Rabu, 12 November 2014

Metafora Kosmologis Sajak-sajak Jamal D Rahman


Majalah Sastra PUSAT Edisi 3 Tahun 2010

bumi masih bergerak ibu / dan aku berdiri pada putaran-putaran gunung (Jamal D. Rahman, Aura Sembahyang Meneteskan Airmata).

Ada suasana keintiman pada upaya mengajak pembaca untuk memasuki dunia kesunyian seorang penyair dan perenungannya yang intens dalam sajak-sajak Jamal D. Rahman. Adakalanya terasa lembut dan merayu, adakalanya terasa pekat. Ketika dunia-dunia yang dibangun dalam sajak-sajaknya terasa senyap. Tetapi bagaimana pun satu hal yang menurut saya sangat kental dalam sajak-sajaknya adalah upaya untuk meneropong manusia dan kehidupannya. Meski figur-figur yang dipinjamnya sebagai referensi dan kiasan bisa berupa angin, lembah, atau rumput: matahari melelehkan jiwaku / tumpah di tebing / di jurang gelombang / aku lupa memandang langit / aku lupa memandang laut / ke mana matahari seterik itu pergi / di barat peraduan menanti / di timur fajar tak terbit lagi (Di Timur Fajar Tak Terbit Lagi).

Selintas larik-larik sajak di atas adalah sebuah gambaran apokalipstik. Meski apa yang ingin dilukiskannya merupakan suasana bathin kesunyian meditatif penyairnya dalam dunia personal dan kesehariannya. Kita juga dapat mebandingkannya dengan sajak berikutnya yang menurut saya masih berada dalam suasana dan nuansa yang sama: bernafaslah pada ombak / karena danau telanjur menyimpan buih / membendung gelombang zaman / dan menghanyutkan doa / dari bukit sukmamu batu-batu pun hanyut / ke dalam sujud muara / memadatkan tangis benua (Bernafaslah pada Ombak).

Teranglah dalam sajak Bernafaslah pada Ombak gambaran keintiman meditatif penyairnya tentang keprihatinan-bathin manusia yang selalu melupakan dunia di mana mereka hidup dan berada. Dengan demikian dapatlah dikatakan religiusitas sajak-sajak Jamal D. Rahman adalah sejenis religiusitas yang memandang dan mengakrabi dunia sebagai sebuah kosmologi di mana manusia dan dunia tidak mungkin dapat dipisahkan. Dengan cara pandang kosmologis itu pula penyair melihat dan mencandra kehidupan dan dunia yang dijumpai dan diakrabinya melalui pelukisan kesunyian diri: mengetuk pintu demi pintu / jam mendetak di lantai / dinding pun terjaga / dan ombak bangkit dari jendela / aku tersungkur: lewat pintu-pintu itu / angin mengusung zikirku dari alif ke alif / dan asmaramu mengerang di padang-padang sembahyang (Di Padang Sembahyang).

Kita pun dapat memafhumi sesering apa pun sajak-sajaknya Jamal D. Rahman mengambil tema dan isu meditatifnya, kecenderungan umum sajak-sajaknya terkonsentrasi pada keintiman penyairnya dengan alam dan keseharian. Hanya sesekali saja penyairnya menyempatkan kecenderungan isu-isu politik. Bisa juga dikatakan jika pun penyairnya menyempatkan untuk mengurusi isu-isu politik hanya sebatas peminjaman untuk membangun tema umum kosmologi sajak-sajaknya yang lebih mengedepankan meditasi penyairnya dalam dunia dan keseharian.

Sembari tetap menjaga konsistensinya tersebut, beberapa sajaknya toh masih sempat menyuarakan romantika yang lembut, merayu, dan sarat suasana liris yang sifatnya individual seperti yang dapat kita baca dalam sajaknya yang berjudul Pada Riak Rindu Kita: engkau meneteskan airmata ketika aku datang bersama sepotong kabut / yang menyelimuti seluruh aura tubuhku / aku tahu, airmatamu kini penuh gelora masa kanakmu yang biru / menggemuruh di sekujur tubuhku / membawa air akar pohon-pohon yang tumbuh sepanjang airmatamu.

Dalam hal ini, bila Abdul Hadi WM menyebut sajak-sajak Jamal D. Rahman memiliki kecenderungan nada misitikal sufistik, maka saya lebih merasakannya sebagai sajak-sajak yang membangun dunianya dengan permenungan-permenungan religius “sang aku” dengan subjektivitas eksistensinya dalam dunia dan keseharian yang dialami dan dirasakan oleh seorang penyair. “Sang aku” ini, yang bila meminjam frasenya Tommy F. Awuy adalah aku yang senantiasa gelisah dalam antrian panjang kehidupan. Di sini pula saya berani mengatakan bahwa sajak-sajak meditatifnya Jamal D. Rahman pada dasarnya bersifat Heideggerian. Ketika keintiman penyairnya dengan hidup dan keseharian terasa kuat dan kental. Di mana dunia dipandang dan disikapi sebagai cakrawala yang hidup dan intim.
Setidak-tidaknya kekentalan meditatifnya itu mampu digambarkan dengan baik dalam sajaknya yang berjudul Kurendam Tangis dalam Lautku: kucelupkan mukaku ke dalam rimba gerimis / dari doa-doamu di sepanjang jalan itu / tak kutemukan sunyi / nafas yang ditindih peradaban / dan sukma yang selalu merintih / bersujud di pinggir jalan / hingga memar wajahku / o, begitu pucat mimpiku. Juga dalam sajaknya yang berjudul Aura Sembahyang Meneteskan Airmata: bumi masih bergerak ibu / dan aku berdiri pada putaran-putaran gunung / kawah dan magma membuat irisan-irisan waktu / kian menggelora di hatimu / meski rimbun dedaunan itu telah mengembalikan aura sembahyangku kepadamu / bumi terus bergerak, ibu / dan masih kupeluk sukmamu.

Ibu dalam sajak di atas lebih merupakan simbolisasi kosmologis yang tetap menyisakan terjemahan verbal-nya. Dua kemungkinan tersebut dibiarkannya memiliki peluang pemaknaannya masing-masing. Dan karena dualisme dan kemungkinan polisemiknya itulah sajak di atas bisa dibaca secara terbuka yang akan memberikan kekayaan arti dan makna. Yang kalau meminjam istilahnya Umberto Eco sajak di atas disebut sebagai karya terbuka alias “opera aperta”. Di mana sebuah karya mampu memberikan keragaman makna dan penafsiran kepada pembacanya.

Kata “ibu” dalam sajak di atas dipinjam sebagai kiasan untuk melukiskan kecemasan dan keterasingan manusia dalam keseharian dan kesunyiannya. Bisa juga dibaca sebagai gambaran kehilangan dan kerinduan. Kesemua arti tersebut tentu saja akan sangat dipengaruhi konteks dan dunia yang ingin dituturkan seorang penyair.

Lebih lanjut, dalam sajak-sajak Jamal D. Rahman alam dan benda-benda dihadirkan sebagai sejumlah entitas yang akrab dan berbicara kepada penyair. Seperti benua yang menangis dan jala yang cemas dalam sajaknya yang berjudul Bernafaslah pada Ombak. Juga bisa dikatakan kesunyian penyair senantiasa digambarkannya dengan meminjam alam dan benda-benda sebagai figur-figur yang mengungkapkannya dengan jernih dan telanjang.

Pencandraan dan pengakraban tersebut lahir dari keintiman seorang penyair pada kesekitaran dan keseharian yang dialami dan dihidupinya secara personal. Yang dengan itu pula dunia dan benda-benda dalam sajak-sajaknya Jamal D. Rahman tidak lagi dipandang sebagai objek, melainkan subjek-subjek yang dekat dan menyapa penyair dalam kesunyian mereka dan kesunyian penyair itu sendiri. Karena itu dapatlah kita pahami bahwa “dunia” dalam sajak-sajaknya Jamal D. Rahman adalah sejumlah dunia dan kesunyian yang menyingkapkan diri berkat keintiman meditatif dan kedalaman religiusitas seorang penyairnya.

Dengan demikian, keunggulan dan kekuatan lain yang juga dapat menjadi bukti kematangan dan keberhasilan Jamal D. Rahman sebagai seorang penyair adalah kekentalan “dunia” bathin yang ingin digambarkan dan diutarakannya kepada kita. Contohnya dapat kita rasakan ketika kita membaca sajaknya yang berjudul Daun-Daun Kemboja: daun-daun kamboja sore itu / seperti lukisan senja yang cemas / dan engkau datang tanpa cahaya rembulan / ini cintaku / pada suaramu yang muram / sederet kaligrafi adalah doa yang letih: / kenapa mereka dituliskan pada daun-daun kemboja / seperti lukisan senja secemas ini? / ini cintaku, untuk tanah air sukmamu yang menggelora / cinta dengan segumpal darah dan impian / begitu dalam tatapanmu kini / seperti mengisahkan sebuah benua tua / yang menyimpan gelora lukisan senja secemas ini / sementara rambutmu terurai gerimis / dikipas-kipas angin sore hari.

Dalam hal inilah, jika kita percaya surealisme adalah sebentuk kemampuan mengalihkan suasana bathin ke pelukisan yang bersifat ikhtiar transendensi dan fantasi lewat peminjaman alam dan benda-benda yang berbicara, atau sebentuk pembangunan gambaran imajis yang padat dan kental, maka sajak-sajak Jamal D. Rahman telah melakukannya dengan baik. Yang ketika kita membaca sebuah sajak kita dapat merasakan kesenangan dan tergoda untuk berkelana memasuki dunia imajis dan fantasi sebuah sajak yang kita baca sekaligus membuat kita seolah-olah tengah memandangi sebuah lukisan yang indah karena kekuatan seduktif dan kekentalan penggambaran imajis dan fantasinya.

Sementara itu bila kita membacanya dalam perspektif Heideggerian, sajak-sajak Jamal D. Rahman adalah sejumlah dunia dan keseharian yang menyingkapkan dirinya secara telanjang di hadapan seorang penyair ketika seorang penyair mengintimi dan mengakrabi kesunyian dirinya dan kesunyian dunia dan keseharian yang dihidupi dan dialaminya dengan sepenuh penerimaan.

Begitu pun bila dibaca secara sintaktik atau dari cara dan kemampuan penyairnya melukiskan dan membangun dunia dalam sajak-sajaknya, kita bisa menangkap intensitas dan konsistensi sajak-sajaknya berbicara tentang kecemasan dan kerentanan manusia di hadapan ketakterbatasan alias infinitas ketakterdugaan hidup itu sendiri: sebab engkau angin / kematian akan sampai pada dingin dedaunan / langit menjauh / malam memberat / dan engkau melambaikan kuning dalam gerimis / aku dengar sungai mengalir / mengantarkan wewangian di sela bebatuan / sebab engkau angin / aku ingin kembali pada desir paling semilir (Sebab Engkau Angin).

Kata “angin” dipinjam sebagai kata benda sekaligus simbol dan kiasan karena kata tersebut mampu mencakupkan dirinya bagi makna polifoni dan polisemik. Ia bisa menggambarkan ketakterdugaan, infinitas, keabadian, dan ketiadaan alias kerentanan dan kekosongan.

Ketika saya membaca sajak-sajak Jamal D. Rahman saya diingatkan kembali pada keberadaan saya sendiri dalam dunia dan keseharian yang seringkali saya lupakan. Begitu pun komitmen saya pada kehidupan dan dunia keseharian ditegur kembali dengan sapaan dan meditasi kesunyian sajak-sajaknya yang sarat nada-nada seduktif yang kental. Bahwa saya hidup dalam sebuah kosmologi yang bukan hanya diri saya sendiri yang ada, melainkan saya hidup dalam sebuah semesta dan dunia.


Sulaiman Djaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar