,
ketika ‘Utsman diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak
akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini.” Tiada ragu
bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan “baju kekhalifahan” ini kepada
Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak,
kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah
sebabnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa Abu Bakar
membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini
telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukan Imam Ali sendiri
sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang
dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti itu
pula, ia berpendapat, “Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di
sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusatnya. Sayalah yang bertindak
sebagai pengawal bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati
berbagai kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya
pada semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas imajinasi, tetapi pencari
keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan
saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan
merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua dan
yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak mau
berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas warisan saya dan
melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke tangan lain, tetapi saya
tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa
sarana.” (Sumber: Nahjul Balaghah dan
Syarahnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar