Senin, 01 Desember 2014

Aib Amerika Bagi Indonesia




Radar Banten, 7 Juli 2014

Beberapa waktu yang silam, kita dihebohkan dengan ulah tak bermoral seputar penyadapan yang dilakukan Amerika atas perbincangan orang nomor satu di negeri kita yang semestinya merupakan wilayah rahasia. Tidak usah heran! Itu sudah biasa bagi Negara yang setia mempraktekkan standard ganda, yaitu Amerika, hingga Vladimir Putin sempat berseloroh, “Saya iri pada Obama yang bisa memata-matai Negara berdaulat dan tidak mendapat konsekuensi apa pun.” Belakangan, mulai terungkap pula ternyata kelompok-kelompok teroris, kelompok pemberontak Suriah di Suriah dan ISIS di Irak saat ini yang mengatasnamakan Islam di Timur Tengah itu, juga dibentuk oleh Amerika bersama para sekutunya, utamanya Israel dan Rezim Saud.

Alhasil, tidak ada satu kedutaan besar sebuah negara di dunia yang tidak melakukan aktivitas intelijen sevulgar Amerika di negara yang ditempatinya. Memang, urusan penilaian terhadap kondisi negara yang menjadi wilayah kedutaan merupakan tugas wajib duta besar dan diplomat yang bersamanya. Bagi negara yang tidak memiliki ideologi, keberadaan kedutaan besar paling-paling hanya terbatas pada urusan kerja sama bilateral antarkedua negara di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan hankam. Sifatnya pasif. Sementara bagi negara yang memiliki ideologi, duta besar dan diplomat memiliki tugas yang jauh lebih besar dari itu. Yah semisal melakukan aktivitas intelijen itu.

Mereka bisa memiliki agenda sendiri di luar urusan-urusan resmi terkait dengan negara di mana mereka bertugas. Mereka bisa saja bertugas menghancurkan negara sasaran termasuk memasok senjata dan sejenisnya. Dalam hubungan diplomatik, telah menjadi konvensi internasional bahwa para diplomat memiliki kekebalan diplomatik, tidak hanya menyangkut fisik/diri diplomatnya tapi juga segala yang bersama dengan diplomat itu seperti barang, dokumen, dan sebagainya. Negara yang dituju tidak boleh memeriksa itu. Makanya, korps diplomatik dalam beberapa kasus di dunia menjadi alat kejahatan yang luar biasa.

Di Indonesia, campur tangan Amerika telah begitu lama dibiarkan, hingga lambat-laun mengangkangi bangsa ini. Dan, memang hal ini sudah cukup lama terjadi bagi negeri dan bangsa yang sama-sama kita cintai ini.

Doktrin Arthur-Churchill

Sebagai contoh, pada Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni Kawasan Malesia (Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).

Menurut doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis Singapura.

Doktrin itu menjadi acuan acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik seperti yang direncanakan doktrin tersebut.

Kiprah CIA di Indonesia

Dalam hal ini barangkali kita perlu membuka lembar-lembar buku “Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, yang mengungkap bagaimana para diplomat AS yang juga perwira CIA berhasil merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.

Dalam bukunya itu Tim Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto.

“Malik memanfaatkan hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Duta Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia” dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.

Sementara itu, salah-satu buku karya penulis Indonesia yang cukup informatif dalam membeberkan aspek-aspek peranan pembangunan kultural dan ideologi Amerika lewat CIA dan sejumlah lembaga yang dibina dan dibiayainya di Indonesia era Soeharto ini ditulis oleh Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Marjinkiri, 2013), yang menginformasikan keberhasilan Amerika melalui CIA dan lembaga-lembaga binaannya dalam mengarahkan kepentingan, baik ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia yang menguntungkan kepentingan Amerika.

Sejak Indonesia Merdeka

Dan berdasarkan buku yang ditulis Tim Weiner dan Wijaya Herlambang itu, puncak dan bukti paling kuat keterlibatan Amerika di Indonesia melalui CIA-nya itu tak lain adalah ketika Amerika berada di balik pemberontakan G 30 S/PKI. Banyak dokumen dan literatur membongkar keterlibatan CIA (yang merangkap sebagai diplomat) di dalam peristiwa Oktober 1965 tersebut. Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh bukannya 5.000 orang. Kolonel Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu, yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi, termasuk orang yang tak tahu apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan terbesar setelah era Hitler.

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar