Jumat, 14 November 2014

Fritjof Capra dan Eco-Literacy



Radar Banten, 21 Mei 2014

Secara singkat, eco-literacy adalah kesadaran ekologis atau melek ekologi, baik secara kognitif maupun praksis. Istilah ini pertamakali dikenalkan oleh Fritjof Capra dalam bukunya yang berjudul The Web of Life yang di-Indonesiakan menjadi Jaring-jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan, dan juga bukunya yang berjudul The Hidden Connection itu. Ada sebuah nubuat menarik yang disampaikan Capra dalam bukunya yang berjudul The Hidden Connection, itu bahwa ada dua perkembangan dalam dunia modern yang memiliki dampak tak terabaikan bagi masyarakat. Pertama adalah kebangkitan kapitalisme global, yang kedua adalah lahirnya kesadaran ekologis, di mana yang pertama dan yang kedua tersebut saling bertentangan dan bertolak-belakang satu sama lain. Meski demikian, berkat gerakan ekologis bernama eco-literacy, yang kemudian dalam praksisnya dikenal dengan mewujudkan eco-design tersebut, upaya untuk menciptakan industri yang ramah lingkungan pun akhirnya terus diupayakan dan masih terus selalu diupayakan hingga saat ini.

Capra sendiri sebelumnya dikenal sebagai seorang fisikawan energi tinggi sebelum terjun ke dalam minat dan praksis ekologis setelah perjumpaan dan pergulatannya dengan kearifan dan mistisisme Timur, termasuk dari filsafatnya Mulla Sadra. Tak hanya dari kearifan Timur, sebagai seorang pemikir dan ilmuwan, Capra juga terinspirasi ceramah dan bukunya fisikawan Austria, Erwin Schrodinger, yang berjudul What is Life?, yang kelak menjadi gagasan dasar Capra sendiri ketika bersentuhan dan bergulat dengan soal-soal eksistensi dunia dan hidup, termasuk yang kelak berkaitan dengan wacana ekologis yang ditulisnya.

Relevansi eco-literacy seperti yang digagas Capra tersebut tentu saja pas dan terasa dalam konteks masyarakat dan dunia global saat ini yang acapkali ditimpa masalah-masalah ekologis, kerusakan lingkungan, dan maraknya bencana alam akibat kerusakan lingkungan dan terkikisnya keseimbangan ekosistem atau keselarasan ekologis. Persis, di sinilah, menurut Capra dengan wawasan fisika dan ekologisnya itu, unsur-unsur yang ada dan membentuk hidup kita, atau segala realitas yang tampak dan tidak tampak dalam semesta dan di bumi kita ini, memiliki hubungan dan keterkaitan satu sama lain, tak ubahnya jaring-jaring kehidupan dan hidup itu sendiri. Sebagai contoh, jika hutan dan gunung mengalami pegundulan, penebangan serta perusakan, maka rusak pula sistem dan tempat penyimpanan (serta penyaringan dan penahan) air, yang akibatnya adalah terjadinya longsor dan erosi tanah, yang akhirnya merubah lempengan dan komposisi bumi itu sendiri.

Bagaimana Dengan Sampah Komoditas?

Yang juga menjadi perhatian atau konsen eco-literacy dan eco-design adalah masalah sampah dan dampaknya yang tidak kecil. Dalam konteks ini, kepedulian ekologis tak cukup hanya di tingkatan wacana saja, tapi dibutuhkan solusi praktis. Misalnya, mengembangkan dan berusaha melakukan inovasi dalam bidang industri yang selaras dengan perawatan alam dan lingkungan dan sanggup meminimalisir residu (sampah). Contohnya, memaksimalkan re-cycling atau upaya daur ulang sampah menjadi produk dan komoditas yang bermanfaat. Jepang dan Korea Selatan dengan Landfill Recovery Project-nya terbilang sebagai dua Negara yang sukses melakukan hal tersebut.

Dengan kata lain, dan ini sebagaimana ditegaskan oleh Capra sendiri, untuk mewujudkan visi eco-literacy dan eco-design dibutuhkan dukungan di tingkat political policy atau di tingkat kebijakan pemerintah sendiri, utamanya pemerintah pusat. Sebab, seperti jamak kita ketahui, sumber daya alam tertentu memiliki potensi akan habis bila dieksploitasi dengan tanpa perhitungan dan secara berhamburan. Di sini kita ingat pepatah bangsa kita sendiri yang berbunyi, “alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan dari anak cucu kita”.

Pada tingkatan policy atau kebijakan ini, sebagaimana dinyatakan Jessica Tuchman Mathews, meski menyuarakannya di tahun 90-an, akan turut pula menentukan survival sebuah Negara atau kawasan. Bahkan, sebagaimana ia tegaskan, akan menentukan kekuatan keamanan nasional atau national security sebuah Negara, juga kawasan. Mengapa demikian? Tak lain karena dampak global itu sendiri. Bukankah kepulan dan gulungan asap dari Riau juga terbukti mengganggu Malaysia dan Singapura? Di sini, lagi-lagi menurut Jessica Tuchman Mathews, yang tentu saja sebagai penguat visi ekologis Capra, penanganan, perawatan, dan perbaikan ekologis semestinya tak hanya menyangkut konsen satu Negara tertentu saja, tapi diperlukan kerjasama yang sinergis antara beberapa Negara yang terkait dengan kawasan itu sendiri. Misalnya, ancaman banjir dan masa depan ekologis di Bangladesh terkait dengan lingkungan di India dan Pakistan, atau banjir di Jakarta tidak dapat dilepaskan dari situasi dan dampak ekologis di Bogor (Jawa Barat) dan Tangerang (Banten).

Sebuah Keniscayaan

Maka, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa ecoliteracy merupakan keharusan atau keniscayaan jaman kita ini. Terlebih sudah lama produk-produk atau komoditas yang diproduksi industri manusia, semisal plastik, bertentangan dan melawan alam, tidak hancur seperti hancurnya daun dan menjelma pupuk atau tanah ketika jatuh. Alam tidak menghasilkan residu (sampah), tetapi industri serta produk-produk modern lah yang menghasilkan dan menjelma sampah. Sebagai perbandingan, bila dulu orang tua-orang tua kita menggunakan kemasan pembungkus dan wadah dari daun yang akan hancur dan kembali ke alam bila terbuang, manusia saat ini senantiasa menghasilkan sampah (residu), yah seperti plastik yang telah disebutkan itu.

Di sisi lain, kita juga tak ingin hanya bisa mengkritik atau melakukan kritik semata tanpa dibarengi dengan aksi konkret dalam rangka merawat bumi dan ekologi ini. Persis dalam hal inilah, sebagaimana ditawarkan Capra seperti yang sudah dikemukakan, ecoliteracy saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan ecodesign, yaitu dengan langkah nyata melalui usaha inovatif untuk mengembangkan tekhnologi dan industri yang ramah lingkungan. Juga, tentu saja, sikap dan gaya hidup yang selaras dengan lingkungan.

Di luar negeri, upaya dan aksi nyata apa yang disebut Capra sebagai ecodesign itu, sebagai contohnya, sudah dilakukan oleh wiraswastawan Gunter Pauli di awal tahun 90-an, yang akhir-akhir ini banyak langkah serupa dilakukan oleh ilmuwan juga orang-orang mandiri di Eropa, semisal di Jerman. Dalam kasus Gunter Pauli sendiri, ia telah membuat pengelompokan industri secara ekologis bersama organisasi yang didirikannya: ZERI, Zero Emission Research and Initiatives. Sebuah organisasi yang cukup gigih untuk memperjuangan kesehatan ekologis dan memperjuangkan industri yang ramah lingkungan, yang juga bergerak dalam kerja-kerja industri daur ulang sampah menjadi produk-produk yang bermanfaat, dan akhirnya tidak melakukan pemborosan atau penghamburan bahan mentah alam.

Apakah contoh yang dilakukan Gunter Pauli tersebut relevan untuk konteks Indonesia? Tentu saja dan tidak mungkin disangsikan lagi. Sekaya-kayanya sumber daya alam Indonesia, pastilah akan berkurang dan tidak akan memberikan keuntungan serta manfaat besar jika tidak dikelola dengan baik dan cerdas. Terlebih lagi, faktanya, banyak hutan-hutan dan gunung-gunung kita yang sudah rusak dan gundul. Juga, yang tidak dapat dilupakan, betapa setiap tahun banjir semakin membesar di Jakarta, yang seperti kita tahu, salah-satunya akibat kerusakan di hulu (Bogor), hingga sampah-sampah dari Bogor terbawa ke Jakarta bila datang banjir dan hujan. Dan bila dalam tulisan ini telah disitir pepatah bangsa kita yang berbunyi, “alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan dari anak cucu kita”, maka hal yang sama juga berlaku untuk kota-kota dan lingkungan kita berada.

Sulaiman Djaya 

 Burrard-Lucas Photography 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar