Kamis, 26 Maret 2015

Resensi dan Sinopsis Film The Godfather

(Al-Pacino Sebagai Michael Corleone)

Film The Godfather (Trilogi) bercerita tentang keluarga Don Vito Corleone, pria pemurah yang tak kenal ampun dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Vito Corleone (Marlon Brando) memiliki empat orang anak, yaitu Santino alias Sonny, Fredo, Michael (Al Pacino), dan Connie Corleone. Keluarga Corleone adalah salah satu keluarga mafia Italia yang tinggal di Amerika. Dalam film ini diceritakan Godfather adalah pria yang “logis” dan adil. Ia memimpin mafia yang menguasai berbagai kegiatan bisnis ilegal, perjudian, taruhan pacuan kuda, dan serikat buruh. Ia memberikan persahabatannya tanpa ada yang berani menolak, serta menentukan mana yang benar dan salah. Menurutnya, pembunuhan halal dilakukan demi keadlian.

Keluarga mafia sedang mengalami perang dingin yang menyebabkan terjadi perang antar geng. Sampai suatu ketika, perang dingin ini membuat Vito Corleone tertembak. Kondisi Vito Corleone yang sedang sakit membuat Sonny sebagai anak pertama mengambil alih posisi kepala keluarga. Namun, Sonny yang tempramental tidak mampu memimpin dengan baik. Michael yang oleh anggota keluarga yang lain dianggap sebagai yang paling pendiam, akhirnya berinisiatif membunuh salah satu kepala keluarga mafia lain yang menyebabkan dia akhirnya diasingkan ke Italia selama setahun. Mulai lah karakter Michael terbentuk. Di sana ia sempat menikah dengan perempuan setempat. Saat pengasingannya, Sonny terbunuh.

Setelah setahun berlalu Vito mengumumkan kalau Michael lah kepala keluarga selanjutnya. Hingga akhirnya, Vito pun meninggal. Setelah kematian ayahnya Michael lalu membalas dendam dengan membunuh seluruh kepala keluarga mafia yang dulu bertikai dengan ayahnya dan membunuh pembunuh kakaknya.

(Marlon Brando Sebagai Vito Corleone) 


The Godfather I

The Godfather Part I dirilis pada tahun 1972 berdasarkan novel Mario Puzzo. Film ini mengupas sisi kehidupan dari keluarga mafia dari daerah Corleone, sebuah lokasi di Sisilia, Italia. Digarap dengan sangat rapi, alur cerita yang padat, akting dari bintang-bintang hebat yang sangat berkarakter membuat film The Godfather menjadi box office sepanjang masa. Terbukti di situs database film dunia IMDB, film The Godfather yang mempunyai 3 sequel ini menempati urutan ke-2 sebagai top rated movie di bawah film The Shawshank Redemption.

Film The Godfather Part I yang menjadi potret keluarga mafia di New York diperankan dengan sangat luar biasa oleh Marlon Brando dan Al-Pacino. Marlon Brando memerankan Don Vito dan Al-Pacino berperan sebagai anaknya bernama Michael. Film ini dirilis dan sukses di pasaran, yang kemudian muncul-lah film-film bergenre sejenis di Hollywood yang mengetengahkan kehidupan mafioso. Kemudian film-film Hongkong pun juga menjiplak jalan cerita film ini. Sebut saja film The Dragon Family yang berisi aktor-aktor besar seperti Andy Lau.

Sekarang kita kembali ke sinopsis The Godfather Part I. Film ini diawali dengan serangkaian permintaan tolong dari kolega-kolega sang big boss mafia, Don Vito, yang memohon bantuan darinya untuk membereskan masalah-masalah di pekerjaan maupun urusan pribadi mereka di hari pernikahan putrinya, yaitu Connie Corleone dengan Carlo Rizzi (yang kelak dibunuh oleh Michael Corleone karena terbukti terlibat pembunuhan Sonny Corleone di pintu tol yang sangat mengenaskan itu). Mulai dari pengusaha (Bonasera) yang anak gadisnya dipukul kekasihnya karena menolak disenggamai hingga akibat “kekerasan” itu si gadis menjadi cacat, sampai aktor yang disingkirkan dari perannya (Johnny Fontane) meminta bantuan Don Vito Corleone. Sang Godfather berhasil menumbuhkan loyalitas kepada kolega, teman dan anak buahnya, yang ternyata bukan dengan kekerasan, tapi justru dengan persahabatan dan kekeluargaan. Tetapi ketika menghadapi musuh, dia tidak segan-segan melakukan aksi terornya yang tanpa ampun.

Dalam film ini, perseteruan mulai terjadi ketika Don Vito Corleone ditawari kerjasama oleh kepala gangster lainnya (Virgil Solozzo yang dijuluki si Tukri yang juga otak atas penembakan Don Vito saat membeli buah-buahan karena Don Vito menolak tawaran kerjasama yang diajukannya) untuk menggeluti bisnis narkoba. Si kepala gangster bernama Sollozzo ini menawarkan keuntungan yang sangat menggiurkan kepada Don Vito oleh karena kedekatannya dengan politikus dan polisi. Tetapi Don Vito punya prinsip tidak ingin terjebak di dalam bisnis narkoba, baginya bisnis narkoba bisa merusak negara dan pada akhirnya keluarganyalah yang akan menemui kesulitan. Para loyalis Don Vito seperti Tom Hagen (berdarah Jerman-Irlandia, pengacara), Clemenza (algojo sang big boss) dan anaknya yang bernama Sonny (Santiano Corleone) awalnya sangat tertarik akhirnya mengurungkan niatnya.

Melihat para loyalis yang tertarik itu, tetapi tidak dikabulkan oleh Don Vito, si Sollozzo kemudian melakukan praktek adu domba dan penculikan serta rencana pembunuhan terhadap Don Vito (Marlon Brando). Salah satu loyalis (Luca Brasi) dikirim ke Sollozzo untuk mengetahui konspirasi yang dirancang terhadap dirinya, tetapi naas, si loyalis dibunuh dengan keji. Kemudian pengacara keluarga yang setia Tom Hagen pun diculik, dan Don Vito sendiri ditembak ketika sedang berbelanja buah-buahan. Para pengawalnya ditembak mati, dan si big boss sendiri ditembak berkali-kali, dan dirawat di Rumah Sakit. Tapi nyawanya masih tertolong. 


(Reber De Niro sebagai Vito Corleone Muda)

Keluarga Don Vito yang sempat tercerai berai sementara dan diteror oleh peristiwa ini bersyukur mempunyai loyalis-loyalis yang siap mati. Ketika tidak ada kepemimpinan di keluarga, muncul kisah heroik dari Michael Corleone yang justru anak paling bungsu. Diawali dengan keberaniannya seorang diri menjenguk ayahnya ke rumah sakit, si Michael (yang sedang berpacaran dengan Kay Adams) yang diperankan oleh Al Pacino berhasil menyelamatkan nyawa ayahnya dari tangan musuh yang berkomplot dengan kepala polisi (McCluskey) yang korup. Seandainya Michael tidak datang saat itu, rumah sakit yang tampaknya sengaja dikosongkan penjagaannya, mungkin nyawa ayahnya sudah dibunuh oleh musuh.

Kemudian setelah itu, Michael yang tidak pernah bergelut di dunia hitam ini mengajukan diri menjadi negosiator mewakili ayahnya bertemu dengan musuh ayahnya yang tidak berhasil membunuh, yaitu Virgil Sollozzo yang didampingi kepala polisi korup, yaitu McCluskey. Dibalik pertemuan yang disepakati dilakukan di restoran, ternyata keluarga mafia Corleone telah mempersiapkan balas dendam. Pistol telah disiapkan di toilet oleh loyalis untuk membunuh Sollozzo dan kepala polisi. Alhasil, restoran tempat pertemuan menjadi tempat pembantaian berdarah dingin oleh Michael Corleone.

Michael Corleone yang menjadi pelaku pembunuhan akhirnya diselundupkan pulang ke sebuah desa kecil di Sisilia, Italia. Di sana diceritakan kisah romantis kehidupannya bersama seorang gadis cantik kembang desa (Apollonia) yang akhirnya dinikahinya. Tetapi perjalanan cinta di Italia tersebut tidak berjalan lama, ternyata musuh keluarga Corleone sudah menyuap salah satu bodyguardnya (Fabrizio) yang menempatkan bom di mobil yang dikendarai oleh istrinya yang cantik tersebut, saat istrinya hendak belajar menyetir dan bom itu meledak saat Apollonia memutar kunci kemudi mobil.

Begitulah, istri Michael, Apollonia yang cantik, itu pun mati, dan terpaksa Michael kembali dipulangkan ke New York. Kebetulan peperangan terbuka sudah terjadi antara keluarga Vito Corleone dan kepala mafia lainnya, berujung pada matinya Sonny Corleone, anak tertua Don Vito. Sonny dibunuh karena hendak membalaskan dendam kepada adik iparnya (Carlo Rizzi) yang kerap melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga kepada adik mereka Connie yang diperankan oleh Thalia Shire yang juga berperan sebagai istri Silvester Stallone (The Rocky).

Ternyata para pembunuh sudah bersiap di pintu gerbang perumahan yang menuju rumah Connie. Di gerbang itulah Sonny dihabisi dengan berondongan puluhan kali peluru. Dari peristiwa ke peristiwa perseteruan antar gang, Don Vito akhirnya memutuskan untuk menginisiasi gencatan senjata. Rapat para kepala mafia pun diadakan. Don Vito yang tidak mau lagi kehilangan anggota keluarga lain membuka pintu damai dengan semua keluarga mafia lainnya. Meski dia tahu, salah satu peserta yang hadir saat itu, yaitu Emilio Barzini, adalah otak pembunuhan Sonny Corleone dengan meperalat Carlo Rizzi (menantunya Don Vito sendiri).

Dengan lapang dada, Don Vito bertekad tidak akan balas dendam atas kematian Sonny, anak sulungnya. Dan dia pun bersedia untuk kerjasama dengan keluarga mafia lainnya, bahkan dia tidak sanggup menolak mengelola bisnis narkoba dengan persyaratan tidak diedarkan di sekolah dan diedarkan kepada kaum negro di seputaran kota New York.

Setelah itu, Don Vito yang sudah tidak sehat dan merasa sudah tua menyerahkan tampuk pimpinannya kepada anak tersayangnya Michael Corleone. Setelah ayahnya meninggal dunia, Michael yang sudah diperingatkan oleh ayahnya akan kelicikan salah satu kepala mafia, yaitu Emilio Barzini, yang juga merupakan mastermind dari semua peristiwa rencana pembunuhan dirinya dan pembunuhan Sonny, mengambil langkah cepat. Menunggu waktu yang tepat dengan menyusun alibi, pada hari di mana anak Connie dibaptis dan Michael menjadi ayah baptis (tradisi gereja Katolik), anak-anak buah keluarga Corleone membunuh satu per satu musuh keluarga Corleone atas perintah Michael Corleone (Al-Pacino).

Emilio Barzini pun menjadi salah satu korban. Selain itu, Michael Corleone juga menghabisi pengusaha kasino di Las Vegas yang menghalangi dirinya untuk membeli saham mayoritas bisnisnya. FYI, Michael memang ingin melebarkan bisnis ke Las Vegas karena kota New York sudah tidak kondusif. Perang terhadap mafia memang mulai dicanangkan oleh pemerintah federal. Selain balas dendam kepada musuh keluarga, Michael pun membersihkan anggota keluarga dan loyalis yang dianggap dan diyakininya menjadi musuh dalam selimut. Adik iparnya, yaitu Carlo Rizzi, yang sering ringan tangan terhadap adiknya terbukti dan mengaku (atas desakan Michael) terlibat pembunuhan Sonny. Melalui interogasi penuh tipu muslihat yang dilakukan Michael itu, Carlo Rizzi yang dijanjikan akan diampuni jika mengakui dosanya, akhirnya dieksekusi oleh Clemenza di dalam mobil dengan cara dicekik dari belakang dengan menggunakan kawat.

Di akhir film The Godfather I ini, diceritakan Michael Corleone menjadi sangat kuat dan ditakuti oleh kawan maupun lawan. Tangan besinya ternyata sangat ampuh untuk membentuk wibawanya menjadi bos mafia. Dan akhirnya, untuk menyudahi tulisan ini, sebagai sebuah film action dan drama, film The Godfather ini mendapatkan 3 piala Oscar dan beberapa penghargaan bergengsi lainnya. Di IMDB, anda bisa cek online posisi The Godfather berada di posisi kedua dengan nilai rating 9,2. Angka yang sangat fantastis untuk film lawas. Film lawas, yang untuk sejumlah orang, tetap memikat untuk kembali disimak. 

Jumat, 20 Maret 2015

Albert Einstein 1879-1955




Oleh Michael H. Hart

Albert  Einstein, tak salah lagi, seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan tak ada tandingannya sepanjang jaman. Termasuk karena teori "relativitas"-nya. Sebenarnya teori ini merupakan dua teori yang bertautan satu sama lain: teori khusus "relativitas" yang dirumuskannya tahun 1905 dan teori umum "relativitas" yang dirumuskannya tahun 1915, lebih terkenal dengan hukum gaya berat Einstein. Kedua teori ini teramat rumitnya, karena itu bukan tempatnya di sini menjelaskan sebagaimana adanya, namun uraian ala kadarnya tentang soal relativitas khusus ada disinggung sedikit. Pepatah bilang, "semuanya adalah relatif." Teori Einstein bukanlah sekedar mengunyah-ngunyah ungkapan yang nyaris menjemukan itu. Yang dimaksudkannya adalah suatu pendapat matematik yang pasti tentang kaidah-kaidah ilmiah yang sebetulnya relatif. Hakikatnya, penilaian subyektif terhadap waktu dan ruang tergantung pada si penganut. Sebelum Einstein, umumnya orang senantiasa percaya bahwa dibalik kesan subyektif terdapat ruang dan waktu yang absolut yang bisa diukur dengan peralatan secara obyektif. Teori Einstein menjungkir-balikkan secara revolusioner pemikiran ilmiah dengan cara menolak adanya sang waktu yang absolut. Contoh berikut ini dapat menggambarkan betapa radikal teorinya, betapa tegasnya dia merombak pendapat kita tentang ruang dan waktu.

Bayangkanlah sebuah pesawat ruang angkasa --sebutlah namanya X--meluncur laju menjauhi bumi dengan kecepatan 100.000 kilometer per detik. Kecepatan diukur oleh pengamat, baik yang berada di pesawat ruang angkasa X maupun di bumi, dan pengukuran mereka bersamaan. Sementara itu, sebuah pesawat ruang angkasa lain yang bernama Y meluncur laju pada arah yang sama dengan pesawat ruang angkasa X tetapi dengan kecepatan yang berlebih. Apabila pengamat di bumi mengukur kecepatan pesawat ruang angkasa Y, mereka mengetahui bahwa pesawat itu melaju menjauhi bumi pada kecepatan 180.000 kilometer per detik. Pengamat di atas pesawat ruang angkasa Y akan berkesimpulan serupa.

Nah, karena kedua pesawat ruang angkasa itu melaju pada arah yang bersamaan, akan tampak bahwa beda kecepatan antara kedua pesawat itu 80.000 kilometer per detik dan pesawat yang lebih cepat tak bisa tidak akan bergerak menjauhi pesawat yang lebih lambat pada kadar kecepatan ini.

Tetapi, teori Einstein memperhitungkan, jika pengamatan dilakukan dari kedua pesawat ruang angkasa, mereka akan bersepakat bahwa jarak antara keduanya bertambah pada tingkat ukuran 100.000 kilometer per detik, bukannya 80.000 kilometer per detik.

Kelihatannya hal ini mustahil. Kelihatannya seperti olok-olok. Pembaca menduga seakan ada bau-bau tipu. Menduga jangan-jangan ada perincian yang disembunyikan. Padahal, sama sekali tidak! Hasil ini tidak ada hubungannya dengan tenaga yang digunakan untuk mendorong mereka.

Tak ada keliru pengamatan. Walhasil, tak ada apa pun yang kurang, alat rusak atau kabel melintir. Mulus, polos, tak mengecoh. Menurut Einstein, hasil kesimpulan yang tersebut di atas tadi semata-mata sebagai akibat dari sifat dasar alamiah ruang dan waktu yang sudah bisa diperhitungkan lewat rumus ihwal komposisi kecepatannya.

Tampaknya merupakan kedahsyatan teoritis, dan memang bertahun-tahun orang menjauhi "teori relativitas" bagaikan menjauhi hipotesa "menara gading," seolah-olah teori itu tak punya arti penting samasekali. Tak seorang pun --tentu saja tidak-- membuat kekeliruan hingga tahun 1945 tatkala bom atom menyapu Hiroshima dan Nagasaki. Salah satu kesimpulan "teori relativitas" Einstein adalah benda dan energi berada dalam arti yang berimbangan dan hubungan antara keduanya dirumuskan sebagai E = mc2. E menunjukkan energi dan m menunjukkan massa benda, sedangkan c merupakan kecepatan cahaya. Nah, karena c adalah sama dengan 180.000 kilometer per detik (artinya merupakan jumlah angka amat besar) dengan sendirinya c2 (yang artinya c x c) karuan saja tak tepermanai besar jumlahnya. Dengan demikian berarti, meskipun pengubahan sebagian kecil dari benda mampu mengeluarkan jumlah energi luar biasa besarnya.

Orang karuan saja tak bakal bisa membikin sebuah bom atom atau pusat tenaga nuklir semata-mata berpegang pada rumus E = mc2. Haruslah dikaji pula dalam-dalam, banyak orang memainkan peranan penting dalam proses pembangkitan energi atom. Namun, bagaimanapun juga, sumbangan pikiran Einstein tidaklah meragukan lagi. Tak ada yang cekcok dalam soal ini. Lebih jauh dari itu, tak lain dari Einstein orangnya yang menulis surat kepada Presiden Roosevelt di tahun 1939, menunjukkan terbukanya kemungkinan membikin senjata atom dan sekaligus menekankan arti penting bagi Amerika Serikat selekas-lekasnya membikin senjata itu sebelum didahului Jerman. Gagasan itulah kemudian mewujudkan "Proyek Manhattan" yang akhirnya bisa menciptakan bom atom pertama.

"Teori relativitas khusus" mengundang beda pendapat yang hangat, tetapi dalam satu segi semua sepakat, teori itu merupakan pemikiran yang paling meragukan yang pernah dirumuskan manusia. Tetapi, tiap orang ternyata terkecoh karena "teori relativitas umum" Einstein merupakan titik tolak pikiran lain bahwa pengaruh gaya berat bukanlah lantaran kekuatan fisik dalam makna yang biasa, melainkan akibat dari bentuk lengkung angkasa luar sendiri, suatu pendapat yang amat mencengangkan!

Bagaimana bisa orang mengukur bentuk lengkung ruang angkasa?

Einstein bukan sekedar mengembangkan secara teoritis, melainkan dituangkannya ke dalam rumusan matematik yang jernih dan jelas sehingga orang bisa melakukan ramalan yang nyata dan hipotesanya bisa diuji. Pengamatan berikutnya --dan ini yang paling cemerlang karena dilakukan tatkala gerhana matahari total-- telah berulang kali diyakini kebenarannya karena bersamaan benar dengan apa yang dikatakan Einstein.

Teori umum tentang relativitas berdiri terpisah dalam beberapa hal dengan semua hukum-hukum ilmiah. Pertama, Einstein merumuskan teorinya tidak atas dasar percobaan-percobaan, melainkan atas dasar-dasar kehalusan simetri dan matematik. Pendeknya berpijak diatas dasar rasional seperti lazimnya kebiasaan para filosof Yunani dan para cendekiawan abad tengah perbuat. Ini berarti, Einstein berbeda cara dengan metode ilmuwan modern yang berpandangan empiris. Tetapi, bedanya ada juga: pemikir Yunani dalam hal pendambaan keindahan dan simetri tak pernah berhasil mengelola dan menemukan teori yang mekanik yang mampu bertahan menghadapi percobaan pengujian yang rumit-rumit, sedangkan Einstein dapat bertahan dengan sukses terhadap tiap-tiap percobaan. Salah satu hasil dari pendekatan Einstein adalah bahwa teori umum relativitasnya dianggap suatu yang amat indah, bergaya, teguh dan secara intelektual memuaskan semua teori ilmiah.

Teori relativitas umum juga dalam beberapa hal berdiri secara terpisah. Kebanyakan hukum-hukum ilmiah lain hanya kira-kira saja berlaku. Ada yang kena dalam banyak hal, tetapi tidak semua. Sedangkan mengenai teori umum relativitas, sepanjang pengetahuan, sepenuhnya diterima tanpa kecuali. Tak ada keadaan yang tak diketahui, baik dalam kaitan teoritis atau percobaan praktek yang menunjukkan bahwa ramalan-ramalan teori umum relativitas hanya berlaku secara kira-kira. Bisa saja percobaan-percobaan di masa depan merusak nama baik hasil sempurna yang pernah dicapai oleh sesuatu teori, tetapi sepanjang menyangkut teori umum relativitas, jelas tetap merupakan pendekatan yang paling diandalkan bagi setiap ilmuwan dalam usahanya menuju kebenaran terakhir.

Meskipun Einstein teramat terkenal dengan "teori relativitas"-nya, keberhasilan karyanya di bidang ilmiah lain juga membuatnya tersohor selaku ilmuwan dalam setiap segi. Nyatanya, Einstein peroleh Hadiah Nobel untuk bidang fisika terutama lantaran buah pikiran tertulisnya membeberkan efek-efek foto elektrik, sebuah fenomena penting yang sebelumnya merupakan teka-teki para cerdik pandai. Dalam karya tulisan ilmiah itu Einstein membuktikan eksistensi photon, atau partikel cahaya.

Anggapan lama lewat percobaan yang tersendat-sendat mengatakan bahwa cahaya itu terdiri dari gelombang elektro magnit, dan gelombang serta partikel merupakan konsep yang berlawanan. Sedangkan hipotesa Einstein menunjukkan suatu perbedaan yang radikal dan amat bertentangan dengan teori-teori klasik. Bukan saja hukum foto elektriknya terbukti punya arti penting dalam penggunaan, tetapi hipotesanya tentang photon punya pengaruh besar dalam perkembangan teori kuantum (hipotesa bahwa dalam radiasi, energi elektron dikeluarkan tidak kontinyu melainkan dalam jumlah tertentu) yang saat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari teori itu.

Dalam hal menilai arti penting Einstein, suatu perbandingan dengan Isaac Newton merupakan hal menyolok. Teori Newton pada dasarnya mudah dipahami, dan kegeniusannya sudah tampak pada awal mula perkembangan. Sedangkan "teori relativitas" Einstein teramat sulit dipahami biarpun lewat penjelasan yang cermat dan hati-hati. Lebih-Lebih rumit lagi jika mengikhtisarkan aslinya! Tatkala beberapa gagasan Newton mengalami benturan dengan gagasan ilmiah pada jamannya, teorinya tak pernah tampak luntur atau goyah dengan pendiriannya. Sebaliknya, "teori relativitas" penuh dengan hal yang saling bertentangan. Ini merupakan bagian dari kegeniusan Einstein bahwa pada saat permulaan, ketika gagasannya masih merupakan hipotesa yang belum diuji yang dikemukakannya selaku orang muda belasan tahun yang samasekali tidak dikenal, dia tak pernah membiarkan kontradiksi yang nyata-nyata ada ini dan mencampakkan teorinya. Sebaliknya malahan dia dengan sangat cermat dan hati-hati merenungkan terus hingga ia mampu menunjukkan bahwa kontradiksi ini hanya pada lahirnya saja sedangkan sebenarnya tiap masalah selalu tersedia untuk memecahkan kontradiksi itu dengan cara yang halus namun cerdik dan tegas.

Kini, kita anggap teori Einstein itu pada dasarnya lebih "correct" ketimbang teori Newton. Jika begitu halnya kenapa Einstein ditempatkan Lebih bawah dalam daftar tingkat urutan buku ini?

Alasannya tersedia. Pertama, teori-teori Newtonlah yang merupakan peletak dasar dan batu pertama ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Tanpa karya Newton, kita tidak akan menyaksikan teknologi modern sekarang ini. Bukannya Einstein.

Ada lagi faktor yang menyebabkan mengapa kedudukan Einstein dalam urutan seperti yang pembaca saksikan. Dalam banyak hal, perkembangan suatu ide melibatkan sumbangan pikiran banyak orang. Ini jelas sekali misalnya dalam ihwal sejarah sosialisme, atau dalam pengembangan teori listrik dan magnit. Meskipun Einstein tidak 100% merumuskan "teori relativitas" dengan otaknya sendiri, yang sudah pasti sebagian terbesar memang sahamnya. Adalah adil mengatakan bahwa ditilik dari perbandingan arti penting ide-ide lain, teori-teori relativitas terutama berasal dari kreasi seorang, si genius dan si jempolan, Einstein

Einstein lahir tahun 1879, di kota Ulm, Jerman. Dia memasuki perguruan tinggi di Swiss dan menjadi warganegara Swiss tahun 1900. Di tahun 1905 dia mendapat gelar Doktor dari Universitas Zurich tetapi (anehnya) tak bisa meraih posisi akademis pada saat itu. Di tahun itu pula dia menerbitkan kertas kerja perihal "relatif khusus," perihal efek foto elektrik, dan tentang teori gerak Brown. Hanya dalam beberapa tahun saja kertas-kertas kerja ini, terutama yang menyangkut relativitas, telah mengangkatnya menjadi salah seorang ilmuwan paling cemerlang dan paling orisinal di dunia. Teori-teorinya sangat kontroversial. Tak ada ilmuwan dunia kecuali Darwin yang pernah menciptakan situasi kontroversial seperti Einstein. Akibat itu, di tahun 1913 dia diangkat sebagai mahaguru di Universitas Berlin dan pada saat berbarengan menjadi Direktur Lembaga Fisika "Kaisar Wilhelm" serta menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Prusia. Jabatan-jabatan ini tidak mengikatnya untuk sebebas-bebasnya mengabdikan sepenuh waktu melakukan penyelidikan-penyelidikan, kapan saja dia suka.

Pemerintah Jerman tidak menyesal menyiram Einstein dengan sebarisan panjang kedudukan yang istimewa itu karena persis dua tahun kemudian Einstein berhasil merumuskan "teori umum relativitas," dan tahun 1921 dia memperoleh Hadiah Nobel. Sepanjang paruhan terakhir dari kehidupannya, Einstein menjadi buah bibir dunia, dan hampir dapat dipastikan dialah ilmuwan yang masyhur yang pernah lahir ke dunia.

Karena Einstein seorang Yahudi, kehidupannya di Jerman menjadi tak aman begitu Hitler naik berkuasa. Di tahun 1933 dia hijrah ke Princeton, New Jersey, Amerika Serikat, bekerja di Lembaga Studi Lanjutan Tinggi dan di tahun 1940 menjadi warga negara Amerika Serikat. Perkawinan pertama Einstein berujung dengan perceraian, hanya perkawinannya yang kedua tampaknya baru bahagia. Punya dua anak, keduanya laki-laki. Einstein meninggal dunia tahun 1955 di Princeton.

Einstein senantiasa tertarik pada ihwal kemanusiaan dunia di sekitarnya dan sering mengemukakan pandangan-pandangan politiknya. Dia merupakan pelawan teguh terhadap sistem politik tirani, seorang pendukung gigih gerakan Pacifis, dan seorang penyokong teguh Zionisme. Dalam hal berpakaian dan kebiasaan-kebiasaan sosial dia tampak seorang yang individualistis. Suka humor, sederhana dan ada bakat gesek biola. Tulisan pada nisan makam Newton yang berbunyi: "Bersukarialah para arwah karena hiasan yang ditinggalkannya bagi kemanusiaan!" sebetulnya lebih kena untuk Einstein.

Sumber: Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Urutan 10), Michael H. Hart, 1978, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982, PT. Dunia Pustaka Jaya.

Kamis, 19 Maret 2015

Etalase Buku Sastra



Sajak-sajak yang termaktub dalam buku antologi puisi karya penyair Sulaiman Djaya ini menyuguhkan 69 sajak yang menampilkan dan menyuarakan ragam tema. Tampak juga sajak-sajak yang termuat dalam Mazmur Musim Sunyi ini tampil dalam aneka gaya dan bentuk puitika: mulai dari kwatrin hingga puisi prosaik, dari bentuk ode hingga balada, dan tak lupa juga sajak-sajak yang berbentuk atau bergaya meditatif kedalam, hening, dan berusaha menyelami realitas yang ingin “direnungi” dan ingin “dibaginya” dengan para pembaca, semisal sajak-sajak yang bernada sufistik dan sajak-sajak permenungan personal penyairnya.

Dan tak lupa juga, buku Mazmur Musim Sunyi ini pun memuat sejumlah sajak cinta romantis dan sajak cinta renyah yang terkesan rileks dan bercanda, selain tentu saja ada juga sajak-sajak yang bercerita tentang kenangan penyairnya, seperti sajak-sajak yang bertema dan berjudul tentang "Ibu". Untuk yang berminat membeli, bisa pesan ke: 0815-4614-7625. Harga Rp. 50.000 (Sudah termasuk ongkos kirim). 

Pendapat Para Penulis tentang Buku Mazmur Musim Sunyi

Keberhasilan Sulaiman Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap puisi-puisinya. Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami. Ini salah satu gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan pecinta sepeda).

Puisi-puisi penyair Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini menyiratkan keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya puitika kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M. Taufan, penyair tinggal di Bekasi).

Di dalam bis, di Smoking Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul "Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu, seperti berikut: Saya tahu seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. "Aku" ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial untuk dituliskan (Lutfi Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).

Simbol-simbol waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M. Rois Rinaldi, penulis tinggal di Cilegon).

Akan banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi Sulaiman Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”, dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan penanda waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung). 


Sabtu, 14 Maret 2015

Alam dan Tuhan di Mata Ibnu Sina




Radar Banten, 26 Agustus 2014

“Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya. Barangsiapa mengatakan “dalam apa Ia berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa Ia bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa Ia berada” maka ia beranggapan bahwa Ia tidak berada di atas sesuatu lainnya. Ia Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. Ia ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. Ia bersama segala sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. Ia berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Ia berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. Ia melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. Ia hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya Ia mungkin bersekutu atau yang mungkin Ia akan kehilangan karena ketiadaannya” (Khutbah Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Lihat Nahjul Balaghah)

Tuhan dan Alam

Membahas tentang Tuhan dalam pemikiran filosof muslim berarti membahas tentang metafisika, yang dalam hal ini Ibnu Sina memandang metafisika merupakan pengetahuan tentang segala yang ada sebagai “adanya” dan sejauh yang dapat diketahui manusia. Berkaitan dengan metafisika inilah Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain. Esensi, dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah), Ibnu Sina berargumentasi dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud, yang mengingatkan kita kepada filsafatnya Al-Farabi, yang bahkan terkesan tidak ada tambahan sama sekali. Berikut penjelasannya.

Wajib al-wujud, yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi Wajib al-Wujud ke dalam dua pembagian, yaitu: 1) Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan olah zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa diceraikan dengan wujud, karena keduanya adalah satu dan wujudnya tidak didahului oleh ketiadaan (ma’dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja, yaitu Allah Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal murni) yang tidak berkaitan denan materi apa pun. 2) Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan oleh yang lain. Misalnya: Adanya basah disebabkan oleh adanya air, kebakaran disebabkan oleh api, adanya 7 karena ada 5+2 atau 6+1, atau 2+5, dan sebagainya.

Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina pun menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama’).

Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zatnya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melalui sebab akibatyang terakhir kepada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia. Meski, dalam soal ini, pandangan Ibn Sina memancing kritik dan kontroversi dari ummat Islam atau dari para pemikir Islam lainnya yang mempercayai pengetahuan Allah mencakup yang parsial (furu’) juga yang global (ijmal).

Sebagai perbandingan, barangkali kita juga perlu menyimak pandangan filsuf muslim kontemporer, yang dalam hal ini teosofi-nya Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari: “Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan sehat. Tak mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia yang ada ini merupakan yang paling sempurna” (Lihat Ayatullah Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, Mizan 2009).

Filsafat Ibn Sina Tentang Manusia

Terdapat tiga objek kajian yang dibahas Ibnu Sina menyangkut manusia, yaitu: wujud manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia. Dalam menjelaskan tentang wujud manusia ini Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiah-nya untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-Wujud, yang penjelasannya adalah: Mumkin al-Wujud adalah Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.

Selanjutnya, dalam menjelaskan tentang awal mula proses muculnya ruh, maka kita akan melihat pada teori emanasi Ibnu Sina, di mana proses munculnya ruh diawali dengan adanya Akal X yang dayanya sudah sangat lemah berpikir tentang Allah sebagai Wajib wujud li dzatihi menghasilkan pemikiran ke 10 yang berpikir tentang Wajib wujud li ghairihi menghasilkan jiwa ke 10 dan berpikirnya tentang dirinya sendiri sebagai Mumkinul wujud li dzatihi menghasilkan berbagi unsur dasar dari bumi dan juga ruh manusia. Dan jiwa ke 10 itulah yang menggerakkan roh. Menurut Ibnu Sina jika manusia telah meninggal maka hanya raganya saja yang tidak aktif, tetapi rohnya akan tetap hidup, dan roh yang abadi itu akan mengalami sikasa dan kesenangan. Pandangannya soal ini juga tak luput dari kritik dan kontroversi secara teologis dan filosofis.

Alam Menurut Ibnu Sina

Ibnu Sina, yang lagi-lagi sebagaimana juga al Farabi, menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi. Soal kerumitan ini kemudian akan dijelaskan dalam tasawuf filsafatnya Ibn Arabi, tentang tajalliyat. Namun di sini penting dikatakan bahwa filsafat emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina atau juga al- Farabi, tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa (The One). Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari hanya yang satu yang melimpah. Filsafat Plotinus ini kemudian diaktualisasikan oleh Ibnu Sina dan juga Al- Farabi, bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam filsafat Ibn Sina dan al Farabi. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.

Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah (bukan dari tiada) sebagai akal langsung memikirkan terhadap zatnya yang menjadi objek pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah Akal kedua, Jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tida dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Hanya saja, berbeda dengan Al-Farabi, bagi Ibnu Sina Akal pertama mempunyai dua sifat: Sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mumkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (Wajib al-wujud li-zatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikatnya.

Selanjutnya adalah akal-akal dan planet-planet dalam emanasi dipancarkan Allah secara hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqul Allah tentang zat-Nya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu Allah tentang dirinya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang mencitakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqqul Allah terhadap zat-nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet. Dan berbeda dengan pendahulunya, yaitu Al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, Akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.

Namun, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid. Seperti telah disebutkan bahwa perbedaan yang mendasar antara Plotinus dengan Ibnu Sina (juga al-Farabi) ialah: bagi Plotinus alam ini hanya terpancar dari yang satu (Tuhan), yang mengesankan Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya. Sementara itu, dalam Islam, emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama Islam termasuk ajaran pokok atau qath’i al-dalalah. Dengan kata lain, kekhalikan Allah ini mesti diimani sepenuhnya. Orang yang mengingkari dapat membawa pada kekafiran. Atas dasar itulah, maka ibarat mentari dengan sinarnya merupakan ibarat yang menyesatkan.

Sejalan dengan filsafat emanasi inilah, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak zaman Azali. Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membedakan antaraqadimnya Allah dan alam. Perbedaan tersebut terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari segi zaman. Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaanAllah secara pancaran, alam ini baru. Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty. Ia sebab semua yang ada dan Ia pencipta alam. Akhir kata, meski tak luput dari protes dan kontroversi, filsafat Ibn Sina adalah jejak dan warisan yang sangat berharga bagi kita dari sebuah jaman ketika dunia Islam berusaha melakukan rasionalisasi teologis, sekaligus berikhtiar dalam kecimpung filosofis agar agama “tidak mati” dalam roda sejarah dan laju peradaban ummat manusia.

Sulaiman Djaya