Selasa, 15 Desember 2015

Israel, Petinggi Militer Nigeria & Amerika di Belakang Pembantaian Muslim Syi’ah Nigeria


Apa yang sesungguhnya terjadi di Nigeria pada sore di hari Minggu, 13 Desember 2015 itu?

Pada hari Kamis, acara peringatan Arbain Imam Husain di Nigeria selesai. Acara itu dihadiri lebih dari 10 juta orang menurut perkiraan organisasi Harakat Islamiyyah di Nigeria yang dikepalai oleh Syekh Ibrahim Az-Zakzaki sejak empat puluh tahun lalu.

Pemimpin organisasi yang secara resmi didirikan pada tahun 1970 ini mulai menganut mazhab Syiah pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979.

Sehari setelah acara peringatan Arbain, Jumat 04/12/2015, sekelompok orang bersenjata menembakkan timah panas ke Masjid kampung Gobari pada saat jamaahnya melaksanakan shalat Jum’at.

Disebabkan penembakan tersebut empat orang meninggal dunia dan sejumlah besar lainnya luka-luka. Kejadian ini berulang kembali pada hari Jum’at berikutnya, 11 Desember 2015, di kampung, waktu, dan tempat yang sama. Kelompok bersenjata kembali datang pada hari tersebut, lalu memberondongkan timah panas terhadap jamaah yang sedang melakukan shalat. Mereka pun berhasil membunuh delapan orang dan menyebabkan sejumlah besar lainnya mengalami luka-luka.

Kampung Gobari terletak sekitar 30 kilometer dari kota Zaria, pusat pemukiman para pengikut mazhab Ahlulbait dan pusat aktivitas organisasi Harakah Islamiyyah yang berjarak sekitar 400 kilometer dari ibukota negara, Aboda.

Sabtu, 12 Desember 2015, pukul 15:00, sejumlah pasukan kepolisian tampak mengepung Husainiyyah Baqiyatullah di kota Zaria yang pada saat itu sedang dipersiapkan untuk kegiatan perayaan Maulid Rasulullah saw yang akan dimulai pada awal bulan Rabi’ul Awwal yang biasa dilaksanakan di setiap tahun. Acara perayaan ini biasa dihadiri oleh kaum lelaki dan perempuan yang berasal dari dalam dan luar kota.

Husainiyyah Baqiyyatullah merupakan Husainiyyah pertama dan terpenting di Nigeria. Di tempat ini biasa diselenggarakan program-program dan kegiatan-kegiatan besar. Sebelumnya, pernah terjadi penyerangan terhadap Husainiyyah ini pada momen peringatan hari Solidaritas Internasional untuk Al-Quds, satu setengah tahun lalu, dan melenyapkan nyawa sejumlah peserta kegiatan ini di antaranya tiga orang anak pemimpin organisasi tersebut.

Setelah dua jam pasukan militer mengepung Husainiyyah Zaria yang terdiri dari beberapa tingkat itu, mereka mulai menembakkan senjata hingga menyebabkan puluhan orang dari kalangan laki-laki, perempuan dan anak-anak meninggal dunia dan sejumlah orang lainnya terluka.

Ketika kaum perempuan keluar seraya meneriakkan takbir (Allahu Akbar) dan yel-yel lainnya, pasukan tentara menggiring sejumlah orang dari mereka ke sebuah pos militer yang mana kemudian diketahui bahwa mereka telah dibunuh di pos tersebut namun jumlah mereka tidak diketahui.

Sebelum waktu Magrib, sekitar pukul 19:00, Husainiyyah Baqiyatullah dikepung secara keseluruhan dan dilempari geranat sebanyak 5 kali. Akibatnya, sebagian tembok bangunan Husainiyyah Baqiyatullah hancur.

Pengepungan pun terus berlangsung, bahkan lebih diperluas hingga meliputi sudut-sudut kota, jalan-jalan yang menuju ke Husainiyyah, rumah Syekh Ibrahim Zakzaky, area pemakaman pahlawan Jannatu Daar Ar-Rahmah, dan sebuah bioskop.

Pada malam harinya, mereka (tentara) mulai menembakkan senjata dan menyerang rumah Syekh Ibrahmi Zakzaky pada saat shalat Shubuh dan terus berlangsung hingga sekarang.

Hingga saat ini, telah jatuh banyak korban tewas di antaranya Syaikh Muhammad Mahmud Tori, DR. Mushthofa Said, dokter pribadi Syekh Ibrahim Zakzaky yang telah mengabdi kepadanya selama 37 tahun, dan sejumlah besar para pejabat penting organisasi serta korban-korban tewas lain yang diperkirakan jumlah mereka lebih dari 300 jiwa.

Penyerangan-penyerangan ini menyebabkan kerusakan bangunan Husainiyyah Baqiyatullah dan rumah Syekh Ibrahim Zakzaky. Dalam penyerangan ini, tentara menggunakan tank-tank baja, alat-alat militer, dan bom-bom. Selain itu, pasukan tentara pun melakukan penganiayaan terhadap para peserta acara yang datang dari kota-kota lain dengan cara menghentikan mobil-mobil mereka lalu membunuh mereka di tempat.

Informasi-informasi terkait disebarkan secara tidak resmi dikarenakan adanya blokade berlapis terhadap wilayah penyerangan dan terbunuhnya sejumlah orang yang menjadi para narasumber berita.

Tentara ini dikenal memiliki hubungan erat dengan Amerika dan Israel yang tampak jelas sekali di Nigeria. Diperkirakan operasi ini dijalankan secara independen oleh pihak militer karena hingga sekarang pemerintah belum menyatakan sikap apapun, terutama Presiden Nigeria, Muhammad Bukhari, yang telah bertemu dengan Sayyid Ali Khamenei di Tehran pada dua minggu yang lalu.

Hingga akhir penulisan laporan ini, kami belum memiliki informasi akurat apapun tentang nasib Syekh Zakzaky dan Istrinya. Tapi diduga bahwa putra terbesarnya (tertuanya) telah bergabung dengan kafilah para syahid. Laporan ini ditulis oleh para pelajar Harakah Islamiyyah Nigeria di Qum Al-Muqaddasah, Iran. Top of Form

Solidaritas warga India & Indonesia untuk Nigeria.

Senin, 07 Desember 2015

Lukisan Maria & Yesus di Dinding Ka'bah


Oleh Karen Armstrong (Islamolog, sejarawan & penulis)

Pada 632 M, setelah lima tahun peperangan yang hebat, Kota Mekkah di Hijaz, Semenanjung Arabia, secara sukarela membuka gerbang untuk pasukan Muslim. Tidak ada darah ditumpahkan dan tidak ada orang yang dipaksa untuk menjadi Muslim, tetapi Nabi Muhammad saw memerintahkan penghancuran seluruh berhala dan patung Ketuhanan. Terdapat sejumlah lukisan dinding pada dinding-dinding bagian dalam Ka’bah, tempat suci kuno di tengah Mekkah, dan salah satunya, konon diriwayatkan, menggambarkan Maria dan bayi Yesus. Segera, Muhammad saw menutupinya dengan jubahnya dengan penuh hormat, memerintahkan agar semua lukisan yang lain dihilangkan kecuali yang satu itu.

Kisah ini boleh jadi akan mengejutkan orang-orang di Barat, yang kadung memandang Islam sebagai musuh yang tidak dapat didamaikan dengan Kristen sejak Perang Salib. Namun, adalah sangat konstruktif untuk mengingat kisah tersebut, terutama selama Natal, ketika kita dikepung oleh gambar-gambar yang serupa tentang Sang Perawan dan Anak Sucinya. Kisah itu mengingatkan kita bahwa apa yang disebut “benturan peradaban” sama sekali bukan tidak bisa dielakkan. Selama berabad-abad, Muslim mencintai figur Yesus yang dihormati di dalam al-Quran sebagai salah satu nabi terbesar dan, di dalam tahun-tahun perkembangan Islam, menjadi salah satu bagian utama dari identitas Muslim.

Terdapat pelajaran penting di sini, baik bagi orang Kristen maupun Muslim—terutama barangkali pada saat-saat Natal seperti ini. Al-Quran tidak meyakini Yesus sebagai tuhan tetapi ia mempersembahkan lebih banyak ruang bagi kisah tentang konsepsi dan kelahiran sucinya dibandingkan apa yang dikisahkan Perjanjian Baru. Al-Quran menyajikannya dengan kekayaan simbolis mengenai kelahiran Roh Kudus di dalam setiap manusia (QS. 19:17-29; 21:91). Seperti para nabi agung lainnya, Maria menerima Roh Kudus dan mengandung Yesus, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah bukti (ayat): sebuah pesan perdamaian, kelembutan, dan kasih sayang kepada dunia.

Al-Quran dikejutkan oleh klaim-klaim Kristen bahwa Yesus adalah “putra Allah”, dan kemudian dengan bersemangat melukiskan Yesus demi menyangkal ketuhanannya dalam upaya “membersihkan” dirinya dari proyeksi-proyeksi yang tidak layak tersebut. Berkali-kali, al-Quran menekankan bahwa, seperti juga Muhammad sendiri, Yesus adalah seorang manusia biasa yang sempurna dan bahwa orang Kristen sama sekali telah salah dalam memahami teks-teks suci mereka sendiri. Namun, al-Quran juga mengakui bahwa orang-orang Kristen yang paling setia dan terpelajar—terutama adalah para pendeta dan imam—tidak meyakini ketuhanan Yesus; dari semua hamba Tuhan, merekalah yang paling dekat dengan Muslim (QS. 5:85-86).

Harus dikatakan bahwa beberapa orang Kristen mempunyai pemahaman yang sangat sederhana dari apa yang dimaksud dengan penjelmaan. Ketika para penulis Perjanjian Baru, Paulus, Matius, Markus, dan Lukas menyebut Yesus sebagai “Anak Allah”, mereka tidak memaksudkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Mereka menggunakan istilah itu dalam makna Ibraninya: di dalam Alkitab Ibrani, sebutan tersebut biasa dianugerahkan kepada manusia biasa yang fana, seperti seorang raja, imam, atau nabi—yang telah diberi tugas khusus oleh Allah dan menikmati keakraban yang tidak biasa dengan-Nya. Di seluruh Injilnya, Lukas justru selaras dengan al-Quran, sebab ia secara konsisten menyebut Yesus sebagai seorang nabi. Bahkan Yohanes, yang memandang Yesus sebagai penjelmaan Firman Allah, membuat suatu pembedaan, sekalipun hanya dalam satu ungkapan yang sangat bagus, antara “Firman” dengan Allah Sendiri—seperti halnya kata-kata kita yang terpisah dari esensi keberadaan kita.

Al-Quran menekankan bahwa semua agama yang benar dan terbimbing berasal dari Allah, dan Muslim diwajibkan untuk mengimani wahyu-wahyu dari setiap kata para utusan Allah: Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri” (QS. 3:84). Dan, Yesus—yang juga disebut Mesiah—Sang Firman dan Roh Kudus—mempunyai status khusus.

Yesus, bagi al-Quran, mempunyai hubungan yang dekat dengan Muhammad, dan telah meramalkan kedatangannya (QS. 61:6), sama seperti para nabi Ibrani yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai telah menubuatkan kedatangan Kristus. Al-Quran menolak bahwa Yesus telah disalibkan dan memandang kenaikannya ke surga sebagai pernyataan keberhasilan dari misi kenabiannya. Dengan cara yang serupa, Muhammad suatu ketika secara mistik naik ke Singgasana Tuhan. Di samping Muhammad, Yesus juga akan memainkan suatu peran yang sentral dalam drama eskatologis pada hari akhir.

Selama tiga abad pertama dari Islam, Muslim telah menjalin hubungan yang dekat dengan orang Kristen di Irak, Syiria, Palestina, dan Mesir, dan mulai mengoleksi ratusan riwayat dan perkataan yang berhubungan dengan Yesus; suatu koleksi yang tidak ada bandingannya di dalam agama non-Kristen manapun. Sebagian ajaran tersebut dengan jelas berasal dari Injil—terutama Khotbah di atas Bukit yang sangat populer tetapi ditampilkan dengan gaya Muslim. Yesus digambarkan melakukan ritual haji, membaca al-Quran, dan melakukan sujud dalam doanya.

Dalam riwayat-riwayat yang lain, Yesus mengartikulasikan secara terperinci apa yang menjadi perhatian Muslim. Dia telah menjadi salah satu teladan agung bagi para sufi Muslim, yang mengajarkan hidup sederhana, kerendahan hati, dan kesabaran. Kadang-kadang Yesus memihak satu kelompok dalam sebuah perselisihan teologis atau politis: membariskan dirinya bersama mereka yang mendukung kehendak bebas di dalam perdebatan mengenai takdir; memuji Muslim yang berdamai dengan prinsip politiknya (“Ketika para raja memberikan kebijaksanaan kepada kalian, maka sebaiknya kalian tinggalkan dunia untuk mereka”); atau mengecam para ulama yang melacurkan ajarannya demi keuntungan politis (“Janganlah kamu hidup dari Kitab Tuhan”).

Yesus telah diinternalisasi oleh Muslim sebagai teladan dan inspirasi dalam pencarian spiritual mereka. Muslim Syiah merasa bahwa ada suatu koneksi kuat antara Yesus dengan imam-imam mereka yang menerima ilham, memiliki kelahiran-kelahiran yang ajaib, dan mewarisi pengetahuan propetik dari ibu-ibu mereka. Para Sufi terutama mengabdikan diri mereka kepada Yesus dan menyebutnya sebagai “nabi cinta”. Mistikus ternama Abad ke-12 M, Ibn al-Arabi, menyebut Yesus sebagai “penutup orang-orang kudus”—secara sengaja disandingkan dengan Muhammad sebagai “penutup para nabi”.

Cinta Muslim kepada Yesus adalah contoh yang luar biasa dari cara bagaimana sebuah tradisi dapat diperkaya oleh tradisi yang lain. Ini tidak berarti bahwa orang-orang Kristen harus membayar pujian tersebut. Sementara Muslim mengoleksi riwayat-riwayat mereka mengenai Yesus, sarjana-sarjana Kristen di Eropa justru menghujat Muhammad sebagai seorang pemuja seks dan penipu ulung, yang sangat menyukai kekerasan. Namun, pada hari ini, baik Muslim maupun orang Kristen sama bersalahnya atas sikap fanatik semacam itu dan seringkali juga lebih suka untuk melihat hanya bagian terburuk dari satu sama lain.

Cinta Muslim kepada Yesus menunjukkan bahwa hal itu tidak harus selalu menjadi situasinya. Pada masa lalu, sebelum terjadinya kekacauan politik dari modernitas, Islam selalu mampu melakukan koreksi diri. Tahun ini, pada hari kelahiran Jesus, mereka mungkin dapat bertanya kepada diri mereka sendiri bagaimana mereka dapat menghidupkan kembali tradisi panjang mereka berkaitan dengan pluralisme dan penghargaan kepada agama-agama yang lain. Ketika merenungi empati Muslim terhadap iman mereka, orang-orang Kristen sebaiknya melihat kembali masa lampau mereka sendiri dan mempertimbangkan apa yang mungkin dapat mereka lakukan untuk membalas rasa hormat ini.


[Artikel ini dikutip dari harian Inggris the Guardian edisi 23 Desember 2006. Karen Armstrong adalah seorang peneliti dan sejarawan agama yang sangat produktif menulis buku-buku tentang sejarah agama dan tentang masalah-masalah sosial-keagamaan]

Selasa, 22 September 2015

Tarikh dan Syarah Khutbah as Syiqsyiqiyyah



KONTEKS
Ketika Sayyidina Ali, Fatimah az Zahra (sa) dan keluarga Rasulullah sedang memandikan jenazah Rasul dan mengurus pemakamannya, sebagian sahabat lebih memilih rapat di Saqifah untuk menentukan kepemimpinan politik setelah Rasul, meski Rasulullah sendiri telah mendeklarasikan bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai imam (pemimpin ummat dalam hal agama, politik, dan kemasyarakatan) dan khalifah (pemimpin ummat dalam hal politik dan kemasyarakatan) di Ghadir Khum, persis ketika Rasul hendak menyudahi haji wada’, persis ketika ayat 67 surah al Maidah diwahyukan oleh Jibril kepada Rasul.

Setelah menerima perintah wahyu yang berbunyi “Yaa ayyuhar rasul ballig maa unzila ilayka…..” (al Maidah ayat 67) tersebut, Rasulullah pun menyampaikan khutbah panjang, termasuk menyampaikan hadits tsaqalain (aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang teramat berat, al Qur’an dan itrah ahlul baitku) dan menyampaikan “Man kuntu maulahu fahadza ‘Ali maulahu” (Sesiapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka ‘Ali adalah pemimpinnya). Karena itulah, wajar jika saudara-saudara muslim kita yang lain tetap ingin mengenang momen tersebut.

KHUTBAH dan SYARAH
“Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.

Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.

Kemudian ia mengutip syair al-‘A’sya’: Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan). Sementara ada hari-hari (kemudahan). Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]

Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sambil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.

Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. 28:83).

Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mata mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.

Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn ‘Abbas –semoga Allah meridai keduanya– berkata, “Ya Amirul Muk-minin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya.” Atasnya ia menjawab, “Wahai Ibn ‘Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”

Ibn ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.

Sayid Syarif Radhi mencatat: Kata-kata dalam khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali.

Asynaq an-nāqah digunakan bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as telah mengatakan asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lahā seakan-akan sebagai ganti in rafa’a lahā ra’sahā, yakni “apabila ia menghentikannya dengan menarik kekang”.”

[i] Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang paling masyhur. Khotbah ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi), namun para ulama pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada pula dasar untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as dalam hal kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertalian dengan sejarah dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as maka manakah alasan untuk menyangkalinya? Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya, tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, kecuali apabila peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as karena mengandung peremehan terhadap individu-individu tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan oleh sejarawan lain pula.

Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah:

Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas. Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Syarif Radhi adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian, haruslah dikemukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak setuju dan tak senang.

Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Syarif Radhi, sebagian semasa dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan melalui isnad mereka sendiri-sendiri.

[1] Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana Ibnu ‘Abbas menyampaikan kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak lengkap, Ibnu Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang hendak diucapkannya.

Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan bahwa sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”

[2] Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu Ahmad) al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya Sayid Radhi.

[3] la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku Inshāf karya Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu ‘Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 205-206).

[4] Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh al-Balāghah, I, h. 252-253).

[5] Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minhājul Barā ‘ah fī Syarh Nahjul Balāghah: “Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’, al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu ‘Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’ Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Biharul Anwār, edisi pertama, jilid VIII, h. 160-161).

[6] Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahhab) al-Jubba’i (m. 303 H.).

[7] Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis: “Qadhi ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang Mu’tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa itu komposisi Amirul Mukminin.” (Ibid., h. 161).

[8] Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis: “Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami bahwa ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya bahwa Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu ‘Ammar Ibnu Khalid mengata¬kan kepadanya bahwa Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan kepadanya bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Ilal asy-Syarā’i, bab XXII, h. 360-361).

[9] Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut: “Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad Ibnu Abi ‘Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi ‘UMalr dan dia dari Aban Ibnu ‘Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syarā’i’, I, bab 122, h. 146; Ma’am al-Akhbar, bab 22, h. 361).

[10] Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id al-‘Askari (m. 382 H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih dalam. ‘Ial asy-Syard’i dan Ma ‘dni al-Akhbār.

[11] Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis: “Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu ‘māniyyah, h. 37).

[12] Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian sanad berikut: “Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf, yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim az-Za’farani, dan ia (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari Ya’qub Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan Ath-Thara’if, h. 202)

[13] Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me¬nulis: “(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar meriwayatkan khot¬bah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma’il Ibnu Ali Ibnu Ali) ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya Di’bil (Ibnu Ali al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A’yan dan dia dari Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137)

[14] Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man, m. 413 H.), guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini: “Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.” (Al-Irsyād, h. 135)

[15] ‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.

[16] Abu Manshur ath-Thabarsi menulis: “Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ia bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini.” (Al-Ihtijaj)

[17] Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis: “Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu ‘Abbas, yang mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk¬minin sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat Khawashsh al-Ummah, h. 73)

[18] Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya: “Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra), ‘Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'” (Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17)

[19] Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis: “Amirul Mukminin SayyidAl-‘Arifin Ali a.s. telah menyatakan dalam satu khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah yang menyembur keluar”. (al-‘Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India)

[20] Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah: “Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsāl, jilid I, h. 369)

[21] Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin.

[22] Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu dalam Majma’ al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul Muk¬minin dengan kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”

[23] Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dalam Lisan al-‘Arab, jilid XII, h. 54, dengan mengata¬kan, “Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda.”

[24] Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251): “Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena ketika Ibnu ‘Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia telah me-ninggalkannya, ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda.”

[25] Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan: “Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”

[26] Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh Nahjul Baldghah.

[27] Muhammad Muhyidin ‘Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagai ucapan Amirul Mukminin. Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini, tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.


[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka, ketika ‘Utsman diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini.” Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan “baju kekhalifahan” ini kepada Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak, kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah sebabnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa Abu Bakar membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukan Imam Ali sendiri sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti itu pula, ia berpendapat, “Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusatnya. Sayalah yang bertindak sebagai pengawal bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas imajinasi, tetapi pencari keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana.” (Sumber: Nahjul Balaghah dan Syarahnya) 


Rabu, 05 Agustus 2015

Mula Firqoh Islam (Bagian Pertama)





(Disarikan dari tulisan panjang Muhsin Pur Muhammad yang diterjemahkan oleh Nasir Dimyati, dengan sedikit penambahan)

Ayatullah Al-Uzhma Montazeri bercerita, ada seorang 'Alim Syi'ah melewati kelompok Sunni. Mereka meminta agar 'Alim Syi’ah itu bermalam di rumah mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab. Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Sunni, “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat, saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus, teruskan.” 'Alim Syi’ah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” 'Alim Syi’ah itu berkata, “Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama, 23 tahun tetapi ia tidak pernah memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya memerintah kurang dari tiga tahun, tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”

Tentulah kisah tersebut merupakan sebuah sindiran halus, yaitu bagaimana mungkin Rasulullah tidak memikirkan ummatnya jika beliau wafat, yang dengan demikian niscaya beliau berwasiat tentang khilafah dan imamah demi masa depan kaum muslim, selain imamah ini juga sesungguhnya telah ditegaskan oleh wahyu al Qur'an yang turun saat Haji Wada' yang kemudian disampaikan oleh Rasulullah di Ghadir Khum. Di mana ayat 67 surah Al-Maidah itu turun berkenaan dengan dipilihnya Imam Ali sebagai imam dan khalifah yang menggantikan tugas dan kepemimpinan Rasulullah, meski ketika Imam Ali dan Ahlulbait tengah sibuk memakamkan Rasulullah, sejumlah sahabat malah menyelenggarakan konferensi di Saqifah untuk memilih khalifah, di mana yang hadir di Saqifah itu adalah Umar bin Khattab sebagai inisiator konferensi dan Abu Bakar, selain banyak yang lainnya.

Andai Imam Ali tidak memikirkan ukhuwah dan mengabaikan resiko pertumpahan darah antara barisan Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad Al-Aswad, Bilal, Malik Ashtar yang dijuluki sang singa dari Yaman dan masih banyak lagi yang mendukung Imam Ali dengan barisan Umar bin Khattab dan Abu Bakar, niscaya beliau akan mengambil haknya. Maka karena itu, dikenal-lah istilah, "ia yang merelakan haknya demi ukhuwah, adalah khalifah yang sesungguhnya."

Begitulah, setelah Rasulullah saw pulang dari Haji Wada’, selama berhari-hari beliau hanya bisa berbaring sakit di atas ranjang, dan tepatnya pada hari Kamis, ketika banyak sekali sahabat yang berkumpul di sekeliling beliau, beliau bersabda: “Ituni bil kitfi wad dawati aktubu lakum kitaban lan tadhillu ba’dahu abada”; Ambilkan aku papan dan pena, karena aku ingin menuliskan sebuah wasiat penting untuk kalian yang setelah itu kalian tidak akan tersesat dari jalan yang benar selama-lamanya. Pada saat itu pula secara lancang Umar Bin Khattab berkata: Orang ini sedang dirundung oleh rasa sakit yang parah sehingga dia selalu mengigau, sekarang pun dia sedang mengigau, al-Qur’an bagi kita sudah cukup –dan tidak perlu lagi pada wasiat tertulis atau yang lain–. Sebagian orang yang hadir saat itu mendukung kata-kata Umar dan sebagian yang lain mengatakan: Patuhilah apa yang beliau perintahkan. Perselisihan antara mereka tidak bisa dihindarkan lagi, suasana berubah menjadi gaduh dan memanas sehingga nyaris terjadi baku hantam di antara mereka.

Perselisihan umat Islam dapat diselidiki dengan dua cara; historis dan teologis. Kendati dua kajian ini tidak bisa dipisahkan secara total antara satu dengan yang lain, akan tetapi masing-masing bisa memiliki pembahasan tersendiri. Dan apa yang menjadi konsentrasi tulisan ini adalah penyelidikan yang pertama. Penyelidikan historis perselisihan umat Islam harus dimulai dari masa hidupnya Rasulullah saw, apakah pada masa itu telah terjadi perselisihan dan perpecahan umat Islam atau tidak? Sudah barang tentu keberadaan Rasulullah saw sendiri merupakan cermin seluruh wajah Islam dan berselisih dengan beliau berarti berselisih dengan Allah swt, sebaliknya patuh kepada beliau berarti patuh kepada Allah swt. Maka dari itu, perselisihan terhadap Rasulullah saw merupakan arus cabang dan penyimpangan, konsekuensinya komunitas yang mengikuti arus itu tidak mungkin terbilang sebagai mayoritas umat Islam.

Sementara itu di Mina, saat umrah, Mereka bukan saja berteriak melainkan mereka membuat suasana menjadi kacau balau dengan duduk dan berdiri yang terus mereka ulangi”. Menurut laporan buku induk hadis Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal serta yang lain, periwayat mengatakan bahwa sekelompok orang pada waktu itu membuat suasana jadi sangat gaduh dan bising sehingga nyaris membuat telingaku menjadi tuli!. Ada satu poin penting di sini yang jangan sampai dilewatkan begitu saja, yaitu ungkapan an-nas atau sekelompok orang di dalam riwayat-riwayat ini, dan sangat mungkin jika orang-orang itu pula yang kemudian di Ghadir Khum berusaha menghalang-halangi suara sabda Rasulullah saw untuk sampai ke telinga hadirin dan pada akhirnya mukjizat Allah swt membungkam telinga dan melumpuhkan usaha mereka tersebut lalu berfirman kepada beliau (yang artinya):

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan maka –sama dengan– kamu tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah menjagamu dari –bahaya– manusia”. (QS. AlMaidah: 67). Orang-orang itulah yang kemudian di saat-saat terakhir hayat Rasulullah saw membantah permintaan beliau untuk mengambilkan pena dan tinta agar beliau tuliskan wasiat penting sebelum meninggal.

Arus pembangkangan terhadap Rasulullah saw semakin serius dan sering terjadi pada akhir hayat beliau. Di hari-hari menjelang kematian, Rasulullah saw memerintahkan Usamah bin Zaid “Bentuklah pasukan besar lalu bergeraklah menuju Mu’tah, tempat terbunuhnya bapakmu”. Praktis, Rasulullah saw telah mengangkat Usamah sebagai panglima perang, dan saat itu beliau sangat menekankan kepada Usamah dan bala tentaranya agar segera keluar dari kota Madinah, bahkan beliau juga menekankan kepada orang-orang tua seperti Abu Bakar dan Umar untuk mematuhi perintah panglima perang muda yang bernama Usamah. Akan tetapi pada kenyataannya ada sekelompok sahabat beliau yang membangkang perintah beliau dengan alasan Usamah masih terlalu muda untuk menjadi panglima kita. Dan ketika berita pembangkangan itu sampai ke telinga Rasulullah saw, beliau marah sekali dan walaupun dalam keadaan sakit beliau segera keluar dari rumah dan naik ke atas mimbar seraya bersabda kepada komplotan pembangkang itu:

“Telah sampai kepadaku berita pembangkangan kalian terhadap Usamah, dan betapa buruknya pembangkangan itu? Dulu kalian pula orang-orang yang iri terhadap kepanglimaan bapak Usamah dan kalian cemooh dia. Demi Allah, pada waktu itu dia (Zaid bapak Usamah) lebih layak menjadi panglima perang daripada kalian, dan dalam hal ini putranya yang bernama Usamah juga lebih layak daripada kalian”.

Demikianlah, salah satu fenomena penting sejarah Islam yang secara serempak dicatat baik oleh literatur Syi’ah maupun Sunni adalah fenomena yang terkenal dengan sebutan Petaka Hari Kamis. Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair bahwa dia mengatakan, ‘Ibnu Abbas sering sekali menangis. Kadang-kadang lama sekali menangis sampai tanah di bawah kakinya menjadi basah, ketika itu dia selalu mengatakan: Hari Kamis, oh Hari Kamis. Aku bertanya kepadanya: Apa gerangan Hari Kamis? Dia menjawab: Hari Kamis adalah hari ketika mereka bertengkar satu sama lain di sisi Rasulullah saw, padahal sungguh tidak pantas mereka bertingkah konyol seperti itu di sisi beliau. Begitu pula telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia mengatakan: Petaka oh petaka, semua malapetaka ini bermula dari saat mereka halangi Rasulullah saw untuk menulis surat wasiatnya.

Soal penting apa yang ingin ditulis oleh Rasulullah saw pada situasi yang sensitif itu mudah sekali untuk dimengerti dari pembangkangan Umar Bin Khattab dan sejumlah orang yang mendukungnya, yaitu soal wilayah dan khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, karena jelas pembangkangan itu dilakukan oleh orang-orang itu juga, dan merekalah yang merasa ada bahaya, sudah barang tentu penjelasan undang-undang universal atau hukum parsial bukanlah bahaya yang mengancam mereka sehingga mereka terpaksa harus membuat kerusuhan seperti itu dan menyakiti hati Rasulullah saw di depan umum. Anehnya, cerita papan dan pena ini juga terjadi pada saat-saat akhir kehidupan Abu Bakar, dan walaupun pada saat itu Abu Bakar sedang dalam keadaan pingsan dan belum sempat mengatakan apa-apa akan tetapi Usman tetap saja menulis wasiat dari pihak Abu Bakar bahwa orang yang berhak menjadi khalifah setelah dia adalah Umar. Walau kondisi yang dialami oleh Abu Bakar lebih parah dari kondisi Rasulullah saw pada riwayat papan dan pena akan tetapi ketika itu Umar sama sekali tidak mengatakan Abu Bakar sedang mengigau, jelas hal itu karena target yang dia inginkan sedang tercapai.

Menurut riwayat-riwayat Syi’ah Imamiyah dan sebagian riwayat mazhab Sunni, Rasulullah saw meninggal dunia pada tanggal dua puluh delapan bulan Shafar tahun sepuluh hijriah. Wafat beliau telah menyelimutkan kesedihan ke seluruh penjuru Madinah, muslimin tidak pernah menyaksikan hari yang lebih menyedihkan dari hari itu sehingga setiap kali ada hari yang penuh petaka dan musibah setelah itu maka mereka perumpamakan dengan hari wafatnya Rasulullah saw. Tepatnya ketika umat Islam sedang dirundung duka nestapa, dengan suara lantang Umar bin Khattab berteriak: Celakalah kalian semua, Muhammad tidak mati melainkan dia sedang menemui Tuhannya sebagaimana Isa putra Maryam ... Barangsiapa yang mengatakan dia mati maka akan kupenggal kaki dan tangannya. Soal apa kepentingan Umar di balik permainan ini; apakah dia bermaksud untuk membius urat syaraf massa sampai Abu Bakar, yang keluar keluar ke sekitar Madinah, datang dan bersama-sama dengannya merealisasikan target-target yang sudah mereka rencanakan? Adalah tema yang layak untuk didiskusikan.

Perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara sahabat khususnya pada akhir hayat Rasulullah saw dan penegasan beliau yang berulang-ulang mengenai hak Ali untuk menjadi khalifahnya memberitahukan kepada kita bahwa pada masa hidup Rasulullah saw minimal ada dua kategori besar yang memiliki mental dan kecenderungan yang berseberangan; satu di antaranya pasrah dan secara mutlak mematuhi sabda Rasulullah saw. serta tidak pernah lesu untuk memperjuangkan tuntutan beliau, orang yang paling terkemuka dari kategori sahabat ini adalah Ali bin Abi Thalib as, ada pun yang lain adalah sekelompok sahabat yang tanpa merasa ada beban dan secara terang-terangan melakukan pembangkangan terhadap Rasulullah saw, mereka tunjukkan pembangkangan itu di saat-saat terakhir hayat beliau dengan perhitungan yang matang dan perencanaan yang teliti sehingga terjadilah fenomena Saqifah. Pada saat itulah dua kelompok sahabat ini terpisah antara satu sama yang lain. Dan meskipun banyak sekali ayat al-Qur’an tentang kelompok munafik bahkan ada surat yang diberi nama al-Munafiqun namun setelah kejadian Saqifah dan Abu Bakar telah menduduki posisi khilafah tidak ada perlawanan terhadap kelompok munafik tersebut! Walaupun demikian kenyataannya, selama Rasulullah saw masih hidup umat Islam masih memiliki persatuan yang khas, tapi perbedaan dan pembangkangan sebagian dari mereka di saat-saat akhir hayat beliau telah melatarbelakangi perselisihan dan perpecahan yang lebih dalam pasca kematian beliau. (Bersambung)

Senin, 27 Juli 2015

Diskusi tentang Syi’ah dengan Sayid Baqir al Shadr




Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi (ulama dan penulis Tunisia)

Bersama Abu Syubbar aku pergi ke rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr. Dalam perjalanan, Abu Syubbar memperlakukanku dengan sangat mesra dan bercerita ringkas tentang beberapa ulama yang masyhur dan tentang taklid dan sebagainya. Setibanya kami di rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, kudapati rumahnya penuh sesak dengan para Thalabah (pelajar Hauzah) yang kebanyakannya para pemuda yang memakai sorban. Sayed berdiri menyambut kedatangan kami. Setelah diperkenalkan, beliau menyambutku begitu mesra dan menempatkanku di sisinya. Beliau bertanya tentang Tunisia dan aljazair dan beberapa ulama yang terkenal seperti al-Khidhir Husain, Thahir bin A'syur dan lain sebagainya. Aku merasa gembira sekali dengan obrolannya.

Sayed Baqir Sadr walau memiliki wibawa yang sangat agung di sisi pengikut-pengikutnya, namun kudapati diriku tidak begitu kaku dengannya seakan telah kukenal beliau sejak lama sebelum pertemuan itu.

Banyak ilmu yang sempat kutimba dari pertemuan kami pada waktu itu. Kudengar berbagai pertanyaan diajukan kepada Sayed, lalu kemudian dijawabnya dengan bijak. Waktu itu aku betul-betul menyaksikan betapa tingginya nilai mentaklid para ulama yang masih hidup. Karena mereka akan segera menjawab setiap persoalan yang diajukan kepada mereka dengan sejelas-jelasnya. Sejak saat itu, aku mulai yakin bahwa Syi'ah adalah kaum muslimin yang menyembah Allah SWT dan beriman kepada Risalah Nabi kita Muhammad SAW. Sebelumnya aku masih ragu, dan setan juga menaburkan rasa was-was bahwa segala apa yang kusaksikan adalah suatu sandiwara semata-mata. Dan mungkin inilah yang dikatakan oleh mereka sebagai Taqiyah, yakni menampakkan sesuatu yang tidak mereka percayai. Tetapi sikap demikian akhirnya segera lenyap dari benakku. Karena -pikirku- tidak mungkin setiap orang yang kulihat dan kusaksikan dengan bilangan yang mencapai ratusan semuanya akan bersandiwara. Untuk apa mereka lakukan itu padaku? Dan siapa aku? Apa yang mereka harus khawatirkan dariku sehingga mau bertaqiyah dihadapanku? Bukankah di sini ada kitab-kitab mereka cetakan lama dan baru. Semua mengesakan Allah dan memuji-muji Rasul-Nya Muhammad SAW. seperti yang kubaca dalam berbagai mukaddimahnya. Kini aku tengah berada dirumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, seorang Marja' (mujtahid yang diikuti fatwanya) Syi'ah yang sangat terkenal di Irak dan di luar Irak. Dan setiap kali nama Muhammad disebut, maka semua akan mengangkat suara agak keras membaca salawat: Allahumma Shalli A'la Muhammad Wa Aali Muhammad.

Waktu shalat tiba. Kami pergi ke masjid yang terletak di samping rumah. Kami shalat Dzuhur dan Asar yang diimami sendiri oleh Sayed Muhammad Baqir Sadr. Ketika itu terasa dalam diriku seakan aku tengah hidup di sekitar para sahabat yang mulia. Di antara dua shalat diselingi bacaan doa dengan suara yang sangat memilukan hati. Sungguh terharunya aku dan terkesan sangat dalam. Usai baca doa, secara serentak para jama'ah membaca salawat beramai-ramai: Allahumma Shalli A'la Muhammad Wa Aali Muhammad. Isi doa semuanya berupa pujian pada Allah SWT, Muhammad serta keluarganya yang suci dan baik. Sayed Sadr tetap duduk di mihrabnya seusai shalat. Sebagian orang datang menyalaminya lalu mengajukan berbagai pertanyaan secara perlahan atau kadang-kala dengan suara yang agak keras. Dan Sayed juga menjawab setiap pertanyaan dengan perlahan apabila pertanyaannya memang demikian. Dari sana kupahami bahwa pertanyaan tersebut adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah pribadi. Apabila jawaban yang diharapkan telah diperoleh, maka sipenanya akan mencium tangannya kemudian pergi. Berbahagialah mereka dengan orang alim yang mulia ini yang ikut membantu menyelesaikan segala permasalahan mereka dan ikut serta dalam suka dan duka mereka.

Sambutan Sayed yang demikian hangat serta perhatiannya yang begitu tinggi membuatku seakan berada di tengah keluargaku sendiri. Kurasa seandainya aku berada bersamanya selama satu bulan saja, niscaya aku akan menjadi Syi'ah karena melihat akhlaknya yang sangat tinggi, sikap tawadhu'-nya dan kemurahan hatinya. Setiap kali mataku terpandang pada matanya kulihat beliau tersenyum dan memulai menyapaku. Beliau juga menanyakan keadaanku yang mungkin perlu bantuan dan sebagainya. Alhasil, sambutannya padaku sangat mesra sekali.

Selama empat hari aku jadi tamunya. Dan selama itu pula aku tidak berpisah dengannya kecuali saat tidur saja, kendati pun yang datang berziarah atau ulama-ulama yang berkunjung padanya cukup banyak. Aku juga berjumpa dengan orang-orang Saudi di sana. Aku tidak pernah tahu bahwa orang-orang Syi'ah juga ada di Hijaz. Demikian juga ulama-ulama dari Bahrain, Qatar, Emirat Arab, Lebanon, Syria, Iran, Afghanistan, Turki dan Afrika. Sayed berbicara dengan mereka dan membantu hajat-hajat mereka. Semua yang keluar dari rumahnya menampakkan kegembiraan hati. Aku tidak akan pernah lupa pada suatu peristiwa yang kusaksikan di hadapan mataku sendiri dimana Sayed dapat menyelesaikannya sebuah persoalan yang berat dengan begitu bijak. Kukatakan demikian karena ia menyirat suatu pelajaran yang sangat penting agar kaum muslimin tahu betapa ruginya mereka lantaran meninggalkan hukum-hukum Allah.

Ada empat orang datang menghadap Sayed Muhammad Baqir Sadr. Aku menduga bahwa mereka adalah penduduk Iraq sendiri, karena logat bahasanya kupahami demikian. Seorang dari mereka telah memperoleh waris sebuah rumah dari datuknya yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kemudian rumah tersebut dijualnya kepada orang kedua yang juga hadir di sana. Setahun setelah penjualan, datanglah dua orang yang mengaku sebagai pewaris syar'i (sah) dari si mayit. Keempat-empat mereka duduk di hadapan Sayed, dan masing-masing mengeluarkan berbagai kertas dan surat bukti. Setelah Sayed membaca surat-surat tersebut dan berbicara sejenak dengan mereka, kemudian dia keluarkan fatwanya seadil-adilnya: si pembeli tetap mempunyai hak atas rumah yang dibelinya; dan si penjual juga harus memberikan hak waris bagian dua saudara tadi dari hasil jualannya. Usai Sayed memberi fatwa empat orang ini kemudian berdiri lalu mencium tangan Sayed dan mereka saling berpelukan tanda damai dan setuju.

Aku sangat terkejut dan seperti tidak percaya. Kutanyakan kepada Abu Syubbar apakah kasusnya telah selesai. Ya, jawabnya. Setiap mereka telah mendapatkan haknya masingmasing. Subhanallah. Semudah ini dan dalam waktu yang sesingkat ini; hanya beberapa saat saja permasalahan itu dapat diselesaikan! Kasus seperti ini apabila terjadi di negeri kami, paling tidak ia akan memakan waktu sepuluh tahun sampai kadang-kadang sebagian dari mereka telah mati lalu kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Tambah lagi mereka harus bayar biaya pengadilan, pengacara dan lain sebagainya yang kebanyakannya tidak kurang dari nilai rumah itu sendiri. Mula-mula pengadilan umum, kemudian negeri lalu mahkamah agung sampai akhirnya semua kecewa setelah melalui serangkaian kekusutan serta biaya yang mahal dan menyogok sana-sini yang tidak sedikit. Disamping sikap permusuhan dan kebencian yang timbul antar keluarga akibat dari semua itu.

"Hal seperti itu juga ada di sini; bahkan lebih dari itu." Kata Abu Syubbar menjawab.

"Maksud Anda?" Tanyaku. "Jika orang mengangkat permasalahan mereka dan mengajukannya kepada pengadilan negeri maka hasilnya seperti yang Anda ceritakan tadi. Namun jika mereka mentaklid seorang Marja' agama dan terikat dengan hukum-hukum Islam maka mereka tidak akan mengangkat permasalahan mereka kecuali kepadanya saja. Dan si Marja' pada gilirannya akan menyelesaikan masalah mereka dalam waktu yang sangat singkat seperti yang Anda saksikan. Apakah ada Hakim yang lebih baik selain daripada Allah bagi orang-orang yang berakal? Sayed Sadr juga tidak memungut sebarang biaya dari mereka. Apabila mereka pergi ke instansi pemerintah yang berkaitan niscaya mereka akan menderita kerugian yang tidak sedikit."

"Subhanallah. Aku masih tidak percaya apa yang kulihat. Kalaulah mata ini tidak menyaksikannya sendiri mana mungkin aku akan percaya pada kejadian ini."

"Begitulah wahai saudaraku. Kasus ini masih ringan dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain yang lebih rumit dan menyangkut nyawa. Tapi para marja' ini dapat menyelesaikannya dalam waktu yang relatif singkat."

"Jadi di Irak ini ada dua pemerintahan, pemerintahan negara dan pemerintahan ulama, begitu?" Tanyaku takjub.

"Tidak. Di sini ada pemerintahan negara saja. Namun kaum muslimin dari mazhab Syi'ah yang bertaklid pada marja' mereka tidak memiliki sebarang hubungan dengan pemerintahan. Karena ia adalah pemerintahan Ba'ath bukan pemerintahan Islam. Mereka patuh pada hukum-hukum sipil, pajak, dan hal-hal pribadi lainnya. Seandainya terjadi suatu kasus antara seorang muslim yang shaleh dengan seorang muslim lain yang tidak shaleh, maka pasti ia akan terpaksa mengangkatnya kepada pengadilan negeri. Karena orang kedua ini tidak setuju dengan ketentuan hukum para ulama. Namun jika yang berselisih adalah sesama orang-orang mukmin, maka mereka akan mengembalikannya kepada para marja'. Apa saja yang dihukumkan oleh marja' tersebut akan diterima oleh semua tanpa ada sebarang keberatan. Itulah kenapa kasus-kasus tertentu dapat diselesaikan oleh para marja' dalam waktu satu hari, sementara pengadilan negeri mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun." Peristiwa itu menggetarkan jiwaku hingga kemudian kurasakan suatu kesadaran untuk rela atas segala hukum Allah SWT. Dari situ aku memahami makna firman Allah yang bermaksud: "Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang yang zalim. Dan barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orangorang fasik" (QS. Al-Maidah: 44,45,47)

Jiwaku juga memberontak dan memprotes orang-orang zalim yang telah mengubah hukum-hukum Allah SWT yang adil kepada hukum buatan manusia yang zalim. Bahkan mereka mengejek hukum-hukum Allah dengan cara yang keji. Mereka katakan bahwa hukum Allah adalah barbarism dan kejam karena menegakkan hukum hudud yang memotong tangan pencuri dan merajam pezina serta membunuh si pembunuh. Dari mana datangnya teori-teori yang asing seperti ini? Sudah pasti ia datang dari barat dan dari musuh-musuh Islam yang melihat bahwa pelaksanaan hukum-hukum seperti itu berarti tamatnya kekuasaan mereka secara total. Hal ini tiada lain karena mereka sendiri adalah para pencuri, pengkhianat, pezina dan pembunuh. Apabila hukum-hukum Allah dilaksanakan terhadap mereka maka kita sudah aman dari mereka.

Pada hari-hari yang penuh kenangan itu terjadi serangkaian diskusi antara aku dan Sayed Sadr. Kuajukan padanya berbagai pertanyaan, besar atau kecil dari kesimpulan yang kubuat setelah berbagai diskusi dengan teman-teman, baik yang berkaitan dengan akidah, sahabat (semoga Allah meridhai mereka) atau kepercayaan mereka akan imam dua belas, Ali dan anak-anaknya dan lain sebagainya yang tidak sama dengan akidah kami.

Kutanyakan kepada Sayed Sadr tentang Imam Ali, kenapa namanya diucapkan dalam azan dengan sebutan Waliullah. Beliau menjawab: "Amir al-Mukminin Ali as. adalah di antara hamba Allah yang dipilih oleh-Nya untuk meneruskan tanggung-jawab mengemban Risalah setelah para nabiNya. Mereka adalah para wasi Nabi. Setiap nabi memiliki wasi, dan wasi Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Kami mengutamakannya atas semua sahabat karena Allah dan Rasul-Nya mengutamakan-Nya. Dan kami mempunyai dalil aqli dan naqli, AlQuran dan Sunnah dalam hal ini. Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan kebenarannya, lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad kami, dan hatta dalam jalur sanad Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Para ulama kami telah menulis berbagai buku tentang hal ini. Ketika pemerintahan Bani Umayyah coba menghapuskan kebenaran ini dan memerangi Amir al-Mukminin Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka bahkan mencaci dan melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta memaksa mereka untuk berbuat serupa, melihat ini maka Syi'ah Ali dan para pengikutnya, semoga Allah meridhai mereka, tetap mengikrarkan bahwa beliau adalah Waliyullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang mencaci Waliyullah. Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap penguasa yang zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat dikembalikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan biarlah ia wujud sebagai bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang datang berikutnya, agar mereka tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan musuh-musuhnya."

"Para fuqaha (ahli fiqih) kami mengatakan bahwa syahadat kepada wilayah Ali di saat azan adalah sunnat semata-mata, dan dengan niat bahwa ia bukan bagian dari azan atau iqamah. Apabila seorang muazin menganggap bahwa itu adalah bagian dari azan dan iqamah maka azannya dianggap tidak sah. Dan hal-hal sunnat dalam ibadah dan mu'amalat banyak sekali jumlahnya. Seorang muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan berdosa apabila meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis disebutkan bahwa usai mengucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad dalam azan, disunatkan juga bersyahadat (bersaksi) bahwa surga itu adalah benar; neraka itu adalah benar; dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya."

Kukatakan bahwa para ulama kami mengajarkan bahwa Sayyidina Abubakar as-Shiddiq adalah khalifah yang paling utama, kemudian Sayyidina Umar al-Faruq, Sayyidina Utsman baru kemudian Sayyidina Ali, semoga Allah meridhai mereka semua.

Sayed diam sejenak. Kemudian berkata: "Mereka boleh berkata apa saja tetapi jauh sekali untuk bisa membuktikannya secara valid. Di samping ia bertentangan dengan apa yang tertulis dalam kitab-kitab mereka yang sahih dan muktabar. Di sana tertulis bahwa manusia yang paling utama adalah Abubakar, kemudian Utsman. Tidak ada kata-kata Ali sama sekali. Justru Ali dijadikan sebagai manusia awam semata-mata. Namun para ahli sejarah juga menyebutnya lantaran menyebut-nyebut para khulafa' rasyidin saja."

Aku tanyakan juga tentang tanah yang digunakan untuk sujud, atau yang biasa disebut dengan Turbah Husainiyah. Beliau menjawab: "Pertama-tama wajib diketahui bahwa kami bukan sujud kepada tanah, seperti yang disangka oleh mereka yang benci pada Syi'ah, tapi kami sujud di atas tanah. Sujud hanya untuk Allah semata-mata. Apa yang terbukti secara dalil bagi kami dan juga di sisi Ahlu Sunnah bahwa yang utama adalah sujud di atas tanah atau di atas sesuatu yang tumbuh dari tanah, tapi bukan sejenis dari bahan makanan. Selain dari itu tidak sah sujud di atasnya. Dahulunya Rasulullah SAW. duduk di atas tanah dan menjadikan sebongkah tanah sebagai tempat sujudnya. Beliau juga mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian juga sehingga mereka sujud di atasnya, dan di atas batu-batu kecil. Baginda melarang mereka sujud di atas ujung bajunya. Hal ini diketahui sangat lumrah sekali di sisi kami."

"Imam Zainal Abidin dan Sayyid as-Sajidin Ali bin Husain a.s. mengambil tanah dari kuburan ayahnya Abu Abdillah al-Husain as-Syahid sebagai turbahnya. Ini karena tanahnya bersih dan suci dan telah disiram oleh darah Sayyidis-syuhada' (penghulu para syahid). Dan para syi'ahnya meneruskan kebiasaan ini sehingga ke hari ini. Kami tidak mengatakan bahwa sujud di atas selainnya bermakna tidak sah. Sujud akan sah di atas sebarang tanah atau sebarang batu yang suci, sebagaimana ia juga akan sah sujud di atas tikar atau tempat ambal yang dibuat dari pelepah kurma dan sejenisnya."

Kutanyakan lagi tentang peringatan Sayyidina Husain a.s, kenapa Syi'ah menangis dan memukul-mukul dada sehingga berdarah? Bukankah ini haram di dalam Islam. Nabi juga telah bersabda: "Bukan dari golongan kami mereka yang memukul-mukul pipi dan mengoyak-ngoyak baju serta melakukan seperti perbuatan Jahiliah."

Sayed menjawab : "Hadis itu memang sahih, tapi ia tidak dapat diterapkan untuk peringatan Abu Abdillah al-Husain. Mereka yang menyeru pada perjuangan Husain dan mengikut jejaknya, perbuatan ini bukan sejenis perbuatan Jahiliah. Lalu di dalam mazhab Syi'ah ada manusia yang beragam, ada yang alim dan ada juga yang jahil. Kesemua mereka mempunyai rasa emosi. Jika di dalam mengingat kesyahidan Husain dan apa yang terjadi kepada keluarganya serta para sahabatnya, -yang dibunuh atau yang ditawan- lalu perasaan emosinya menguasai mereka, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Karena niat mereka adalah fi sabilillah semata-mata. Dan Allah memberikan ganjaran kepada hambahamba- Nya sekadar niatnya masing-masing. Seminggu yang lalu saya membaca suatu kenyataan resmi dari pemerintahan Mesir sempena kematian Jamal Abdul Nasir. Dikatakan bahwa mereka telah mencatat delapan kasus bunuh diri karena mendengar kematian Jamal Abdul Nasir. Ada yang menerjunkan diri dari atas bangunan yang bertingkat; ada yang menerjunkan diri ke bawah rel keretapi dan sebagainya. Adapun mereka yang terluka jumlahnya cukup banyak. Ini saya sebutkan sebagai contoh bagaimana emosi manusia kadang-kadang bisa menguasai manusia itu sendiri. Jika manusia muslim sampai membunuh diri lantaran kematian Jamal Abdul Nasir, padahal dia mati secara wajar, maka tidak ada hak bagi kita untuk menghukumi bahwa Ahlu Sunnah adalah salah. Dan tidak ada hak bagi Ahlu Sunnah juga menghukumi saudara-saudara mereka dari Syi'ah salah lantaran menangisi Sayyid as-Syuhada' al-Husain. Mereka meratapi penderitaan Husain sampai sekarang. Rasulullah sendiri pernah menangis untuk Husain, dan Jibril juga menangis karena tangisnya Rasulullah."

"Kenapa Syi'ah menghiasi kuburan wali-wali mereka dengan emas dan perak sementara ia haram di dalam Islam?" Tanyaku lagi.

"Ini tidak hanya ada di dalam Syi'ah dan juga tidak haram. Lihatlah masjid-masjid saudara kami dari golongan Ahli Sunnah, di Iraq, Mesir, Turki atau negara-negara Islam yang lain. Rata-rata dihiasi dengan emas dan perak. Begitu juga dengan masjid Rasulullah SAW. di Madinah al-Munawwarah dan Baitullah al-Haram di Mekah yang setiap tahun dipakaikan dengan perhiasan emas yang baru dengan perbelanjaan berjuta-juta. Ini tidak hanya ada pada mazhab Syi'ah saja."

"Ulama-ulama Saudi berkata bahwa mengusap tangan diatas kubur, minta doa dari orangorang yang shalih serta mengambil berkat dari mereka semua itu adalah syirik kepada Allah. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?"

"Jika mengusap tangan di atas kubur dan menyebut nama-nama penghuninya dengan niat bahwa mereka memberi manfaat atau mendatangkan madharaat (kerugian), maka tak ragu-ragu lagi ia adalah syirik. Orang-orang muslim adalah orang yang muwahhid (bertauhid) dan mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat atau madharrat. Mereka menyeru para wali dan imam a.s. semata-mata sebagai wasilah atau perantara mereka kepada Allah SWT. Ini tidak syirik. Kaum muslimin, Sunnah dan Syi'ah, sepakat dalam hal ini sejak zaman Rasul sehingga sekarang. Melainkan Wahhabiah atau ulama-ulama Saudi seperti yang Anda sebutkan. Mereka telah melanggar ijma' kaum muslimin dengan mazhab mereka yang baru muncul di abad ini. Mereka telah memfitnah kaum muslimin dengan akidah mereka ini, mengkafirkan mereka dan bahkan menghalalkan darah mereka. Para jemaah haji Baitullah al-Haram dipukul lantaran mereka berkata: Assalamu Alaika Ya Rasulullah. Dan tidak diperkenankan siapapun untuk menyentuh kuburan suci Nabi Muhammad SAWW. Mereka telah berdiskusi dengan ulama kami beberapa kali, tapi mereka tetap sombong untuk menerima kebenaran."

"Sayed Syarafuddin, seorang di antara ulama Syi'ah ketika pergi haji ke Baitullah al-Haram di zaman raja Abdul Aziz Al Saud, adalah di antara ulama ke istana raja untuk merayakan Hari Raya Aidul Adha bersama raja. Ketika tiba gilirannya untuk bersalaman dengan raja, dihadiahkannya kepada raja sebuah mushaf Al Quran yang bercover kulit binatang. Raja menerima hadiah mushaf tersebut lalu diciumnya dan diletakkannya di atas dahi sebagai tanda penghormatan dan pentakziman. Sayed Syarafuddin kemudian berkata ketika itu: "Wahai Raja, kenapa Anda mencium kulit dan mengagungkannya. Bukankah ia hanya berupa kulit kambing, tidak lebih?" "Yang kumaksudkan adalah pentakziman kepada Al Quran al- Karim yang ada di dalamnya, bukan kepada kulit ini." jawab Raja. Sayed Syarafuddin berkata: "Anda bijak hai Raja. Begitulah juga ketika kami mencium pintu-pintu kuburan Nabi atau dinding-dindingnya. Kami tahu bahwa itu semua adalah besi yang tidak memberi sembarang manfaat atau mudharrat. Kami bermaksud mencium orang yang ada di balik besi dan kayu- kayu itu. Kami bermaksud mentakzim-kan Rasulullah SAW, sebagaimana Anda bermaksud mentakzimkan Al Quran dengan mencium kulit kambing yang membungkus Al Quran ini." "Para hadirin mengucapkan takbir sebagai tanda kagum atas Sayed ini. Mereka berkata: Anda benar, Anda benar. Akhirnya raja terpaksa mengizinkan para jemaah haji untuk melakukan tabarruk (mengambil berkat) dari peninggalan-peningalan Nabi SAW. sehinggalah datang raja berikutnya. Kemudian ia dilarang kembali."

"Perkara yang sebenarnya bukan karena mereka takut kaum muslimin akan syirik kepada Allah. Tetapi disana ada motivasi politik untuk menguasai kaum muslimin dan memperkuat kerajaan mereka. Sejarah adalah sebaik-baik bukti atas apa yang mereka lakukan terhadap ummat Muhammad SAW "

Aku tanya juga tentang tarikat-tarikat Sufi. Jawabnya singkat, "Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Yang positif seperti membina diri dan mendidiknya untuk sederhana di dalam hidup dan bersikap zuhud atas kenikmatan-kenikmatan dunia serta melatih diri untuk berangkat tinggi ke alam ruh yang suci. Sementara yang negatif seperti menyendiri dan lari dari realitas kehidupan, terbatas hanya berzikir kepada Allah secara lafzi dan sebagainya. Islam seperti yang diketahui mengabsahkan yang positif dan membuang jauh-jauh yang negatif. Kita layak mengatakan bahwa semua prinsip Islam adalah positif."