Senin, 10 November 2014

Sampah, Kota, Reklame



Banten Raya, 23 September 2014

Menarik apa yang disampaikan Capra dalam bukunya yang berjudul The Hidden Connection –bahwa ada dua perkembangan dalam dunia modern yang memiliki dampak tak terabaikan bagi masyarakat. Pertama, kebangkitan kapitalisme global –dan yang Kedua adalah lahirnya kesadaran ekologis, di mana yang pertama dan yang kedua tersebut saling bertentangan dan bertolak-belakang satu sama lain. Meski demikian, berkat gerakan ekologis tersebut, upaya untuk menciptakan industri yang ramah lingkungan pun akhirnya terus diupayakan dan masih diupayakan hingga saat ini. Dalam hal ini, contoh soal yang menyita pikiran manusia modern itu adalah sampah, terutama sekali bagi masyarakat perkotaan yang merupakan masyarakat yang paling banyak memproduksi sampah –yang bahkan seakan-akan antara kota dan sampah telah menjadi realitas yang menyatu sedemikian rupa.

Seperti telah sama-sama kita tahu, secara sosiologis dan antropologis, kota bukan hanya tempat hunian –tapi juga gugusan penanda dan arena di mana segala hal seakan tidak ada yang tidak mungkin. Di kota, sebagai lokus interaksi ekonomi, sosial, budaya, dan politik, misalnya, ada hiruk-pikuk yang membuat kota seakan tak pernah lelah atau berhenti bergerak barang sejenak. Di kota pula kita bisa melihat bentangan-bentangan reklame dan baligo-baligo politik yang mengumbar janji politik masa depan dan menebar keramahan hingga hilir-mudik orang-orang yang berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan. Begitu pula, di kota, yang bila kita melihatnya dari kacamata konsumeristik, misalnya, belanja seakan merupakan sebuah ritual wajib masyarakat mutakhir.

Di kota pula terjadi perputaran (distribusi) uang paling dominan dan tersedianya ragam pekerjaan yang menjanjikan kesejahteraan sekaligus sampah (residu) dihasilkan dalam skala besar setiap harinya. Di kota ada keindahan dan kemewahan di sentra-sentra tertentu –namun ada juga kekumuhan di sudut-sudut lainnya. Dalam hal ini, sebagai sekedar contoh, bila kita melihatnya dari sudut pandang atau analisis marxisme, kota merupakan tempat di mana potret perbedaan kelas sosial ditampilkan dengan nyata dan jelas. Di lokasi tertentu, contohnya, hadir dengan anggunnya kompleks hunian mewah, sementara di ujung lokasi lainnya ada para gelandangan alias masyarakat marjinal dan kawasan yang aromanya tak sedap bagi indra penciuman kita dan membuat tak nyaman pandangan mata kita.

Sementara itu, secara sosiologis dan antropologis, misalnya, kota merupakan contoh yang paling riil bila kita ingin melihat perubahan lingkungan sekaligus kebiasaan manusia yang paling nyata dalam skalanya yang massif dan cepat.

Kota dan Pasar

Tak diragukan lagi, kota dan pasar (kapitalisme) merupakan kesatuan wujud yang terbukti tak dapat dipisahkan. Para penulis –yang juga disebut sebagai para filsuf dan pemerhati masyarakat modern dan postmodern, misalnya, menyatakan bahwa hal yang paling tak teringkari dalam mendesakkan perubahan yang cepat dan massif situasi kemanusiaan masyarakat perkotaan kita saat ini adalah kapitalisme dan pasar-pasar yang diciptakannya secara terus-menerus.

Bagaimana tidak, di jaman ini, iklan dan pasar lah yang paling cepat menggerakkan tindakan dan tingkah laku manusia –semisal dalam hal ritual untuk mendatangi pusat-pusat perbelanjaan, yang bahkan mengalahkan seruan-seruan yang dikumandangkan narasi-narasi agung keagamaan. Seakan-akan pasar lah agama baru kita saat ini dan pusat-pusat perbelanjaan adalah kuil-kuil atau mesjid-mesjid di mana kita melaksanakan ritual belanja tanpa rasa bosan. Iklan, misalnya, seakan-akan merupakan imperatif alias perintah bujuk-rayu yang terlampau menggoda untuk diabaikan begitu saja. Namun, bersamaan dengan itu pula, produksi sampah yang semakin banyak pun menjadi kenyataan pula, sebagai residu modern yang tak teringkari.

Meningginya sampah di perkotaan memang sudah merupakan resiko tak terhindarkan bagi masyarakat perkotaan –atau lebih tepatnya dalam masyarakat pasar global saat ini. Dengan nada berseloroh, namun serius, para filsuf dan pemerhati kebudayaan, misalnya, menyatakan bahwa bunyi adagium alias pameo masyarakat konsumeris mutakhir perkotaan adalah: “Aku membeli, maka aku ada”. Jean Baudrillard, contohnya, menyebut masyarakat konsumeris perkotaan adalah masyarakat yang senantiasa digerakkan oleh perintah-perintah reklame dan iklan yang menyerbu kehidupan mereka yang hadir di tiap sudut agar senantiasa membeli komoditas yang diproduksi kapitalisme. Menyerbu dari segala sisi dalam keseharian, mulai dari bentangan-bentangan reklame di setiap sudut kota dan jalan, hingga tayangan-tayangan media elektronik dan publikasi media cetak harian atau pun berkala.

Lihat saja hampir di tiap sudut dan perempatan, di trotoar atau sepanjang jalan, tak ada yang sepi atau lengang dari kehadiran baligo dan papan-papan iklan yang menyapa atau menyeru kita untuk membeli komoditas terbaru. Papan-papan iklan dan baligo-baligo reklame itu pun senantiasa berganti dan berubah sesuai dengan pergantian dan kehadiran mode atau trend baru komoditas yang diproduksi dan lalu di-iklan-kan sebelum dijual di pasar-pasar yang diciptakan kapitalisme.

Kota dan Residu

Hasrat untuk membeli dan mengkonsumsi komoditas memang merupakan sesuatu yang sifatnya manusiawi, terlebih dalam dunia kapitalisme mutakhir saat ini. Namun jangan lupa, ada banyak komoditas yang menyisakan dan meninggalkan residu alias sampah yang secara sosial dan ekologis mengancam kehidupan dan keseharian masyarakat itu sendiri. Terlebih hampir semua komoditas kapitalisme masyarakat perkotaan menyisakan atau meninggalkan residu (sampah) yang tidak mudah hancur dan berkonfrontasi dengan hukum ekologi dan ekosistem alam.

Sebagai contoh, berbeda dengan residu alam yang dapat menjelma ke unsur alam kembali semisal daun yang dapat menjelma pupuk atau tanah subur, komoditas kapitalisme semisal kemasan-kemasan yang terbuat dari plastik, tidak bisa lebur dan tetap berupa plastik. Hingga tak salah jika para filsuf postmodern menyebut masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang senantiasa memproduksi residu (sampah) ketika mereka terus-menerus memproduksi komoditas dan membeli serta mengkonsumsi komoditas.

Jika demikian, maraknya kehadiran mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya yang serupa harus diimbangi dengan penanganan residu (sampah) yang serius pula, baik oleh pemilik pasar-pasar dan pusat-pusat perbelanjaan tersebut atau oleh pemerintah yang bekerjasama dan mendapatkan keuntungan dari hadir dan maraknya pasar-pasar kapitalisme dan pusat-pusat perbelanjaan –semisal mall dan Carrefour itu. Karena tentu saja kita tak ingin mewariskan sampah dan kerusakan ekologis bagi anak cucu kita di masa depan.

Sementara itu, dari sisi industrial, seperti diungkapkan banyak pemerhati dan praktisi perencana kota dan perencana kawasan ekonomi, terutama para pakar eco-design, pada tingkat lanjut keberhasilan pembangunan sebuah kota atau pun sebuah kawasan tak semata diukur dengan maraknya kehadiran gedung-gedung atau industri yang mendongkrak pendapatan ekonomi sebuah kawasan atau kota, tetapi sejauh mana pembangunan ekonomi dan perkotaan dilakukan dengan mencipta keharmonisan dengan lingkungan kawasan tersebut secara ekonomis dan ekologis pada saat bersamaan.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar