Dari sudut pandang pemikiran,
gapura peralihan dari modern ke posmodern adalah pada Nietzsche. Posmodernisme
menjadikan adigum "kematian Tuhan" Nietzsche sebagai "end of
modern philosophy" (makna lebih dalam bisa ditelusuri pada konsep endism
Fukuyama dan Derrida). Oleh banyak penafsir Nietzsche, ia dianggap sebagai
tokoh yang sangat anti agama. Tetapi benarkah demikian?
Tyler T. Roberts, dalam
penelitian disertasi Ph.D-nya di Harvard yang kemudian diterbitkan dalam buku
berjudul "Contesting Spirit: Nietzsche, Affirmation, Religion"
memberikan pandangan yang berbeda; Nietzsche adalah tokoh yang berdiri di
posisi tengah antara anti agama dan pemikir agama. Signifikansi Nietzsche dalam
genealogi agama terutama adalah kritiknya yang berhasil menumbangkan pohon
keramat agama yang membelenggu dengan buaian yang menghibur dan ilusif, dan
memunculkan sensibilitas spiritual yang baru. Dari sinilah posmodern menemukan
momentumnya untuk membangun kembali masyarakat yang "tidak ogah"
dengan agama; dalam bahasa Jonathan Smith, sebagai "imagining religion".
Kritik paling mendasar Nietzsche
terhadap agama adalah moral religi-nihilistik dalam masyarakat Barat – kampung
halaman Nietzsche – yang mengatasnamakan Tuhan untuk membentuk gambaran
pengosongan manusia dari penghargaan diri apapun. Nietzsche menyatakan bahwa
penganut agama bukan memproyeksikan segala "kemungkinan" dan
kesempurnaan mereka ke dalam Tuhan, malah sebaliknya memproyeksikan suatu
"kemustahilan". Dengan kata lain, Tuhan menjadi yang sama sekali
tidak dapat dicapai manusia. Inilah yang membuat manusia tampak tidak berharga.
Lewat kritiknya itu, Nietzsche
sudah mengayunkan "kapak bermata dua" (bukan hanya palu godam).
Dengan satu sisi ia mengkritik metafisika yang menempatkan
"ketakterjangkauan" Tuhan dan mencurigai nilai 'kebenaran' yang
menyertainya; dan sisi yang lain "memenggal kebancian" manusia yang
tidak memiliki kesadaran dirinya.
Kecurigaan Nietzsche menjadi
pintu masuk yang dilalui Derrida untuk membongkar metafisika lewat satu
ungkapan bahwa wacana filosofis adalah wacana formal, retorikal, dan figuratif
yang harus ditelanjangi. Seperti juga Nietzsche, yang mendorong manusia untuk
terus mencipta (melalui will to power-nya) keanekaragaman interpretasi,
maka Derrida lewat teori dekonstruksinya menghendaki pencarian terus menerus
terhadap kebenaran sebagai penghadiran sesuatu dalam dan bagi dirinya sendiri.
Bagi Derrida, makna bergerak
terus menerus di sepanjang matarantai penanda. Dan Nietzsche membaca sejarah
moralitas, sebagaimana dalam Genealogy of Moral-nya, sebagai teks,
sebagai makna yang silih berganti. Tujuan serta alat untuk mencapainya adalah tanda-tanda
yang merupakan rangkaian kontinu dari interpretasi yang selalu baru. Maka,
"yang benar" selalu berada dalam posisi tertangguhkan; dan bentuk ini
secara jelas diungkapkan Derrida dengan "tanda silang" (sous
rature), yaitu bahwa tanda selalu dimuati jejak-jejak (trace) tanda
lain yang tidak pernah muncul secara utuh. Otoritas teks hanya bersifat
sementara.
Dari argumentasi teks ini,
Derrida mengatakan bahwa metafisika adalah sebuah kehadiran (metafisika
kehadiran), yang disebut juga sebagai "onto-teologi" atau ilmu
tentang Mengada atau Tuhan sebagai kehadiran yang berlangsung
terus-menerus. Derrida menggugat metafisika para pendahulunya yang meyakini
bahwa sudah ada asumsi wilayah kepastian yang serta merta tersedia.
Dalam pandangan Derrida, yang ada
adalah intertekstual, yang dihasilkan oleh adanya penanda (signifier)
dan petanda (signified). Penanda dan Petanda terus terpisah dan menyatu
kembali dengan kombinasi-kombinasi baru, dan menghasilkan makna yang baru;
demikian seterusnya tanpa berkesudahan. Maka tidak ada sesuatu yang bersifat
mutlak, kecuali bahwa makna dipahami melalui intertekstual, dalam pembacaan
oposisi biner. Setiap makna baru yang muncul meninggalkan jejak dari makna
sebelumnya sehingga membentuk matarantai dalam kompleksitas yang tidak ada
habisnya. Dengan demikian Derrida menolak adanya kehadiran dalam pengertian
tunggal. Kehadiran adalah sesuatu yang berlangsung terus menerus, "di
sini" dalam spatial and temporal.
Dengan demikian, melanjutkan gagasan
Nietzsche, Derrida mendobrak kebuntuan interpretasi metafisis. Metafisika bukan
lagi sesuatu yang tak terjangkau. Tuhan juga bukan lagi sesuatu yang hanya wujud
dalam realitasNya sendiri, yang tidak tercerap oleh fakultas pengetahuan
manusia. Jika Nietzsche menjadikan will to power sebagai pisau bedah
untuk melakukan interpretasi atas "ketidakhadiran" manusia pada
dirinya, maka Derrida menggunakan "teleskop" teks untuk meneropong
keberagaman makna yang lahir dari intertekstual. Dan dengan itu, keduanya menggugat
sekaligus mengatasi "ketakterjangkauan" dalam metafisika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar