Sabtu, 15 November 2014

Kalacitra dan Simulacra




Radar Banten, 23 April 2014

“Kalacitra adalah suatu jaman ketika tekhnologi informasi dan komunikasi massa mampu memanipulasi realitas”

Kalacitra adalah “era citra” atau “jaman ikon”, suatu jaman ketika “citra” dan “gambar-gambar visual” adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup keseharian kita. Suatu jaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh media-media reklame dan iklan serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era mutakhir kita ini. Ketika imperatif-imperatif pasar begitu digdaya “menyeru” dan seakan terus “memerintah” kita tanpa henti atau pun jeda untuk senantiasa membeli. Jika kita meminjam istilahnya Jean Baudrillard, sebagai contoh, kalacitra adalah suatu jaman ketika tekhnologi informasi dan komunikasi massa mampu memanipulasi realitas, hingga yang ada dan hadir di hadapan kita tak lebih simulasi belaka atawa simulakra. Di sana, sebuah atau sejumlah citra sanggup, bahkan seringkali sangat digdaya, dalam memanipulasi realitas, atau bahkan menggantinya dengan realitas “rekaan” atawa “realitas virtual” (virtual reality), yang anehnya seringkali dianggap lebih real dan lebih otoritatif oleh manusia yang telah menjelma masyarakat consumer alias masyarakat konsumtif.

Dan sebagaimana kita tahu dan kita alami bersama saat ini, keseharian hidup kita telah dikepung oleh citra-citra di berbagai tempat dan sudut hidup kita. Hampir di setiap tempat, bahkan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan, kita akan senantiasa melihat gambar-gambar, papan-papan, atau baligo-baligo reklame dan iklan, yang seakan terus menggoda dan “memerintah” kita untuk “taat” kepada gerak dan hukum pasar. Reklame dan iklan-iklan yang bertebaran di setiap sudut dan tempat kita hidup itu seolah-olah tebaran firman yang sulit kita abaikan. Tak lain, seperti yang telah dikatakan, karena visualisasi dan godaan verbalnya terasa lebih real dan lebih dekat alias lebih akrab dengan kita ketimbang yang lainnya. Iklan-iklan itu seakan senantiasa ramah menggoda, merayu, dan membujuk kita, tak ubahnya Sirens alias penyihir perempuan nan amat jelita, hingga kita pun tak sanggup menolaknya dan tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Citra-citra itu seakan telah menjadi “realitas” yang lebih real dan lebih otoritatif ketimbang otoritas-otoritas lainnya. Bahkan acapkali terasa lebih meyakinkan ketimbang firman-firman atau fatwa-fatwa keagamaan.

Ironi Iklan

Dengan demikian, kalacitra adalah sebuah jaman atau sebuah era dan masa ketika masyarakat atau publik luas mengiyakan dan mempercayai begitu saja apa yang didesakkan iklan-iklan dan reklame yang disebarkan secara massif, tanpa jeda, dan cepat oleh dan melalui media massa, laiknya mereka menjalankan perintah-perintah agama, hingga pada saat itu pula orang-orang melupakan banyak hal yang tidak diberitakan dan tidak didesakkan oleh media massa. Kalacitra adalah sebuah jaman ketika iklan dan reklame menggantikan imperatif-imperatif keyakinan religius, ketika aspek kesadaran dan kognitif manusia seakan tak sanggup lagi menimbang dan mempertanyakan apa yang didefinisikan oleh citra-citra yang disebarkan secara massif dan cepat oleh berbagai reklame dan iklan atau sejumlah imperatif pasar lainnya. Seakan-akan kita tak bisa lagi menampik barang sejenak semua yang diujarkan media massa, yang dengan memanfaatkan efektivitas dan kecepatan teknosains dan tebaran media massa, dapat dengan mudah berada di mana-mana, mulai dari trotoar-trotoar jalan hingga ke sudut-sudut pedesaan. Seakan-akan tempat-tempat ritual ibadah abad ini adalah Carrefour dan mall-mall, di mana kita dapat dengan segera menumpahkan hasrat dan kerinduan kita untuk mencintai benda-benda yang lebih nyata, yang memang ada di depan kita dengan kebaruannya yang terus mengalami modifikasi.

Masyarakat Konsumtif

Jadi, pada saat bersamaan, kalacitra adalah juga sebuah jaman yang dalam istilah Jean Baudrillard disebut era-nya masyarakat konsumtif, era ketika orang-orang senantiasa berhasrat untuk selalu membeli, bukan karena kebutuhan, tetapi karena memang seakan-akan senantiasa diperintah untuk selalu membeli dan mengkonsumsi. Di era yang disebut sebagai era “masyarakat konsumtif”, sebagaimana para penulis dan sosiolog mutakhir menjulukinya semisal Jean Baudrillard dan George Ritzer, kita hidup di mana iklan begitu berkuasa alias digdaya dan menjadi firman-firman baru yang imperatifnya begitu halus dan merayu, menggoda dan menggiurkan, yang anehnya kita justru tak merasa diperintah oleh iklan-iklan tersebut.

Iklan-iklan itulah yang berfungsi sebagai “mesin pemompa hasrat”masyarakat konsumtif agar masyarakat atau orang-orang selalu membeli dan mengkonsumsi, yang menciptakan dan merekayasa kebutuhan, hingga setiap orang membeli bukan karena adanya kebutuhan pada benda-benda yang mereka beli, tetapi seringkali hanya sekedar mengikuti “trend” dan “gaya hidup” yang telah diciptakan dan direkayasa oleh sekian banyak reklame dan iklan yang bisa kita jumpai di mana saja, di sudut-sudut jalan, di tivi-tivi, di radio, dan di koran-koran. Di mana menurut para analis dan penulis mutakhir itu, kapitalisme telah menciptakan dan mendefinisikan aspek sosial dan aspek kognitif-nya sendiri dengan diskursus dan pencitraan yang cepat dan massif, yang seringkali lebih efektif dan lebih diterima ketimbang ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin agama untuk konteks saat ini, bahkan agama pun tak luput dari praktek-praktek “komodifikasi”, tengok saja dakwah-dakwah instant di tivi-tivi atau transaksi doa-doa dan pesan-pesan religius via Short Message Servicealias SMS.

Agama pun Tak Luput

Siapa sangka, di jaman yang oleh Baudrillard disebut sebagai era-nya“consumer society” alias masyarakat konsumtif inilah, agama dan kapitalisme telah berdamai dan berjalan mesra di segala aspek dan ruang yang saling berbagi, saling menunggangi, dan saling memanfaatkan. Mengenal kredo yang sama: “kehendak menyendiri dan asketisme adalah sebuah kegilaan”. Kita mesti merayakan ritual-ritual dan imperatif-imperatif jaman ini bila tidak ingin dicap gila dan kampungan. Kita harus terlibat dalam segala transaksi bila kita tidak ingin dituduh sebagai para penyimpang. Bahwa justru karena kita tak bahagia dalam kebisuan dan kesepian, makanya kita mesti terlibat dalam keriuhrendahan sudut-sudut, etalase-etalase, dan pojok-pojok mall dan Carrefour, entah untuk membeli sesuatu yang kita butuhkan dan tidak kita butuhkan atau sekedar menikmati pemandangan yang seronok dan menggiurkan yang ditawarkan sekian ikon dan gambar-gambar, benda-benda, dan lain sebagainya.

Di sana kitab suci dan buku-buku doa instant yang ditulis oleh para ustadz instan dan jadi-jadian bersanding dengan produk-produk pakaian dalam, sebuah realitas yang mungkin akan dicela oleh Isa al Masih As bila saja hidup di jaman ini. Mungkin kita pun tak lagi berhak meminta atau pun menuntut kemurnian dari ajaran-ajaran dan perilaku-perilaku keagamaan kita. Seakan-akan tak ada satu pun yang luput dari ekspansi kapitalisme perdagangan dan komoditas di jaman ini, dari politik hingga linguistik.

Sebenarnya, ratusan tahun silam sebelum Giles Deleuze, George Ritzer, dan Jean Baudrillard menulis, Friedrich Nietzsche, sang filsuf yang juga penyair itu, telah memaphumkan kita dengan Zarathustra-nya, bahwa kita hidup dalam ambiguitas yang seringkali tidak kita sadari. Sarkasme Nietzsche tersebut, betapa pun sinis dan menelanjangi kita, adalah sebuahkejujuran luar biasa ketika ia mengatakan bahwa yang akan merebut perhatian paling besar kita di jaman ini adalah “pasar”. Singkatnya, kita tanpa sadar, tengah merayakan nihilisme, yang anehnya seringkali tidak kita akui dengan jujur dan terus-terang sebagaimana Nietzsche mengakui dan meramalkannya.

Sulaiman Djaya 


Sastra Masa Silam Sunda Banten




Radar Banten, 21 Juni 2012

“Secara budaya dan linguistik, wilayah Banten adalah pertemuan ragam bahasa dan budaya, selain telah menjadi tempat berakulturasinya sejumlah pengaruh dan kebudayaan dari luar Nusantara. Namun demikian, mayoritas para ahli telah sepakat bahwa di masa kuno-nya, Banten merupakan tempat lahirnya bahasa dan budaya ‘Sunda Kuno’, yang di dalamnya termasuk sastra, yang dalam hal ini berupa peninggalan dan warisan sastra lisan berupa pantun, rajah, mantra atau percampuran ketiganya sekaligus, dan tak lupa juga sastra yang sifatnya prosa-naratif”

Secara umum, pantun yang dipahami oleh “masyarakat Sunda Kuno” di Banten berbeda dengan pengertian pantun modern, yang hanya dipahami sebagai larik berulang itu. Sebab, seperti telah ditunjukkan langsung oleh bentuk dan bunyi pantun “masyarakat Sunda Kuno” itu, pantun ternyata masih dikaitkan dengan tradisi yang sifatnya keagamaan, semisal ruwatan. Dalam tradisi masyarakat Sunda Kuno ini, pantun adalah “pembacaan mantra dan lirik prosa atau cerita pantun yang dibaca oleh juru pantun sembari memainkan kecapi parahu alias kecapi gelung atau dengan diiringi permainan angklung, di mana yang menggunakan kecapi tersebut dua ujung kecapinya mirip sebuah gelung yang melengkung, dalam sebuah acara ruwatan untuk meminta keselamatan.”

Salah-satu komunitas adat masyarakat Sunda di Banten yang telah melahirkan pantun dalam artian tersebut, adalah masyarakat adat Sunda-Baduy atau masyarakat Kanekes. Pantun yang lahir dari masyarakat Baduy tersebut, seperti dikatakan para filolog dan sejarawan-budaya, merupakan pantun yang memiliki nilai magis dan spiritual yang lebih murni ketimbang pantun-pantun yang lahir dari masyarakat atau komunitas-komunitas adat Sunda lainnya. Selain itu, Urang Baduy sendiri menganggap cerita pantun sebagai sesuatu yang sakral dan tidak boleh dipergelarkan secara sembarangan.

Meskipun demikian, selain sisi magis dan efek mantranya, itu carita pantun Urang Baduy kadang-kadang juga digunakan untuk merujuk tempat-tempat di alam nyata, semisal Pasir Batang Lembur Tengah, Pasir Batang Lembur Hilir, atau Pasir Batang Lembur Girang. Di mata kata “batang” itu juga merupakan kiasan tubuh manusia, sehingga penyebutan itu sendiri dapat diartikan sebagai penyebutan bagian-bagian tubuh manusia, semisal Girang yang berarti kepala, Lembur Tengah yang berarti perut, dan Lembur Hilir yang berarti bagian kaki. Begitulah di jaman Kerajaan Sunda, nama-nama tempat dicocokkan dengan sebutan Girang, Hilir, atau Tengah.

Sementara itu, dari sisi lakon dan subjek carita pantun setidak-tidaknya ada sepuluh judul, di mana judul-judul lakon-lakon carita pantun itu menggunakan nama-nama satwa yang sekaligus dipinjam sebagai para pelaku lakon carita pantun itu sendiri, yang dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yang antaranya adalah: (1) Golongan Munding (Kerbau), seperti Munding Daratan, Munding Barang, Munding Mregaluncat, Munding Mregalaksana, Munding Mregasingha, Munding Singha, Munding Liman, Munding Sari, dan Munding Wangi. (2) Golongan Kuda, seperti Kuda Gandar, Kuda Jayengsari, Kuda Kancana, dan Kuda Wangi. (3) Golongan Gajah, seperti Gajah Lumantung dan Gajah Haruman. (4) Golongan Kidang atau Rusa, seperti Kidang Panadri dan Kidang Pananjung. (4) Golongan Singa, seperti Singa Tajiwangsa dan Singa Kombala, selain ada juga nama-nama lakon lainnya seperti Badak Sangara, Galudra Kancana, Paksi Keling, Naga Menang, dan Naga Panggiling.

Juga, ada lakon-lakon dengan tokoh-tokoh perempuan, seperti Lenggang Manik, Lenggang Haruman, Naga Lumenggang Kusumah, dan Lenggang Wangi. Selain dengan menggunakan alat instrument kecapi, carita pantun atau pun pantun mantra juga dibacakan oleh juru pantun dengan menggunakan angklung, seperti dalam sebuah upacara penghormatan kepada padi atau Dewi Sri Pohaci, semisal pantun Langga Sari Tua. Sedangkan dua carita pantun yang dianggap sakral adalah carita pantun Lutung Kasarung dan carita pantun Ciung Wanara, di mana Urang Baduy menganggap dua carita pantun tersebut berkaitan dengan ilmu-ilmu khusus, dan mereka lebih mengenal carita pantun Lutung Kasarung tersebut sebagai Lakon Paksikeling, semisal yang berbunyi berikut:

Japun! Awaking kiwari // Deuk make pasang pasaduan, // Pasaduan guru. Ahung! // Pak sampun! // Majar ahung tujuh balen // Ahung deui, ahung deui! // Ahung manglunga, // Ahung manglingeu, // Ahung mangdegdeg, // Ahung manglindu. // Paksi kangkayang // Basaning angka, // Hayam beureum putih kukang, // Anjing belang sina tawe, // Mapay paksi ka hilirkeun, // Rempuh bayu ti galunggung, // Mapag bala ti Jasinga, // Sasakala Indra Baya. // Ambuing sira mangumbang, // Bapaing terus mangambung, // Pangjungjungkeun, // Panglawungkeun // Sora awaking. // Ka luhur ka nu di manggung, // Ka nu wenang mucuk ngibun, // Ka atina sukma langlaung, // Gurit leungit cakra mega, // Wekas tuang ka hineban, // Korejat milepas manten. // Reuwas teuing ku impian, // Ngimpi ngadu picis di langit, // Totolan di awang-awang, // Ditujah tuang tilepan, // Diwaca henteu kawaca, // Taya panca aksarana. // Tujahkeun // Ka lautna, // Ka harusna, // Ka sagara leuleuy, // Ka sagara ireng, // Ka sagara lolopangan.

Selain Lakon Paksikeling tersebut, masyarakat Baduy juga memiliki khasanah yang sifatnya prosaik atau cerita naratif, semisal Hikayat Dewa Kaladri berikut:

“Syahdan, sebagaimana telah diceritakan banyak orang di Tatar Banten dan Kerajaan Sunda yang mulanya beribukota di Banten Girang dan kemudian pindah ke Pakuan, sejak Sanghyang sampai ribuan tahun ke belakang, waktu itu ada seorang Sanghyang yang bernama Sanghyang Sakti yang mempunyai seorang anak laki-laki. Namun rupa anak ini sangat jelek alias buruk sekali, badannya hitam dan perutnya buncit. Oleh ayahnya anak ini diturukan ke bumi, disuruh bertapa dan mengelilingi dunia. Demikianlah si anak buncit itu turun ke bumi. Kala itu ia sampai pusat kota Cipaitan, yaitu desa Cihandam yang telah lama ditinggalkan, dan ia terus bertapa di Gunung Kujang. Saat ia sedang bertapa, ia pun ditemukan oleh Daleum Sangkan sedang telentang bertapa di atas sebuah batu yang besar. Persis ketika itulah, oleh Daleum Sangkan ia dibawa pulang dan diambil sebagai anak, serta diurus dengan baik sekali dan disayangi sampai besar kira-kira teguh samping (berumur delapan atau sepuluh tahun, menurut perhitungan sekarang).

Apakah yang menjadi menjadi kesukaan anak buncit ini? Tak lain memasang bubu setiap hari. Dan lama-kelamaan istri Daleum Sangkan membenci anak buncit ini karena parasnya yang jelek hitam, perutnya makin lama makin buncit dan matanya besar membelalak. Hanya saja Nyi Sangkan tidak berani mengusirnya karena takut terhadap Daleum Sangkan. Pada suatu hari, waktu itu, Daleum Sangkan mengajak si anak buncit untuk memasang bubu di sungai, tetapi tidak diperkenankan memasangnya di tempat yang baik dan dalam, ia harus memasangnya di tempat yang jelek dan diangkat saja, agar tidak mendapat ikannya. Ketika itu Nyi Sangkan berkata: “Kalau tempat yang baik adalah untukku memasang bubu, jangan oleh kamu”. Lalu mereka masing-masing menempatkan bubunya.

Diceritakan, si anak buncit itu memasang bubunya di tempat-tempat yang telah ditunjukan oleh Nyi Sangkan, yaitu di tempat-tempat yang jelek dengan arus airnya yang deras. Sedangkan Nyi Sangkan menempatkannya di tempat-tempat yang baik dengan airnya yang tenang. Waktu keesokan harinya, saat mereka sama-sama melihat, bubunya Nyi Sangkan tidak berisi ikan sama sekali, meski dipasang di tempat yang baik. Sementara ketika bubunya si buncit diangkat, ternyata banyak ikan di dalamnya, bahkan ada seekor ikan yang besar yang disebut ikan lubang, lalu ikannya dibawalah pulang. Dengan kejadian itu, Nyi Sangkan bertambah benci terhadap anak buncit itu. Ikan yang besar tadi, tidaklah diberikan kepada Nyi Sangkan oleh anak itu, bahkan ia pelihara dan dismpan dalam tong yang terbuat dari batang pohon kawung. Nyi Sangkan menjadi sangat marah, lalu memaki-maki, tetapi si anak buncit ini tidaklah menghiraukannya.

Tak lama kemudian, Nyi Sangkan mengajak menanam talas di humanya. Tetapi seperti biasa saja, yaitu Nyi Sangkan menanam talasnya di tempat yang tanahnya bagus, sedangkan si buncit disuruh menanamnya ditempat yang jelek yang tanahnya merah bercampur pasir. Lalu mereka menanam talas. Nyi Sangkan berkata kepada anak buncit: “Wah, kamu menanam talas juga tak akan ada umbinya, sebab tanahnya jelek, berwarna merah dan bercampur pasir pula, walau pun nantinya ada juga berumbi, paling besar juga hanya sebesar kelentitku”. “Kalau tanamanku sudah pasti bagusnya dan banyak umbinya, sebab tanahnya bagus.” Anak buncit tidak menjawab apa-apa, hanya dalam hatinya ia berkata, barangkali saja nanti umbinya banyak. Setelah lama, di saat talas mereka sudah masanya berumbi, mereka pun menengok dan mencabut talas mereka masing-masing.saat itulah, ternyata, tanaman talas Nyi Sangkan tidak ada umbinya. Sementara ketika si anak buncit mencabut talasnya, umbinya besar sekali, meski hanya sebuah, di mana besar umbinya itu sebesar tempayan tempat beras. Si anak buncit itu pun berbicara kepada Nyi Sangkan sambil memperlihatkan talasnya dengan diayun-ayunkan: “Ini lihatlah, Uwa, tanaman talasku ada umbinya sampai sebesar burut Uwa.” Setelah itu, dengan mendadak terbukti terkena oleh sapaan, alat kelamin Nyi Sangkan menjadi burut sebesar talas si anak buncit, sama dengan tempayan beras. Nyi Sangkan menjadi kalang kabut, hatinya makin marah kepada si anak buncit itu, yang karena ia terkena sapaannya si anak buncit itu menjadi burut alat kelaminnya, hingga ia susah berjalan, hampir-hampir tak dapat pulang ke rumah.

Sejak saat itu, Nyi Sangkan terus menangis, dan tentu saja, makin lama makin membenci anak buncit itu. Karena Nyi Sangkan merasa malu, maka ia pun bermaksud untuk membunuh si buncit, hanya saja, lagi-lagi, ia merasa takut oleh suaminya, Daleum Sangkan. Pada suatu waktu, di sebuah hari yang mungkin biasa, ketika si buncit sedang bepergian, ketika itulah ikan lubang kesayangan si buncit dicuri oleh Nyi Sangkan dari tong kawung, dibawa ke rumah Nyi Sangkan dan dimasak layaknya ikan, sementara kepala ikan tersebut tidak dimasaknya, melainkan dimasukkan ke dalam mangkuk dan disimpan di rak piring dengan ditutup oleh periuk. Tidak lama kemudian si buncit datang sambil membawa makanan ikan, terus ia mencari ikannya untuk diberi makan. Ketika dilihat ternyata ikannya sudah tidak ada lagi, si buncit terus menanyakan, dan berkata: “Ua, ikan saya di mana gerangan ikan kesayanganku? Jika ia tidak ada di tempatnya, sudah tentu dicuri olehmu.”

Namun, ketika si buncit tengah berbicara itu, ayam jantan tiba-tiba berkokok: “Kiplip-kiplip (suara tiruan tepukan sayap, sebelum ayam berkokok) Kongkorongok (suara kokok ayam) // Kepala lubang disembuyikan, // ditutup oleh periuk, // ditempatkan di dalam mangkuk, // disimpan di rak piring, // cepat-cepat, // segera harus dicari, // jangan percaya kepada Nyi Sangkan, // sebab dia buruk hati, // dan ia bermaksud membunuhmu.”

Setelah mendengar kokok ayam yang demikian bunyinya tersebut, maka si buncit segera mencarinya ke rak piring. Dan ketika ditengoknya, ternyata kepala lubang itu memang ada seperti dikatakan si ayam jalu yang cerdas itu, persis ditutup oleh periuk. Sejak itu si buncit tidak bicara lagi, dan ia terus melarikan diri karena marahnya dan benci yang teramat sangat kepada Nyi Sangkan. Ia pun langsung pergi ke Negara Pakuan Barat dan bertempat tinggal di sana sebagai pertapa di pegunungannya, di sekitar Gunung Halimun dan Gunung Salak.”

Dengan dua contoh tersebut, masyarakat Sunda Banten kuno telah akrab dengan apa yang saat ini disebut sebagai seni dan budaya kesusastraan yang berbasis pada bahasa dan kearifan hidup sehari-hari, yang untuk sebagiannya, kesusastraan masyarakat Sunda Banten masa silam itu bersifat sakral, dan sebagian yang lainnya mendedahkan kearifan dengan menggunakan tuturan dan cerita kiasan.

Sulaiman Djaya

Raden Kian Santang dan Tongkat Sayyidina Ali



“Hikayat ini adalah contoh sastra lisan di Banten dan Jawa Barat yang lebih bersifat kiasan –yang memaksudkan dirinya untuk bercerita tentang bagaimana peralihan kultural dan politik di Banten dan Jawa Barat dari Era Hindu ke Era Islam”

Prabu Siliwangi memiliki beberapa putra dan putri, diantaranya adalah Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang, yang keduanya adalah putra dan putri kesayangan sang Prabu. Raden Kian Santang terkenal dengan kesaktiannya yang luar biasa. Di dunia persilatan nama Raden Kian Santang sudah tak asing lagi sehingga seluruh Pulau Jawa bahkan Nusantara saat itu sangat mengenal siapa Raden Kian Santang. Tak ada yang sanggup mengalahkannya. Bahkan, Raden Kian Santang tak pernah melihat darahnya sendiri.

Suatu ketika, Raden Kian Santang yang adalah putra Prabu Siliwangi itu terkejut ketika di dalam mimpinya ada seorang kakek berjubah yang mengatakan bahwa ada seorang manusia yang sanggup mengalahkannya, dan kakek tersebut tersenyum. Mimpi itu terjadi beberapa kali hingga Raden Kian Santang bertanya-tanya siapa gerangan orang itu. Dalam mimpi selanjutnya sang kakek menunjuk ke arah lautan dan berkata bahwa orang itu di sana.

Penasaran dengan mimpinya, Raden Kian Santang pun meminta ijin kepada ayahandanya, Prabu Siliwangi untuk pergi menuju seberang lautan, dan menceritakan semuanya. Prabu Siliwangi walaupun berat hati tetap mempersilahkan putranya itu pergi. Namun Ratu Rara Santang, adik perempuan Raden Kian Santang, ingin ikut kakaknya tersebut.

Meski dicegah, Ratu Rara Santang tetap bersikeras ikut kakaknya, yang akhirnya mereka berdua pergi menyeberangi lautan yang sangat luas menuju suatu tempat yang ditunjuk orang tua alias si kakek berjubah di dalam mimpi Raden Kian Santang itu.

Hari demi hari, minggu berganti minggu dan genap delapan bulan perjalanan sampailah Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang ke sebuah dataran yang asing, tanahnya begitu kering dan tandus, padang pasir yang sangat luas serta terik matahari yang sangat menyengat mereka melabuhkan perahu yang mereka tumpangi.

Tiba-tiba datanglah seorang kakek yang begitu sangat dikenalnya. Yah, kakek yang pernah datang di dalam mimpinya itu. Kakek itu tersenyum dan berkata: “Selamat datang anak muda! Assalamu alaikum!” Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang hanya saling berpandangan dan hanya berkata: “Aku ingin bertemu dengan Ali, orang yang pernah kau katakan sanggup mengalahkanku.”

Dengan tersenyum kakek itu pun berkata: “Anak muda, kau bisa bertemu Ali jika sanggup mencabut tongkat ini!” Lalu si kakek itu menancapkan tongkat yang dipegangnya.

Kembali Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang saling berpandangan, dan Raden Kian Santang tertawa terbahak-bahak. “Hai orang tua! Di negeri kami adu kekuatan bukan seperti ini, tapi adu olah kanuragan dan kesaktian. Jika hanya mencabut tongkat itu buat apa aku jauh-jauh ke negeri tandus seperti ini?  Ujar Raden Kian Santang mengejek.

Kakek itu kembali tersenyum. “Anak muda, jika kau sanggup mencabut tongkat itu kau bisa mengalahkan Ali, jika tidak kembalilah kau ke negerimu anak sombong.” Kata orang tua itu.

Akhirnya Raden Kian Santang mendekati tongkat itu dan berusaha mencabutnya. Namun  upayanya tak berhasil. Semakin dia mencoba semakin kuat tongkat itu menghunjam.

Keringatnya bercucuran, sementara Ratu Rara Santang tampak khawatir dengan keadaan kakaknya, ketika tiba-tiba darah di tangan Raden Kian Santang menetes, dan menyadari bahwa orang tua yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.

Saat itu, lutut Raden Kian Santang bergetar dan dia merasa kalah. Ratu Rara Santang yang terus memperhatikan kakaknya segera membantunya, namun tongkat itu tetap tak bergeming, akhirnya mereka benar-benar mengaku kalah.

“Hai orang tua! Aku mengaku kalah dan aku tak mungkin sanggup melawan Ali. Melawan  dirimu pun aku tak bisa! Tapi ijinkan aku bertemu dengannya dan berguru kepadanya.” Ujar Raden Kian Santang.Kakek itu kembali tersenyum. “Anak muda! Jika Kau ingin bertemu Ali, maka akulah Ali.” Tiba-tiba mereka berdua bersujud kepada orang tua itu, namun tangan orang tua itu dengan cepat mencegah keduanya bersujud. “Jangan bersujud kepadaku anak muda! Bersujudlah kepada Zat yang menciptakanmu, yaitu Allah!”

Akhirnya mereka berdua mengikuti orang tua tersebut, yang ternyata Ali Bin Abi Tholib, ke Baitullah dan memeluk agama Islam. 

Begitulah, Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh. Dalam perjalanannya Raden Kian Santang kembali ke pulau Jawa dan menyebarkan Islam di daerah Garut hingga meninggalnya. Sedangkan Ratu Rara Santang dipersunting oleh salah satu pangeran dari tanah Arab yang bernama Syarif Husen. Perkawinan antara Ratu Rara Santang dan Syarif Husen itu menghasilkan dua putra, yaitu Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah. Syarif Nurullah menjadi penguasa Makkah saat itu, sedangkan Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa untuk bertemu dengan ayah dan kakeknya.

Syarif Hidayatullah pamit untuk pergi ke Jawa dan ingin menyebarkan Islam ke sana. Dan pergilah Syarif Hidayatullah mengarungi samudera nan luas seperti halnya dulu ibu dan pamannya, Ratu Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Setibanya di tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidak kesulitan berjumpa dengan ayah dan kakeknya. Namun Syarif Hidayatullah prihatin karena hingga saat itu kakeknya masih belum masuk ke dalam agama Islam dan tetap bersikukuh dengan agamanya yaitu agama Sunda Wiwitan, meski berbagai upaya terus dilakukan dan dia hanya berdoa semoga kakeknya suatu saat diberi hidayah oleh Allah.

Melihat keuletan cucunya dalam menyebarkan Agama Islam, Prabu Siliwangi memberikan tempat kepada cucunya sebuah hutan yang kemudian bernama Cirebon. Dan di sinilah pusat penyebaran Islam dimulai. Murid - muridnya kian bertambah dan Islam sangat cepat menyebar.

Dalam penyebarannya Syarif Hidayatullah mengembara ke ujung barat pulau Jawa, ke daerah kulon, tempat pendekar-pendekar banyak tersebar. Di Pandeglang ada Pangeran Pulosari dan pangeran Aseupan, juga terdapat Raja Banten yang terkenal sangat sakti, bahkan Raden Kian Santang pun segan kepadanya, yaitu Prabu Pucuk Umun, Raja Banten yang memiliki ilmu Lurus Bumi yang sangat sempurna, juga pukulan braja musti yang bisa menghancurkan gunung, bahkan menggetarkan bumi.

Rupanya Syarif Hidayatullah telah mengetahui kesaktian Prabu Pucuk Umun yang menguasai daerah itu. Untuk langsung mengajak Prabu Pucuk Umun masuk ke dalam Agama Islam sangat tidak mungkin, sebab Syarif Hidayatullah tahu Prabu Pucuk Umun mudah sekali murka, dan hal ini sangat berbahaya.

Dengan bersusah payah Syarif Hidayatullah menemui Pangeran Pulosari dan juga Pangeran Aseupan, yang merupakan sepupu dari Prabu Pucuk Umun, dan rupanya Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan sangat tertarik dengan ajaran agama yang di bawa oleh cucu Raja Pajajaran itu, dan keduanya menganut agama Islam.

Masuknya kedua pangeran itu ke dalam agama yang dibawa Syarif Hidayatullah terdengar juga oleh Prabu Pucuk Umun, dan hal ini membuatnya murka. Tiba-tiba langit menjadi gelap, halilintar bergelegar bersahutan. Pangeran Aseupan dan Pangeran Pulosari memahami bahwa kakak sepupunya telah mengetahui masuknya mereka kepada agama yang dibawa Syarif Hidayatullah.

Dengan ilmu Lurus Buminya, Prabu Pucuk Umun memburu kedua pangeran yang menurutnya berkhianat itu, dan terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat. Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan berusaha mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan kakak sepupunya itu. Namun kesaktian luar biasa yang dimiliki Prabu Pucuk Umun membuat mereka lari ke arah selatan, dan di sanalah Syarif Hidayatullah menunggu mereka, dan dengan luka yang diderita mereka, akhirnya mereka pun berlindung di belakang Syarif Hidayatullah.

Prabu Pucuk Umun berteriak: “Hai cucu Siliwangi! Jangan kau ganggu tanahku dengan agamamu, jangan kau usik ketenangan rakyatku, enyahlah kau dari sini sebelum kau menyesal dan berdosa kepada kakekmu.”

Dengan tersenyum Syarif Hidayatullah menjawab: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan agama ini, karena agama ini bukan hanya untuk satu orang tapi untuk semua orang di dunia ini. Agama yang akan menyelamatkanmu.”

“Aku tidak menyukai basa-basimu anak lancang!” Teriak Prabu Pucuk Umun dengan lantang dan menggelegar, dan dari arah depan tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, tampak Syarif Hidayatullah mundur beberapa langkah, sedangkan Pangeran Pulosari dan Pangeran Aseupan memasang kuda-kuda untuk menggempur serangan Prabu Pucuk Umun.

Pertarungan itu begitu dahsyatnya hingga Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang pun bersemedi memberikan energi kepada Syarif Hidayatullah.

Prabu Pucuk Umun merasakan panas yang teramat sangat, dia mengetahui bahwa serangannya telah berbalik arah kepadanya, dan dengan menggunakan Ilmu Lurus Bumi, Prabu Pucuk Umun melarikan diri, namun dengan sigap Pangeran Aseupan dan Pangeran Pulosari mengejarnya. Dengan menggunakan ilmu yang sama terjadilah kejar-kejaran antara ketiganya. Dan akhirnya, di puncak Gunung Karang, Prabu Pucuk Umun tertangkap, atas restu Prabu Siliwangi, Prabu Pucuk Umun tidak dibunuh, tapi dimasukan ke kerangkeng di bawah kawah Gunung Krakatau. 

Prabu Pucuk Umun memiliki putri yang cantik dan juga memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan ayahnya, bahkan lebih dari 1000 Jin di bawah pengaruhnya, dan dia bernama Ratu Kawunganten, Putri Prabu Pucuk Umun yang kemudian diperistri oleh Syarif Hidayatullah. Ratu Kawunganten pun masuk Islam dan berganti nama menjadi Siti Badariah.

Tidak berapa lama, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten pun hamil, namun dia mengidam hal yang tidak wajar menurut pemikiran Syarif Hidayatullah, dia menginginkan daging manusia. Sontak, Syarif Hidayatullah pun kaget dan marah. “Isteriku, kau telah menganut agama Islam, keinginanmu itu terlarang.” Tandas Syarif Hidayatullah.

Namun isterinya tetap menginginkan daging manusia, dan Syarif Hidayatullah tak bisa berbuat banyak, beliau sangat marah dan meninggalkan isterinya dalam keadaan hamil dan kembali ke Cirebon.

Sepeninggal Syarif Hidayatullah, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten kembali ke agama leluhurnya yaitu Agama Sunda Wiwitan, agama yang sudah menjadi darah dan dagingnya.

Ratu Kawunganten atau Siti Badariah pun melahirkan seorang putra, dan diberi nama Pangeran Sabakingking, seorang Pangeran yang suatu saat mendirikan Kesultanan Banten

Pangeran Sabakingking beranjak dewasa, dan dia menjadi pemuda yang gagah,  pemuda yang keras, berani dan memiliki kesaktian yang luar biasa, ilmu-ilmu kesaktian ibunya mengalir ke tubuhnya, lebih dari 1000 Jin takluk atas perintahnya. Pangeran Sabakingking tak pernah merasa takut kepada siapapun, dan hampir semua pendekar di tanah Banten pernah berhadapan dengannya.

Suatu hari, Pangeran Sabakingking dipanggil ibunya, karena ia harus mengetahui siapa ayahnya, Sabakingking pun menghadap ibunya.Anakku, kau sudah dewasa dan sudah saatnya kau mengetahui siapa ayahmu. Ia berada di Cirebon dan telah menjadi Sultan di sana. Jika kau ke sana berikan tasbih ini kepadanya. Tasbih inilah yang dulu menjadi mahar perkawinan ibu dengan ayahmu.

Pergilah Pangeran Sabakingking menuju utara melewati hutan dan sungai, bukit bahkan gunung di tempat yang dituju Pangeran Sabankingking langsung menuju kesultanan Cirebon.

Di Kesultanan Cirebon itulah Pangeran Sabakingking melihat sebuah perbedaan yang mendasar. Terdengar suara adzan, serta alunan al Quran yang asing baginya, namun begitu menyejukkan hatinya. Tak berapa lama bertemulah Pangeran Sabakingking dengan seorang tua berjanggut panjang dengan mengenakan sorban. Orang tua itu tampak berwibawa dan memiliki sorot mata yang tajam. “Anak muda, ada keperluan apa kau ke sini? Tanya orang tua yang tak lain adalah Syarif Hidyayatullah itu.Aku ingin bertemu dengan Syarif Hidayatullah dan menyerahkan tasbih ini dari ibuku.” Tasbih itu pun diterima Syarif Hidayatullah sembari menerawangkan matanya. “Apakah kau anak Kawunganten?” “Benar! Aku Sabakingking Putra Kawunganten!”

“Akulah Syarif Hidayatullah yang kaucari anak muda. Namun aku tidak begitu saja mengakui kau sebagai anakku, sebab ada syarat yang harus kau laksanakan.” “Apa itu?” Buatlah sebuah bangunan masjid lengkap dengan menaranya di Banten. Tapi ingat, hanya 1 malam saja. Jika  sampai muncul matahari dan perkerjaanmu belum selesai, jangan harap aku akan mengakui kau sebagai anakku.” Ujar Syarif Hidayatullah. “Baiklah! aku akan melaksanakan perintahmu.” Jika sudah selesai, kumandangkan adzan yang dapat kau dengar dari menaranya. Ingat, hanya dalam waktu 1 malam saja!”

Setelah mendengar perintah ayahnya, Pangeran Sabakingking bergegas meninggalkan Cirebon untuk kembali ke Banten. Setelah sampai di Banten diceritakanlah semua yang dialami selama di Cirebon kepada ibunya. Ibunya maphum dan bersedia membantu anaknya. Dipanggilah lebih dari 1000 jin sakti untuk membantu Pangeran Sabakingking, dan tepat saat matahari terbenam mereka mulai membangun fondasi Masjid di pesisir Banten. Semua bekerja dengan berbagai ilmu, lebih dari 1000 Jin dikerahkan, dan mendekati matahari terbit menara pun baru selesai. Saat itulah Pangeran Sabakingking menaiki menara dan mengumandangkan Adzan seperti apa yang ia dengar di Kesultanan Cirebon, dan dengan tenaga dalam yang nyaris sempurna, terdengarlah alunan adzan yang menggema hingga ke seluruh alam.

Mendengar suara adzan yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, Syarif Hidayatullah pun keluar dari keraton Kesultanan Cirebon dan segera memperhatikan arah suara itu, yang tak salah lagi itu adalah suara anaknya. Dan dengan ilmu Sancang, ilmu berlari cepat yang sulit diterima akal manusia, yang dimilikinya, hanya dalam waktu beberapa menit saja tibalah Syarif Hidayatullah ke Mesjid yang dibangun anaknya tersebut dan melakukan sholat subuh di sana.

Pangeran Sabakingking mengetahui datangnya seseorang yang masuk ke Mesjidnya, dan dia bergegas menuju ke dalam. Alangkah kagetnya Pangeran Sabakingking saat ternyata dihadapannya adalah Syarif Hidayatullah, ayahnya. “Anakku. Kau telah membangun Mesjid ini dengan baik, Mesjid ini akan menjadi pusat penyebaran agama yang kubawa dan kau adalah pemimpinnya.  Mulai hari ini namamu adalah Hasanudin. Dan bangunlah Kesultanan di sini, syiarkan Islam kepada rakyatmu.

Hasanudin pun membangun keraton di sekitar masjid yang dibangunnya, yang tidak berapa lama berdirilah keraton lengkap dengan singgasananya, untuk membantu penyebaran Islam di Banten, dan Syarif Hidayatullah memerintahkan rakyatnya untuk ikut membangun Banten. Berduyun-duyunlah rakyat Cirebon menuju Banten. Mereka disambut rakyat Banten dengan antusias, seakan-akan perbauran antara rakyat Cirebon dan penduduk asli itu seperti halnya perpaduan antara Muhajirin dan Anshor jaman Nabi Muhammad. Budaya dan bahasa yang hampir sama dengan Cirebon merupakan bukti otentik yang terwariskan hingga saat ini.

Sementara itu, Padjajaran setelah mangkatnya prabu Siliwangi pecah menjadi jadi dua kerajaan yaitu Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Pakuan di berikan kepada cucunya Ratu Dewata yang merupakan putri Raden Surawisesa yang dikenal dengan Pangeran Walangsungsang, salah seorang putra Prabu Siliwangi.

Keinginan Kesultanan Cirebon untuk mengislamkan seluruh Kerajaan Padjajaran didukung penuh oleh Maulana Hasanudin, yang juga dibantu oleh putra mahkota yaitu Sultan Maulana Yusuf, yang merupakan hasil pernikahan Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana, Putri Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Selain Maulana Yusuf, Maulana Hasanudin memiliki putri bernama Ratu Pembayun yang menikah dengan Tubagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta dimana Tubagus Angke merupakan panglima perang Banten yang nantinya memiliki putra bernama Pangeran Jayakarta, yang kelak menjadi pajabat Kesultanan Banten di Jakarta, di mana nama Jakarta diambil dari namanya.