Rabu, 05 Agustus 2015

Mula Firqoh Islam (Bagian Pertama)





(Disarikan dari tulisan panjang Muhsin Pur Muhammad yang diterjemahkan oleh Nasir Dimyati, dengan sedikit penambahan)

Ayatullah Al-Uzhma Montazeri bercerita, ada seorang 'Alim Syi'ah melewati kelompok Sunni. Mereka meminta agar 'Alim Syi’ah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Sunni, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” 'Alim Syi’ah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” 'Alim Syi’ah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama, 23 tahun tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun, tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”

Tentulah kisah tersebut merupakan sebuah sindiran halus, yaitu bagaimana mungkin Rasulullah tidak memikirkan ummatnya jika beliau wafat, yang dengan demikian niscaya beliau berwasiat tentang khilafah dan imamah demi masa depan kaum muslim, selain imamah ini juga sesungguhnya telah ditegaskan oleh wahyu al Qur'an yang turun saat Haji Wada' yang kemudian disampaikan oleh Rasulullah di Ghadir Khum. Di mana ayat 67 surah Al-Maidah itu turun berkenaan dengan dipilihnya Imam Ali sebagai imam dan khalifah yang menggantikan tugas dan kepemimpinan Rasulullah, meski ketika Imam Ali dan Ahlulbait tengah sibuk memakamkan Rasulullah, sejumlah sahabat malah menyelenggarakan konferensi di Saqifah untuk memilih khalifah, di mana yang hadir di Saqifah itu adalah Umar bin Khattab sebagai inisiator konferensi dan Abu Bakar, selain banyak yang lainnya.

Andai Imam Ali tidak memikirkan ukhuwah dan mengabaikan resiko pertumpahan darah antara barisan Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad Al-Aswad, Bilal, Malik Ashtar yang dijuluki sang singa dari Yaman dan masih banyak lagi yang mendukung Imam Ali dengan barisan Umar bin Khattab dan Abu Bakar, niscaya beliau akan mengambil haknya. Maka karena itu, dikenal-lah istilah, "ia yang merelakan haknya demi ukhuwah, adalah khalifah yang sesungguhnya."

Begitulah, setelah Rasulullah saw pulang dari Haji Wada’, selama berhari-hari beliau hanya bisa berbaring sakit di atas ranjang, dan tepatnya pada hari Kamis, ketika banyak sekali sahabat yang berkumpul di sekeliling beliau, beliau bersabda: “Ituni bil kitfi wad dawati aktubu lakum kitaban lan tadhillu ba’dahu abada”; Ambilkan aku papan dan pena, karena aku ingin menuliskan sebuah wasiat penting untuk kalian yang setelah itu kalian tidak akan tersesat dari jalan yang benar selama-lamanya. Pada saat itu pula secara lancang Umar Bin Khattab berkata: Orang ini sedang dirundung oleh rasa sakit yang parah sehingga dia selalu mengigau, sekarang pun dia sedang mengigau, al-Qur’an bagi kita sudah cukup –dan tidak perlu lagi pada wasiat tertulis atau yang lain–. Sebagian orang yang hadir saat itu mendukung kata-kata Umar dan sebagian yang lain mengatakan: Patuhilah apa yang beliau perintahkan. Perselisihan antara mereka tidak bisa dihindarkan lagi, suasana berubah menjadi gaduh dan memanas sehingga nyaris terjadi baku hantam di antara mereka.

Perselisihan umat Islam dapat diselidiki dengan dua cara; historis dan teologis. Kendati dua kajian ini tidak bisa dipisahkan secara total antara satu dengan yang lain, akan tetapi masing-masing bisa memiliki pembahasan tersendiri. Dan apa yang menjadi konsentrasi tulisan ini adalah penyelidikan yang pertama. Penyelidikan historis perselisihan umat Islam harus dimulai dari masa hidupnya Rasulullah saw, apakah pada masa itu telah terjadi perselisihan dan perpecahan umat Islam atau tidak? Sudah barang tentu keberadaan Rasulullah saw sendiri merupakan cermin seluruh wajah Islam dan berselisih dengan beliau berarti berselisih dengan Allah swt, sebaliknya patuh kepada beliau berarti patuh kepada Allah swt. Maka dari itu, perselisihan terhadap Rasulullah saw merupakan arus cabang dan penyimpangan, konsekuensinya komunitas yang mengikuti arus itu tidak mungkin terbilang sebagai mayoritas umat Islam.

Sementara itu di Mina, saat umrah, Mereka bukan saja berteriak melainkan mereka membuat suasana menjadi kacau balau dengan duduk dan berdiri yang terus mereka ulangi”. Menurut laporan buku induk hadis Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal serta yang lain, periwayat mengatakan bahwa sekelompok orang pada waktu itu membuat suasana jadi sangat gaduh dan bising sehingga nyaris membuat telingaku menjadi tuli!. Ada satu poin penting di sini yang jangan sampai dilewatkan begitu saja, yaitu ungkapan an-nas atau sekelompok orang di dalam riwayat-riwayat ini, dan sangat mungkin jika orang-orang itu pula yang kemudian di Ghadir Khum berusaha menghalang-halangi suara sabda Rasulullah saw untuk sampai ke telinga hadirin dan pada akhirnya mukjizat Allah swt membungkam telinga dan melumpuhkan usaha mereka tersebut lalu berfirman kepada beliau (yang artinya):

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan maka –sama dengan– kamu tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah menjagamu dari –bahaya– manusia”. (QS. AlMaidah: 67). Orang-orang itulah yang kemudian di saat-saat terakhir hayat Rasulullah saw membantah permintaan beliau untuk mengambilkan pena dan tinta agar beliau tuliskan wasiat penting sebelum meninggal.

Arus pembangkangan terhadap Rasulullah saw semakin serius dan sering terjadi pada akhir hayat beliau. Di hari-hari menjelang kematian, Rasulullah saw memerintahkan Usamah bin Zaid “Bentuklah pasukan besar lalu bergeraklah menuju Mu’tah, tempat terbunuhnya bapakmu”. Praktis, Rasulullah saw telah mengangkat Usamah sebagai panglima perang, dan saat itu beliau sangat menekankan kepada Usamah dan bala tentaranya agar segera keluar dari kota Madinah, bahkan beliau juga menekankan kepada orang-orang tua seperti Abu Bakar dan Umar untuk mematuhi perintah panglima perang muda yang bernama Usamah. Akan tetapi pada kenyataannya ada sekelompok sahabat beliau yang membangkang perintah beliau dengan alasan Usamah masih terlalu muda untuk menjadi panglima kita. Dan ketika berita pembangkangan itu sampai ke telinga Rasulullah saw, beliau marah sekali dan walaupun dalam keadaan sakit beliau segera keluar dari rumah dan naik ke atas mimbar seraya bersabda kepada komplotan pembangkang itu:

“Telah sampai kepadaku berita pembangkangan kalian terhadap Usamah, dan betapa buruknya pembangkangan itu? Dulu kalian pula orang-orang yang iri terhadap kepanglimaan bapak Usamah dan kalian cemooh dia. Demi Allah, pada waktu itu dia (Zaid bapak Usamah) lebih layak menjadi panglima perang daripada kalian, dan dalam hal ini putranya yang bernama Usamah juga lebih layak daripada kalian”.

Demikianlah, salah satu fenomena penting sejarah Islam yang secara serempak dicatat baik oleh literatur Syi’ah maupun Sunni adalah fenomena yang terkenal dengan sebutan Petaka Hari Kamis. Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair bahwa dia mengatakan, ‘Ibnu Abbas sering sekali menangis. Kadang-kadang lama sekali menangis sampai tanah di bawah kakinya menjadi basah, ketika itu dia selalu mengatakan: Hari Kamis, oh Hari Kamis. Aku bertanya kepadanya: Apa gerangan Hari Kamis? Dia menjawab: Hari Kamis adalah hari ketika mereka bertengkar satu sama lain di sisi Rasulullah saw, padahal sungguh tidak pantas mereka bertingkah konyol seperti itu di sisi beliau. Begitu pula telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia mengatakan: Petaka oh petaka, semua malapetaka ini bermula dari saat mereka halangi Rasulullah saw untuk menulis surat wasiatnya.

Soal penting apa yang ingin ditulis oleh Rasulullah saw pada situasi yang sensitif itu mudah sekali untuk dimengerti dari pembangkangan Umar Bin Khattab dan sejumlah orang yang mendukungnya, yaitu soal wilayah dan khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, karena jelas pembangkangan itu dilakukan oleh orang-orang itu juga, dan merekalah yang merasa ada bahaya, sudah barang tentu penjelasan undang-undang universal atau hukum parsial bukanlah bahaya yang mengancam mereka sehingga mereka terpaksa harus membuat kerusuhan seperti itu dan menyakiti hati Rasulullah saw di depan umum. Anehnya, cerita papan dan pena ini juga terjadi pada saat-saat akhir kehidupan Abu Bakar, dan walaupun pada saat itu Abu Bakar sedang dalam keadaan pingsan dan belum sempat mengatakan apa-apa akan tetapi Usman tetap saja menulis wasiat dari pihak Abu Bakar bahwa orang yang berhak menjadi khalifah setelah dia adalah Umar. Walau kondisi yang dialami oleh Abu Bakar lebih parah dari kondisi Rasulullah saw pada riwayat papan dan pena akan tetapi ketika itu Umar sama sekali tidak mengatakan Abu Bakar sedang mengigau, jelas hal itu karena target yang dia inginkan sedang tercapai.

Menurut riwayat-riwayat Syi’ah Imamiyah dan sebagian riwayat mazhab Sunni, Rasulullah saw meninggal dunia pada tanggal dua puluh delapan bulan Shafar tahun sepuluh hijriah. Wafat beliau telah menyelimutkan kesedihan ke seluruh penjuru Madinah, muslimin tidak pernah menyaksikan hari yang lebih menyedihkan dari hari itu sehingga setiap kali ada hari yang penuh petaka dan musibah setelah itu maka mereka perumpamakan dengan hari wafatnya Rasulullah saw. Tepatnya ketika umat Islam sedang dirundung duka nestapa, dengan suara lantang Umar bin Khattab berteriak: Celakalah kalian semua, Muhammad tidak mati melainkan dia sedang menemui Tuhannya sebagaimana Isa putra Maryam ... Barangsiapa yang mengatakan dia mati maka akan kupenggal kaki dan tangannya. Soal apa kepentingan Umar di balik permainan ini; apakah dia bermaksud untuk membius urat syaraf massa sampai Abu Bakar, yang keluar keluar ke sekitar Madinah, datang dan bersama-sama dengannya merealisasikan target-target yang sudah mereka rencanakan? Adalah tema yang layak untuk didiskusikan.

Perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara sahabat khususnya pada akhir hayat Rasulullah saw dan penegasan beliau yang berulang-ulang mengenai hak Ali untuk menjadi khalifahnya memberitahukan kepada kita bahwa pada masa hidup Rasulullah saw minimal ada dua kategori besar yang memiliki mental dan kecenderungan yang berseberangan; satu di antaranya pasrah dan secara mutlak mematuhi sabda Rasulullah saw. serta tidak pernah lesu untuk memperjuangkan tuntutan beliau, orang yang paling terkemuka dari kategori sahabat ini adalah Ali bin Abi Thalib as, ada pun yang lain adalah sekelompok sahabat yang tanpa merasa ada beban dan secara terang-terangan melakukan pembangkangan terhadap Rasulullah saw, mereka tunjukkan pembangkangan itu di saat-saat terakhir hayat beliau dengan perhitungan yang matang dan perencanaan yang teliti sehingga terjadilah fenomena Saqifah. Pada saat itulah dua kelompok sahabat ini terpisah antara satu sama yang lain. Dan meskipun banyak sekali ayat al-Qur’an tentang kelompok munafik bahkan ada surat yang diberi nama al-Munafiqun namun setelah kejadian Saqifah dan Abu Bakar telah menduduki posisi khilafah tidak ada perlawanan terhadap kelompok munafik tersebut! Walaupun demikian kenyataannya, selama Rasulullah saw masih hidup umat Islam masih memiliki persatuan yang khas, tapi perbedaan dan pembangkangan sebagian dari mereka di saat-saat akhir hayat beliau telah melatarbelakangi perselisihan dan perpecahan yang lebih dalam pasca kematian beliau. (Bersambung)