Radar Banten, 14 April 2014
“Di rumahnya, para
sahabatnya tak menjumpai perabot mahal, seperti yang dimiliki orang-orang
modern dan kaum metropolis sekarang. Ia makan di lantai seperti budak, padahal
raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan
pengikutnya, mereka tak mengira bahwa dari kepribadiannya yang sabar dan
sederhana terbentang peradaban dan sejarah baru.”
Apa yang kita pikirkan,
atau lebih tepatnya: apa yang dapat kita terka dan kita imajinasikan, tentang
seorang laki-laki yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi
kematian orang-orang yang sangat ia cintai, orang-orang yang amat mengasihinya?
Seorang lelaki yang lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu
mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Seorang lelaki yang
menantang matahari dalam panasnya dan menggetarkan milliaran manusia dengan
sebutan namanya, saat muadzin mengumandangkan suara adzan.
Di rumahnya, para
sahabatnya tak menjumpai perabot mahal, seperti yang dimiliki orang-orang
modern dan kaum metropolis sekarang. Ia makan di lantai seperti budak, padahal
raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan
pengikutnya, mereka tak mengira bahwa dari kepribadiannya yang sabar dan
sederhana terbentang peradaban dan sejarah baru. Tak seorang pembantunya pun
mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di
rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu
tercintanya, Fatimah az Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Fatimah merasakan kasih
sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian.
Figur yang Adil dan Egaliter
Saat Bani Makhzum
memintanya membatalkan eksekusi atas perkara hukum seorang perempuan bangsawan,
ia menegaskan: Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah,
apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri
itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya
Fatimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”
Hari-harinya penuh kerja
dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk –lebih dari satu dua kali-
berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah
binti Abu Bakar. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih
menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali
para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang
terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan
kualitasnya sebagai “orang rumah”.
Teladan Sang Pemimpin
Di bawah pimpinannya,
laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama
perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. “Sebaik-baik kamu ialah yang
terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik di antara kamu terhadap
keluargaku.” “Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan
menghina perempuan kecuali seorang hina,” demikian pesannya.
Di sela 27 kali
pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya
(sariyah) sebanyak 35 kali demi membela ummatnya dari agressi dan intimidasi
militer pihak-pihak yang memendam kedengkian dan kebencian atau karena politik
dan kepentingan duniawi mereka yang terancam dengan revolusi spiritualnya, ia
masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan,
menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling
khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara
dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.
Figur Penuh Makna
Setiap kisah yang dicatat
dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid
seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di
lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja
memukulnya. Sabdanya kepada mereka: “Jangan, biarkan ia menyelesaikan
hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah
aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum
ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap bercengkerama
dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan
memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka,
budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang
sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.
Teladan Akhlaq
Ia selalu lebih dulu
memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah
menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah
menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia
muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia
berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama
yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si
Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan.
Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya
dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.
Pada suatu hari dalam
perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku
malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di
tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke
sumber suara. Ternyata ia telah ada di sana mendahului mereka, tegak di atas
kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa
keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi
pendidikan disiplin dan loyalitas.
Aisyah pernah berkata:
“Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan
makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya
dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30
gantang gandum.” Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat
sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya
Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.”
Pada kemenangan besar saat
Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan
kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih,
tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan. Betapapun sulitnya mencari
batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita
pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap
shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan
ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar