Radar Banten, 5 Februari 2015
Ada
motif dan kepentingan ekonomi-politik atau kepentingan yang sifatnya material
dan upaya “penguasaan” dibalik invasi dan penyebaran diskursus dan wacana
pemikiran yang disebarkan dan dilembagakan oleh Amerika (Barat) ke negara-negara
lainnya. Dulu, di era Orde Baru, misalnya, pernah merebak wacana privatisasi,
yang ternyata dalam rangka membuka pintu bagi MNC-MNC raksasa dari Amerika
(Barat) untuk membeli (menguasai) BUMN-BUMN (aset publik yang dikelola negara)
Indonesia. Jauh-jauh hari sebelumnya hal ini telah disadari Sayid Muhammad
Baqir as Shadr, seperti yang ia kemukakan dalam bukunya yang berjudul
Iqtishaduna (Ekonomi Kita):
“Sejak
dunia Islam mengenal bangsa Eropa dan manut begitu saja di bawah arahan
intelektual dan kepemimpinannya dalam proses peradaban, ketimbang meyakini
risalah nyatanya yang agung (Islam), apalagi menjadikannya sebagai pedoman
pokok bagi kehidupan ummat manusia, sejak itu pula dunia Islam mulai menerima
perannya dalam kehidupan, dalam rangka pengotak-ngotakan Negara yang diciptakan
bangsa Eropa. Dalam hal ini, mereka (bangsa Eropa) memilah-milah Negara-negara
di dunia ke dalam kedua kategori berdasarkan tolok ukur kemampuan ekonomi dan
potensi produktivitasnya –yakni Negara maju dan Negara miskin atau terbelakang.
Negara-negara
dunia Islam yang semuanya dimasukkan ke kategori terakhir –sesuai logika bangsa
Eropa, akhirnya dipaksa untuk mengakui kepemimpinan Negara-negara maju seraya
memberi Negara-negara maju itu keleluasaan untuk menanamkan semangat mereka
dalam diri ummat Islam, sekaligus –konon, meratakan jalan bagi kemajuan ummat.
Dengan cara ini, dunia Islam yang secara ekonomi digolongkan sebagai kumpulan
Negara miskin, memulai kehidupannya dengan peradaban Barat dan melihat problem
dirinya sebagai problem ketertinggalan ekonomi di belakang Negara-negara maju,
yang kemajuan ekonominya telah memberi mereka tongkat kepemimpinan dunia.
Negara-negara
maju tersebut lalu mengajari dunia Islam bahwa satu-satunya jalan untuk
mengatasi problema ini –dan mengejar ketertinggalannya, adalah dengan
mengadopsi gaya hidup bangsa Eropa yang dianggap sebagai kebiasaan yang
prinsipil, seraya mengambil langkah-langkah dari kebiasaan ini dalam upaya
membangun kemampuan ekonomi yang sempurna dan utuh demi mendongkrak keberadaan
Negara-negara Islam agar sejajar dengan bangsa Eropa modern.
Subordinasi
dunia Islam di bawah kebiasaan bangsa Eropa –sebagai pemimpin peradaban Barat,
menampakan dirinya dalam tiga bentuk berturut-turut. Dan bentuk-bentuk tersebut
tetap eksis hingga kini di berbagai belahan dunia Islam. Pertama, subordinasi
politik yang ditandai dengan penguasaan secara langsung Negara-negara maju
secara ekonomi atas Negara-negara terbelakang (dunia ketiga).
Kedua, subordinasi ekonomi yang berjalan seiring dengan kemunculan para penguasa
yang mandiri secara politik di Negara-negara terbelakang. Subordinasi jenis ini
ditandai dengan diberikannya keleluasaan yang penuh bagi perekenomian Eropa
untuk berkiprah dalam Negara-negara tersebut dengan cara yang berbeda-beda
–mengeksploitasi sumber daya utama mereka, mengisi kekosongan modal mereka
dengan kapitalisme asing, dan memonopoli sejumlah alat ekonomi dengan dalih
hendak melatih kaum pribumi (persis seperti yang dilakukan Amerika yang
bekerjasama dengan orde baru Soeharto –pen) di berbagai Negara agar siap
menanggung beban pembangunan ekonomi negaranya.
Ketiga, subordinasi dalam metode yang dipraktikkan orang-orang di dunia Islam
dalam banyak percobaan. Melalui eksperimen-eksperimen tersebut, mereka berupaya
meraih kemandirian politik dan mengenyahkan dominasi politik dan ekonomi bangsa
Eropa. Mereka mulai berpikir untuk bersandar pada kekuatan sendiri (semisal
berdikari-nya Soekarno, peny.) dalam mengembangkan perekenomian dan mengatasi
keterbelakangan mereka.
Bagaimana
pun juga, mereka hanya mampu memahami karakteristik persoalan yang
diperlihatkan oleh keterbelakangan ekonomi mereka dalam bingkai pemahaman
bangsa Eropa tentangnya. Karena itu mereka dipaksa untuk memilih metode yang
sama dengan yang digunakan bangsa Eropa dalam membangun perekonomian
modernnya”.
Hal
senada juga diungkapkan John Perkins setelah taubat sebagai bandit ekonomi, di
mana ia mengungkapkan lewat tulisan-tulisan pengakuannya, semisal pengakuannya:
“Ketika aku tiba di Indonesia pada 1971, tujuan kebijakan asing sudah jelas,
yaitu menghentikan komunisme dan mendukung sang presiden. Kami berharap
Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah (Reza Pahlevi) Iran. Kedua
orang itu serupa: tamak, angkuh dan bengis. Selain mendambakan minyaknya, kami
ingin menjadikan Indonesia sebagai contoh bagi negara-negara Asia lainnya, juga
dunia Islam, khususnya Timur Tengah”. Lebih lanjut John Perkins mengakui bahwa
acapkali beberapa bencana dan serangan teror juga merupakan rekayasa yang
diinisiasi para korporat dalam rangka untuk membuka proyek baru yang akan
memberi peluang bisnis bagi MNC-MNC dari Amerika, semisal pengakuannya berikut
ini:
“Kebanyakan
warga AS tidak tahu bahwa bencana nasional bisa disamakan dengan perang. Bencana
sangat menguntungkan pebisnis besar. Banyak uang untuk pembangunan kembali
pasca bencana mengalir ke firma pembangunan AS dan korporasi multinasional.
Berbagai program ‘pemulihan pasca bencana’ justru memberi satu kendaraan lagi
untuk menyalurkan uang kepada para pembangun imperium. Duapuluh enam Desember
2004 adalah hari yang kelam. Bukan hanya bagi korban langsung tsunami yang
mengerikan, tetapi juga bagi kita semua yang percaya pada kasih sayang,
kemuliaan dan amal baik kepada sesama penghuni bumi.
Pemerintah
Bush tidak menyia-nyiakan waktu. Sebulan setelah Tsunami, tepatnya Januari
2005, Washington membalik kebijakan Clinton 1999 yang memutuskan hubungan
dengan militer Indonesia yang represif. Gedung Putih mengirimkan peralatan
militer senilai satu juta dollar ke Jakarta. Pada 7 Februari 2005, The New York
Times melaporkan bahwa Washington menyabet kesempatan yang muncul
pasca-Tsunami. Menlu Condoleeze Rice mengambil langkah dengan memperkuat
pelatihan Amerika terhadap pejabat Indonesia secara signifikan.
Sebuah
contoh meyakinkan yang menunjukan betapa korporatokrasi mengeksploitasi bencana
alam bisa dilihat di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh. Selama tiga dasa warsa
warga setempat melakukan perlawanan untuk mencegah masuknya perusahaan kayu dan
minyak ke salah satu kawasan terkaya di dunia ini. Namun setelah GAM ditumpas,
kawasan ini terbuka untuk dieksploitasi kembali. Hubungan antara elit
pemerintah Indonesia, pemerintah AS, dan korporasi Internasional,
mengindikasikan metode yang digunakan korporatokrasi di seluruh dunia selama
era pasca perang dunia II. Sebagian besar pembangunan imperium dilaksanakan
secara sembunyi-sembunyi”.
Apa
yang dikemukakan Sayid Muhammad Baqir as Shadr dan John Perkins tersebut
haruslah kita akui sebagai bentuk baru upaya “penguasaan” secara ekonomi dan
politik negara yang memiliki kekuatan modal dan militer, yang dalam hal ini
Amerika (Barat), yang disebut oleh para analis dan pengamat mutakhir sebagai
“soft colonialism” Orde Dunia Baru, melalui tangan para korporat yang acapkali
juga para pejabat dan politisi, di mana dalam paparan John Perkins itu
salah-satu ikon korporatokrasi yang nyata adalah Wakil Presiden Amerika Serikat
Dick Cheney, yang tak lain mantan CEO Halliburton, kontraktor terbesar di
dunia, dan sampai kini menjadi penasihat bisnis MNC tersebut. Dick Cheney
juga-lah penganjur serbuan ke Irak yang dipalsukan lewat senjata pemusnah
massal. Dan saat ini Halliburton bersama MNC lainnya menikmati keuntungan dari
ladang minyak di Irak pasca invasi tersebut. Salah-satu korban ambisi
korporatokrasi lainnya, dalam hal ini, adalah Perdana Menteri Iran Mohammad
Mosaddeq (1951- 1953) yang digulingkan dan dibunuh oleh agen-agen Amerika
karena menasionalisasi industri pertambangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar