Jumat, 14 November 2014

HAM dan Keadilan dalam Islam




Radar Banten, 22 Agustus 2013

“Sungai adalah untuk yang memanfatkannya, bukan untuk yang menguasainya”. (Ali Ibn Abi Thalib Karramallahu Wajhah).

Apa yang dikemukakan Ali Ibn Abi Thalib Karramallahu Wajhah, yang kini dapat dibaca dalam kitab Nahjul Balaghah, tersebut meski terkesan sederhana namun memiliki makna dan kandungan pemahaman yang tinggi bagi kita. Kita bisa mengartikannya, sebagai salah satu contoh, misalnya bahwa seseorang yang berusaha untuk mengembangkan dan memanfaatkan suatu potensi atau materi berhak menikmati hasil atau pun keuntungan dari-nya. Ini hanya lah salah-satu contoh bahwa Islam, misalnya, tak hanya merupakan sekian ajaran dan doktrin ritual (mahdhah), tetapi juga berkaitan dengan mu’amalah (ghayru mahdhah) yang melingkupi soal-soal budaya, sosial, ekonomi, dan politik.

Sebagai figur Islam yang langsung diasuh dan dididik Rasulullah sejak kanak-kanak seperti dikemukakan banyak ulama baik dari kalangan Syiah atau pun Sunni, Ali Ibn Abi Thalib dikenal sebagai orang yang “mewarisi” samudra ilmu, akhlaq, dan kearifannya Rasulullah. Warisan kearifan Ali Ibn Abi Thalib yang merupakan warisan dari Rasulullah diabadikan oleh seorang ulama bernama Sayid Syarif Radhi dalam sebuah kitab Nahjul Balaghah, dan banyak ulama menuliskan syarah atau komentar-komentar tentang Nahjul Balaghah, yang salah-satunya ajaran tentang bagaimana membina hubungan baik dengan sesama muslim dan non-muslim sebagaimana diajarkan al Qur’an dan ajaran Rasulullah. Sebab sebagaimana dipaparkan banyak ulama, Imam Ali dikenal sebagai seorang penafsir paling fasih seputar al Qur’an, spirit Islam, dan akhlaq Rasulullah.

Syekh Muhammad Abduh, contohnya, mengatakan bahwa “Di masyarakat Arab, tidak ada seorangpun yang tidak berkeyakinan bahwa ucapan Ali as adalah ucapan paling mulia, paling fasih, paling dalam maknanya dan paling lengkap sesudah al Qur’an dan Hadits Nabi Saw”. Tentu saja apa yang dikatakan Abduh tersebut bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat kearifan dan kebijaksanaan Imam Ali diakui oleh banyak sahabat Nabi Saw, semisal Umar bin Khattab, Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abu Dzar al Ghifari, Salman Alfarisi, dan yang lainnya. Dan salah-satu keutamaan Imam Ali dalam hal ini adalah kearifannya dalam masalah-masalah hukum, selain keluhuran akhlaqnya.

Khazanah Islam dan Nahjul Balaghah

Nah, Nahjul Balagah yang merupakan kumpulan perkataan-perkataan, surat-surat, dan khutbah-khutbah Imam Ali itu mengandung juga ajaran dan kearifan tentang bagaimana ummat Islam membina hubungan sesama manusia, semisal tentang keadilan. Dalam al Qur’an sendiri, ajaran keadilan ini terdapat dalam Surah an Nahl ayat 90, yang mencerminkan bahwa dalam konteks kehidupan bersama, semua manusia memiliki hak yang sama. Namun apa itu keadilan? Secara terminologi, bila berpatok pada al Qur’an dan pandangan Imam Ali, keadilan adalah memperhatikan hak-hak secara kongkrit dan memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan amal dan kapasitasnya.

Lebih lanjut, menurut Imam Ali, sebagaimana dapat dibaca dalam Nahjul Balaghah, seluruh manusia memiliki hak yang sama. Semisal tak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kaya dan yang miskin, antara pejabat dan pekerja, di mana hak mereka semua dapat ditentukan sesuai dengan amal dan kapasitasnya. Sebagaimana Rasulullah, Imam Ali juga menegaskan bahwa bersikap adil dan mempraktekkan keadilan merupakan perintah Allah dan sekaligus kewajiban kepada Allah. Hal itu beliau tegaskan ketika ia berpesan kepada para hakim, “Ketika kebenaran tiba, mereka (para hakim) harus menyampaikan penilaiannya tanpa rasa takut, tidak memihak atau berprasangka”. Sementara itu, dalam al Qur’an sendiri, selain dalam Surah an Nahl ayat 90 itu, anjuran dan perintah untuk mempraktekkan keadilan juga ditekankan dalam Surah an Nisa ayat 58 dan 135 dan Surah al Maidah ayat 8. Dalam Surah an Nisa ayat 58, misalnya, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Sejalan dengan ajaran al Qur’an tersebut, Imam Ali berkata, “”Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa kekuasaan yang telah diserahkan kepadamu itu adalah hasil buruan yang jatuh ke tanganmu. Itu adalah amanat yang diletakkan ke pundakmu. Pihak yang di atasmu mengharapkan engkau dapat menjaga dan melindungi hak-hak rakyat. Maka janganlah engkau berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat”.

Menghindari Kezaliman

Konsekuensi riil dari upaya kita untuk bersikap adil salah satu contohnya adalah menghindari perbuatan zalim. Dalam hal ini Imam Ali berkata, “Andaikan aku ditidurkan di atas duri padang pasir tanpa pakaian, atau seandainya aku dibelenggu rantai dan diseret di atas tanah, demi Allah aku bersumpah bahwa itu lebih baik daripada seandainya aku berjumpa Allah dan Rasul di hari kiamat sementara aku pernah menzalimi makhluk Allah atau aku merampas urusan-urusan duniawi”. Juga, “Jadilah kamu musuh orang zalim dan sahabat orang mazlum atau tertindas”.

Sementara itu, salah-satu cara untuk mendidik kita bersikap adil adalah dengan mengembangkan dan menumbuhkan sifat pengasih dan penyayang kepada sesama manusia. Di sini Imam Ali berkata, “Insafkan hatimu agar selalu memperlakukan rakyatmu dengan kasih sayang, cinta dan kelembutan hati. Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu sesungguhnya hanya satu di antara dua: saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan sepertimu”. Rupa-rupanya, ajaran Imam Ali tersebut sangat selaras dengan firman Allah dalam al Qur’an yang berbunyi: ”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi (Al Maidah: 32).

Hak Ahlul Dzimmi

Ajaran penting Islam lainnya dalam soal mu’amalah dan tata hubungan sesama manusia ini adalah ajaran tentang tata-sikap kepada non muslim, salah satunya adalah kepada Ahlul Dzimmi. Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad (cicit Rasulullah) misalnya mengatakan, “Hak Ahlu Dzimmah adalah bahwa engkau harus menerima dari mereka apa yang Allah terima dari mereka dan engkau harus setia dengan perjanjian yang telah Allah tentukan bagi mereka. Perlakukan mereka sesuai hukum Allah dan jauhilah kezaliman terhadap mereka sebab mereka berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Dari Rasulullah Saw diriwayatkan bahwa beliau bersabda, Siapa saja yang menzalimi kaum dzimmi berarti dia musuhku. Karena itu, takutlah kepada Allah dalam hal ini”.

Ajaran Islam tersebut sangat penting karena kita sadar bahwa kita hidup bukan di dunia yang homogen, tapi di dunia yang heterogen dan plural, yang juga merupakan sunnatullah. Dalam hal inilah, seorang muslim secara khusus atau ummat Islam secara umum, memang diniscayakan untuk menjadi saleh secara pribadi dan secara sosial pada saat bersamaan.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar