Salah-satu konsen (minat
dan perhatian) para filsuf Yunani (di masa lampau) adalah pada persoalan “mencari
tahu” “Ada yang primordial”, yang kemudian kita kategorikan sebagai filsafat
alam Yunani. Mazhab Milesia, contohnya, disibukkan dengan usaha mereka untuk
menjelaskan (melakukan eksplanasi) tentang keteraturan dan ragam “Ada” atau
struktur “Ada” –bukan “Ada” itu sendiri. Mereka berusaha menemukan apakah substansi primer yang mendasari
segala proses dan perbedaan perubahan bentuk di alam atau di semesta.
Ada ragam atau variasi
dalam mazhab tersebut. Thales, misalnya, mengatakan bahwa substansi primer alam
atau “Ada” adalah air. Anaximenes berpendapat bahwa substansi primer itu adalah
udara. Sedangkan Anaximandros berpendapat bahwa substansi primer itu adalah
Apeiron atau “yang tak terbatas”.
Sementara itu, Pythagoras
yang konsen dengan studi matematika dan astronomi, melakukan analisa ragam
eksistensi dalam sistem prinsip-prinsip forma. Menurutnya prinsip forma inilah
yang mendasari hakikat segala sesuatu dan segala proses di dunia. Pythagoras juga
berpendirian bahwa realitas bisa dijelaskan dengan angka-angka dan bisa diukur
secara matematik –yah dengan angka-angka tersebut. Ia berpandangan alam
dibangun berdasarkan harmoni serta mengatakan bahwa musik dan nada-nada adalah
cerminan alam.
Murid dan penerusnya,
yaitu Philolaus, bahkan mengatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya –yang menyebabkan
pergantian waktu siang dan malam. Dalam hal ini, Philolaus mempercayai bahwa
semesta adalah sistem ruang-ruang.
Mazhab Milesia memang disibukkan
dengan usaha untuk menemukan “Ada yang primordial” yang mendasari gerak dan
perubahan semesta, namun mereka mengabaikan masalah utama perubahan itu
sendiri. Di sini, Heraklitus kemudian menyatakan bahwa “alam adalah perubahan
tanpa akhir”, di mana segala sesuatu datang dan pergi. Heraklitus masyhur
dengan doktrin Panta Rhei-nya: “Segalanya berkembang, engkau tak mungkin
berdiri dua kali di sungai yang sama dalam waktu yang sama”.
Heraklitus memang filsuf
yang mengajarkan tentang perubahan yang terus menerus dalam alam, yang bisa
ditangkap oleh akal dan pemahaman orang bijak, semacam filsuf atau ilmuwan.
Hanya saja, pandangan
Heraklitus kemudian mendapatkan penolakan di kalangan Mazhab Elea, di mana dua
tokoh utamanya adalah Zeno dan Parmenides. Parmenides sendiri hidup dalam dua
pandangan antara doktrin Heraklitus mengenai perubahan yang terus-menerus dan
doktrin Xenophanes tentang ide Satu Tuhan yang tidak berubah, dan kemudian
Parmenides menyatakan bahwa yang mendasari alam adalah “Ada” yang abadi dan
tidak berubah.
Ketegangan antara
pandangan Heraklitus dan Mazhab Elea tersebut kemudian disintesiskan oleh
Anaxagoras dengan ajaran pluralisme-nya. Ia menolak ajaran esensi kesatuan dari
semua “Ada”, di mana menurutnya segala sesuatu adalah keragaman yang tak
terbatas dalam jumlah dan jenisnya, yang kemudian kita kenal sebagai pluralisme
kualitatif. Sebagai contoh: kayu, besi, rambut, darah, dan lain sebagainya tak
mungkin direduksikan satu sama lainnya. Inilah yang disebut oleh Anaxagoras
sebagai benih-benih eksistensi, di mana segala sesuatu memiliki benih-benih
eksistensinya sendiri –yang tak bisa direduksikan ke dalam jumlah. Dan ini
pula-lah yang diklaim sebagai keadaan primordial “Ada” oleh Anaxagoras, yang di
sisi lain ia sebut sebagai Nous (gerak atau pikiran) yang mengoperasikan
aktivitas kosmik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar