Rabu, 12 November 2014

Perang Sebagai Bisnis dan Masalah Orwellian



Banten Raya, 29 Agustus 2014

“Bagi Amerika, sejak dulu dan hingga saat ini, tak ada fundamentalisme atau terorisme, yang ada adalah kebutuhan bahan-bakar. Mereka (Amerika) memang tidak bernegosiasi dengan para teroris, karena mereka lah yang membiayai dan menciptakan fron-fron terorisme”

Dalam prakata Knowledge of Language, Noam Chomsky bertanya bagaimana bisa orang hanya sedikit tahu tentang struktur dan fungsi masyarakat mereka sendiri, padahal begitu banyak fakta yang tersebar. Dia menyebut hal ini sebagai “Masalah Orwell (Orwell’s Problem)” dan mendefinisikannya sebagai “kemampuan sistem totalitarian untuk menanamkan pengaruhnya yang kemudian diterimanya secara luas, meski tidak punya dasar sama sekali yang divariasikan dengan hanya menyodorkan fakta gamblang tentang dunia di sekitar kita.” George Orwell adalah nama pena dari Eric Arthur Blair, yang lahir pada tahun 1903 di Motohari, India, anak seorang Menteri Kolonial Inggris. Orwell menciptakan suatu kerangka untuk menganalisa propaganda politik dan kontrol pikiran yang kemudian menjadi bagian dari dongeng modern.

Sayangnya, para pembuat propaganda barangkali lebih mendalami analisis Owell daripada mereka yang menjadi target pencucian otak atau indoktrinasi. Buku Orwell yang berjudul Homage To Catalonia (1938) ditulis dari pengalamannya sendiri ketika ia masih bergabung dengan kaum loyalis Spanyol dan mengalami luka berat ketika terjadi perang saudara di Spanyol. George Orwell sempat menyaksikan hari-hari awal fasisme ketika diterapkan di Spanyol di bawah pimpinan diktator Franco. Karakteristik Fasisme yang kemudian dikenal luas meliputi: kontrol privat atas kekayaan dan sumber daya secara terpusat, kontrol atas informasi, investasi besar-besaran di bidang peralatan tempur, penindasan gerakan serikat buruh dan gerakan demokratis populer, agresi militer yang memperluas wilayah, dan lain sebagainya. Fasisme adalah hasil pengembangan secara alamiah dari sistem monarki. Keturunan kaum aristokrat pada zaman industrilah yang mengembangkannya ketika mereka menyadari bahwa dengan memproduksi dan menjual alat-alat perang akan dapat diraup keuntungan yang luar biasa besarnya.

Novel populer George Orwell, 1984 (yang diterbitkan tahun 1949), melukiskan suatu dunia di mana ada tiga superpower utama yang terus berusaha mempertahankan adanya perang, yang secara periodik menggatikan musuh-musuhnya. Perang amat penting bagi negara, untuk menjalankan roda perekonomian mereka dan struktur kontrolnya. Banyak konsep dan ekspresi dari buku 1984 (umpamanya, thought crime dan thought police) menjadi pembicaraan kita sehari-hari. Kementerian kebenaran (MI-nistry of truth) adalah tempat di mana Winston, pahlawan dalam buku 1984, bekerja “membersihkan” laporan-laporan berita dan mengubah opini publik setiap hari demi kepentingan penguasa. Newspeak adalah nama untuk bahasa yang digunakan pemerintah untuk menyembunyikan apa yang dilakukannya. Menggunakan teknik-teknik semacam penyederhanaan kata, eufemisme, penggambaran yang sengaja dikelirukan, penyingkatan, pengaburan makna, dan pemutar-balikan arti.

Newspeak membuat bahasa menjadi begitu tak bermakna sehingga tidak layak untuk dipakai berkomunikasi – atau bahkan untuk memahami – aktivitas negara. “Tidakkah kau tahu bahwa tujuan utama dari Newspeak adalah untuk memicikkan pikiran? Pada akhirnya kita tidak akan pernah mampu melakukan Thoughtcrime karena tidak ada kata-kata untuk mengekspresikannya…setiap tahun….tentang kesadaran (akan bertubuh)…semakin kerdil…” dari 1984, George Owell. Doublethink dan doublespeak mengacu kepada pemakaiaan kata-kata untuk maksud sebaliknya. Suatu taktik yang digunakan pemerintah untuk mengaburkan makna sebenarnya atas apa yang mereka lakukan. Contoh, kata “Demi Perdamaian” akan mereka gunakan untuk sebagai kata ganti invasi. Anda ingat kata “penyerderhanaan pajak”?

Esai Orwell yang ditulis pada tahun 1946 “Politics and the English Language” adalah analisis yang bagus mengenai bagaimana korupsi bahasa berkaitan dengan kontrol politik. Dalam esainya yang menjelaskan bagaimana bahasa dapat digunakan untuk memanipulasi atau menyesatkan. “Pada saat ini, pidato dan tulisan politik sebagian besar hanyalah mempertahankan sesuatu yang tidak dapat di pertahankan,” ujarnya, terdengar seperti apa yang di katakan Chomsky di kemudian hari. "Daerah-daerah yang tidak punya pertahanan di-bombardir lewat udara, penduduk terpaksa harus mengungsi keluar kota, binatang ternak dibantai, rumah-rumah di bakar: inilah yang di sebut perdamaiaan (ala kekuatan invasif dan imperialis seperti Amerika, Israel, dan para sekutunya saat ini). Jutaan petani diusir dari perternakan mereka sehingga mereka dengan susah-payah menyusuri jalan dengan bawaan ala kadarnya: inilah yang disebut pemindahan penduduk atau pengaturan ulang daerah perbatasan (pemetaan).”

Orang-orang dipenjara selama bertahun-tahun tanpa menjalani proses pengadilan, atau ditembak dari belakang atau dikirim ke kamp Arctic Kutub Utara agar mati kekurangan gizi: inilah yang disebut pembersihan unsur-unsur yang lemah (alias genosida atas nama demokrasi, padahal motifnya adalah sumber daya dan ekonomi, semisal perebutan minyak).

Penyusunan kata-kata seperti itu dibutuhkan bila seseorang ingin menyebut sesuatu tanpa menyertakan gambaran mental dari hal tersebut. Contoh, pikirkan jika saja beberapa professor Inggris yang mapan membela totalitarianisme Rusia. Dia tidak dapat mengatakan secara utuh, kita akan yakin bahwa bila dengan membunuh lawan, kamu dapat menggapai tujuanmu, maka kamu akan melakukannya. Maka dari itu, dia akan berkata kira-kira seperti ini: “Manakala ada suara yang menyatakan bahwa rejim Uni Soviet menunjukkan hal-hal tertentu yang cenderung disesalkan kaum humanitarian, kita harus setuju bahwa adanya batasan-batasan tertentu atas hak untuk melakukan penentangan politik takkan bisa dihindari seiring dengan masih berlangsungnya periode transisi. Karenanya, kekerasan yang diderita oleh rakyat Rusia cukup bisa dibenarkan dalam lingkup pencapaiaan konkrit.

“Ketika ada kesenjangan antara kenyataan yang dialami seseorang dengan tujuan seseorang yang dinyatakan dengan sendirinya akan membutuhkan banyak kata untuk menjelaskan”. Bagi Amerika, sejak dulu dan hingga saat ini, tak ada fundamentalisme atau terorisme, yang ada adalah kebutuhan bahan-bakar. Mereka (Amerika) memang tidak bernegosiasi dengan para teroris, karena mereka lah yang membiayai dan menciptakan fron-fron terorisme.

Sulaiman Djaya 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar