Radar Banten, 26 Agustus 2014
“Pangkal agama ialah
makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah
membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya,
kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan
Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti
bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan
setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka
barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui
keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya
dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan
barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan
barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa
menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa
mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya. Barangsiapa
mengatakan “dalam apa Ia berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa Ia bertempat,
dan barangsiapa mengatakan “di atas apa Ia berada” maka ia beranggapan bahwa Ia
tidak berada di atas sesuatu lainnya. Ia Maujud tetapi tidak melalui fenomena
muncul menjadi ada. Ia ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. Ia bersama
segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. Ia berbeda dari segala
sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Ia berbuat tetapi tanpa konotasi
gerakan dan alat. Ia melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat.
Ia hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya Ia
mungkin bersekutu atau yang mungkin Ia akan kehilangan karena ketiadaannya”
(Khutbah Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Lihat Nahjul Balaghah)
Tuhan dan Alam
Membahas tentang Tuhan
dalam pemikiran filosof muslim berarti membahas tentang metafisika, yang dalam
hal ini Ibnu Sina memandang metafisika merupakan pengetahuan tentang segala
yang ada sebagai “adanya” dan sejauh yang dapat diketahui manusia. Berkaitan
dengan metafisika inilah Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai yang
terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain. Esensi, dalam
paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal.
Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar
akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih
penting dari esensi. Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah), Ibnu
Sina berargumentasi dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud, yang
mengingatkan kita kepada filsafatnya Al-Farabi, yang bahkan terkesan tidak ada
tambahan sama sekali. Berikut penjelasannya.
Wajib al-wujud, yaitu
esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai
dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud
selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi Wajib al-Wujud ke dalam dua
pembagian, yaitu: 1) Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian
wujudnya disebabkan olah zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa
diceraikan dengan wujud, karena keduanya adalah satu dan wujudnya tidak
didahului oleh ketiadaan (ma’dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi
dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja, yaitu Allah
Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal murni) yang tidak
berkaitan denan materi apa pun. 2) Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu
yang kepastian wujudnya disebabkan oleh yang lain. Misalnya: Adanya basah
disebabkan oleh adanya air, kebakaran disebabkan oleh api, adanya 7 karena ada
5+2 atau 6+1, atau 2+5, dan sebagainya.
Tentang sifat-sifat Allah,
sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina pun menyucikan Allah dari segala sifat yang
dikaitkan dengan esensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah
tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari
zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama’).
Sebagaimana Al-Farabi,
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di
alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan
Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak
langsung, yakni melalui zatnya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain,
pengetahuan Allah tentang yang parsial melalui sebab akibatyang terakhir kepada
sebab pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha
mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah.
Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat
ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia. Meski,
dalam soal ini, pandangan Ibn Sina memancing kritik dan kontroversi dari ummat
Islam atau dari para pemikir Islam lainnya yang mempercayai pengetahuan Allah
mencakup yang parsial (furu’) juga yang global (ijmal).
Sebagai perbandingan,
barangkali kita juga perlu menyimak pandangan filsuf muslim kontemporer, yang
dalam hal ini teosofi-nya Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari: “Dalam
hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas
beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah dunia
ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini. Juga
dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat keseimbangan
segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan
dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan
Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem
yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran
dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan sehat. Tak
mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia yang ada ini
merupakan yang paling sempurna” (Lihat Ayatullah Murtadha Muthahhari, Keadilan
Ilahi, Mizan 2009).
Filsafat Ibn Sina Tentang Manusia
Terdapat tiga objek kajian
yang dibahas Ibnu Sina menyangkut manusia, yaitu: wujud manusia, jiwa manusia,
akal pada manusia dan ruh manusia. Dalam menjelaskan tentang wujud manusia ini
Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiah-nya untuk menjelaskan dari mana wujud
manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-Wujud, yang penjelasannya adalah:
Mumkin al-Wujud adalah Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak
berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada,
maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Selanjutnya, dalam
menjelaskan tentang awal mula proses muculnya ruh, maka kita akan melihat pada
teori emanasi Ibnu Sina, di mana proses munculnya ruh diawali dengan adanya
Akal X yang dayanya sudah sangat lemah berpikir tentang Allah sebagai Wajib
wujud li dzatihi menghasilkan pemikiran ke 10 yang berpikir tentang Wajib wujud
li ghairihi menghasilkan jiwa ke 10 dan berpikirnya tentang dirinya sendiri
sebagai Mumkinul wujud li dzatihi menghasilkan berbagi unsur dasar dari bumi
dan juga ruh manusia. Dan jiwa ke 10 itulah yang menggerakkan roh. Menurut Ibnu
Sina jika manusia telah meninggal maka hanya raganya saja yang tidak aktif,
tetapi rohnya akan tetap hidup, dan roh yang abadi itu akan mengalami sikasa
dan kesenangan. Pandangannya soal ini juga tak luput dari kritik dan
kontroversi secara teologis dan filosofis.
Alam Menurut Ibnu Sina
Ibnu Sina, yang lagi-lagi
sebagaimana juga al Farabi, menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana
terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari
arti banyak, jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun
(Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara
emanasi. Soal kerumitan ini kemudian akan dijelaskan dalam tasawuf filsafatnya
Ibn Arabi, tentang tajalliyat. Namun di sini penting dikatakan bahwa filsafat
emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina atau juga al- Farabi, tetapi berasal dari
“ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa (The
One). Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari hanya yang satu
yang melimpah. Filsafat Plotinus ini kemudian diaktualisasikan oleh Ibnu Sina
dan juga Al- Farabi, bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Dengan
demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan
tujuannya berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya Plotinus
sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam
filsafat Ibn Sina dan al Farabi. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada
secara pancaran.
Adapun proses terjadinya
pancaran tersebut ialah ketika Allah (bukan dari tiada) sebagai akal langsung
memikirkan terhadap zatnya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah
akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah Akal kedua, Jiwa pertama dan
langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah
dayanya dan tida dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan
Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur
pokok: air, udara, api, dan tanah. Hanya saja, berbeda dengan Al-Farabi, bagi
Ibnu Sina Akal pertama mempunyai dua sifat: Sifat wajib wujudnya sebagai pancaran
dari Allah dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan
demikian, Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah
(Wajib al-wujud li-zatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi)
sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau
dari hakikatnya.
Selanjutnya adalah
akal-akal dan planet-planet dalam emanasi dipancarkan Allah secara hierarkis.
Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqul Allah tentang zat-Nya sebagai sumber
energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu Allah
tentang dirinya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang mencitakan segalanya.
Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil
ta’aqqul Allah terhadap zat-nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal,
jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet. Dan berbeda dengan
pendahulunya, yaitu Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi
sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak langsung
menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, Akal
pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah malaikat Jibril
yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
Namun, sebagaimana
Al-Farabi, Ibnu Sina juga memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah
semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang
banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung
dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang
plural. Hal ini merusak citra tauhid. Seperti telah disebutkan bahwa perbedaan
yang mendasar antara Plotinus dengan Ibnu Sina (juga al-Farabi) ialah: bagi
Plotinus alam ini hanya terpancar dari yang satu (Tuhan), yang mengesankan
Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia
gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya. Sementara itu, dalam Islam,
emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah menciptakan alam. Karena alam
adalah ciptaan Allah, dalam agama Islam termasuk ajaran pokok atau qath’i
al-dalalah. Dengan kata lain, kekhalikan Allah ini mesti diimani sepenuhnya.
Orang yang mengingkari dapat membawa pada kekafiran. Atas dasar itulah, maka
ibarat mentari dengan sinarnya merupakan ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat
emanasi inilah, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak zaman Azali.
Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membedakan antaraqadimnya Allah dan alam.
Perbedaan tersebut terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadan alam tidak
didahului oleh zaman, maka alam qadim dari segi zaman. Adapun dari segi esensi,
sebagai hasil ciptaanAllah secara pancaran, alam ini baru. Sementara itu, Allah
adalah taqaddum zaty. Ia sebab semua yang ada dan Ia pencipta alam. Akhir kata,
meski tak luput dari protes dan kontroversi, filsafat Ibn Sina adalah jejak dan
warisan yang sangat berharga bagi kita dari sebuah jaman ketika dunia Islam
berusaha melakukan rasionalisasi teologis, sekaligus berikhtiar dalam kecimpung
filosofis agar agama “tidak mati” dalam roda sejarah dan laju peradaban ummat
manusia.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar