Kamis, 28 Mei 2015

Ketika Blok Rusia-Iran dan Blok Amerika-Israel Berperang di Suriah




Oleh Marsda TNI Pur. Prayitno Ramelan (pemerhati militer dan politik global)

Dalam konferensi pers setelah mengikuti pertemuan puncak KTT G8 di Irlandia Utara yang dilaksanakan tanggal 17-18 Juni 2013, Presiden Rusia Putin menyindir negara Barat dan PM Inggris David Cameron. Putin menyatakan bahwa mempersenjatai pemberontak Suriah bisa seperti memberikan senjata ke tangan jenis orang-orang yang membunuh Drummer Lee Rigby di London baru-baru ini. Rigby adalah anggota dari 2nd Battalion The Royal Regiment of Fusiliers yang dibunuh oleh dua warga Inggris keturunan Nigeria, Michael Adebolajo (28) dan Michael Adebowale (22). Keduanya menyatakan pembunuhan korban sebagai tentangan mereka atas tindakan pasukan Inggris di negara-negara muslim.

Putin mengatakan dengan jelas bahwa oposisi bukanlah seperti itu, tetapi banyak dari mereka yang persis sama dengan orang-orang yang melakukan pembunuhan di London itu. Jika kita membekali orang-orang seperti ini, jika kita mempersenjatai mereka, siapa yang akan mengontrol dan memverifikasi pemilik senjata tersebut. Karena itu keputusan Barat mempersenjatai pemberontak Suriah sangatlah berbahaya, tegas Putin.

Saat ditanya tentang keputusannya untuk terus memasok senjata kepada pemerintah Suriah, Putin menjelaskan langkah Rusia tidak lebih dari hanya menyelesaikan kontrak hukum pembelian senjata pemerintah Suriah Bashar al-Ashad beberapa tahun yang lalu yang belum dipenuhi.

Para pejabat AS mengumumkan pada hari Kamis (20/6) bahwa Presiden Obama telah menyetujui pengiriman senjata kepada kelompok militan di Suriah untuk pertama kalinya. Deputi penasehat keamanan nasional Presiden AS, Benjamin J. Rhodes mengatakan bahwa AS mampu memberikan persenjataan “tidak hanya ke negara itu,” tapi “ke tangan yang tepat”, kata Rhodes.

AS akan mengirimkan peralatan tempur ke kelompok militan Suriah melalui Pangkalan AU Turki Incirlik , yang secara teknis adalah sebuah pangkalan udara NATO, disamping melalui Yordania. Pada hari Minggu, Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel mengatakan bahwa tentara AS akan menempatkan di Yordania jet tempur F-16 disamping mendislokasikan rudal Patriot.

Menhan AS menjelaskan, ”Salah satu kargo ini terdiri dari alat-alat militer ringan dan semi-berat, peralatan dan senjata tentara AS telah dikumpulkan dan dikumpulkan di Kandahar Base dan direncanakan akan dikirim untuk pejuang pemberontak di Suriah melalui udara dan kargo laut dari Turki dan Jordan.” Senjata-senjata dan sistem senjata yang akan dikirim termasuk senjata anti tank dan sistem rudal, peluncur roket dan roket serta puluhan Humvee lapis baja. Ahli strategi perang senior di Pentagon percaya bahwa mereka dapat mengubah adegan perang di Suriah untuk kepentingan kelompok pemberontak dengan bantuan kargo tersebut, khususnya dengan diberikannya sistem rudal panggul dan kendaraan Humvee multiguna.

Para ahli militer mengatakan, tampaknya AS telah memutuskan mengubah strategi perang di Suriah dan membuka front baru di negara tersebut. Para analis juga mengatakan bahwa Perancis juga telah memasok pemberontak di Suriah dengan peluru kendali (rudal) anti pesawat udara Igla buatan Rusia, dan bahkan melatih mereka bagaimana menggunakan sistem tersebut.

Para pemimpin negara-negara Barat serta khususnya Israel di satu sisi kini menjadi sangat khawatir dengan keputusan Rusia yang akan mengirimkan peluru kendali canggih S-300 kepada pemerintahan Bashar al-Assad. Pemerintahan Obama memperingatkan Rusia pada hari Jumat (14/6/2013) agar Rusia tidak merusak upaya perdamaian di Suriah dengan mengirimkan rudal tersebut. Dengan mengirim S-300 akan memperpanjang perang sipil dan mungkin memperluas konflik dan akan melibatkan Israel.

Amerika Serikat dan sekutunya mendukung para pemberontak, sementara Rusia adalah sekutu lama dan pemasok senjata ke Assad. Meskipun Assad telah lama sangat menginginkan rudal canggih S-300, nampaknya proses akan berjalan. Rusia tetap bertekad mengirimkan S-300 ke Suriah, walaupun pada saat lalu membatalkan pengiriman S-300 ke Iran sebagai hasil perundingannya dengan AS. Rusia sebelumnya telah mengirimkan versi rudal, Yakhonts, ke Suriah. Baru-baru ini rudal tersebut telah dilengkapi dengan radar canggih yang membuatnya lebih efektif, demikian laporan pejabat intelijen AS seperti diberitakan media.

Tidak seperti Scud dan rudal permukaan-ke-permukaan, sistem rudal Yakhont anti kapal memberikan militer Suriah senjata yang tangguh untuk melawan setiap upaya oleh pasukan internasional untuk memperkuat pemberontak Suriah dengan menerapkan embargo angkatan laut, membangun zona larangan terbang atau melakukan serangan udara terbatas.

Kontrak sistem rudal Yakhont ditandatangani dengan Rusia pada tahun 2007 dan Suriah menerima baterai pertama pada awal tahun 2011. Menurut Jane’s, terdiri dari 72 rudal, 36 kendaraan peluncur, dan peralatan pendukungnya. Panjang rudal sekitar 22 kaki panjang, membawa hulu ledak tinggi atau armor-piercing, dan memiliki jangkauan sekitar 180 kilometer.

Para pejabat Rusia telah berulang kali mengatakan bahwa dalam menjual senjata ke Suriah, mereka hanya memenuhi kontrak-kontrak lama. Tetapi beberapa pejabat Amerika khawatir bahwa pengiriman dimaksudkan untuk membatasi opsi Amerika Serikat yang harus memilih untuk campur tangan dalam membantu pemberontak. Saat sebelumnya, pengiriman rudal SA-17 permukaan-ke-udara dari Rusia ke Suriah telah diserang oleh Israel melalui serangan udara terhadap truk yang mengangkut senjata di dekat Damaskus pada bulan Januari tahun ini. Israel belum secara resmi mengakui serangan itu tetapi mengatakan pihaknya siap untuk melakukan intervensi militer untuk mencegah pengiriman senjata canggih dari Rusia. Israel lebih khawatir apabila rudal jatuh ke tangan kelompok Hizbullah di Lebanon yang merupakan sekutu Assad dan juga menjadi musuh abadinya.

Memang para pemberontak Suriah tidak memiliki pesawat tempur, sistem rudal S-300 terutama ditujukan uintuk menetralisir ancaman dari Barat atau Arab yang mungkin mencoba untuk memberlakukan zona larangan terbang di Suriah. Ataupun juga dimaksudkan untuk menghadang pesawat tempur Israel yang mungkin akan menyerang depo senjata kimia Suriah.

Menteri Luar Negeri John Kerry dan Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle mengatakan transfer S-300 rudal dari Rusia ke Suriah akan memperpanjang perang saudara di negara itu. Sebuah upaya yang membahayakan untuk membentuk pemerintahan transisi melalui negosiasi , disamping juga akan melukai kepentingan strategis Israel sebagai sekutu terdekatnya.

Nampaknya memang AS dan sekutunya, negara-negara Arab dan Israel sangat mengkhawatirkan apabila Suriah memiliki Rudal S-300. Rudal ini memiliki jangkauan hingga 200 kilometer (125 mil) dan mempunyai kemampuan untuk melacak dan menyerang beberapa sasaran secara bersamaan dengan presisi yang mematikan. Para pejabat Rusia mengatakan S-300 juga mampu menembak jatuh hulu ledak rudal balistik jarak pendek dan menengah. Rusia menegaskan bahwa S-300 lebih unggul dengan sistem rudal Patriot AS. Presiden Rusia, Putin pada Selasa (11/6) menggambarkannya sebagai “mungkin senjata tersebut terbaik di dunia.”

S-300 memang belum teruji karena belum pernah digunakan dalam pertempuran. Sementara sistem Patriot telah terbukti hebat, karena telah teruji saat digunakan dalam Perang Teluk 1991 dan perang di Irak 2003. Tetapi walaupun demikian teknologi perang peralatan tempur buatan Rusia semakin hari dinilai Barat semakin canggih dan bukan tidak mungkin mampu mengungguli peralatan buatan Barat. Oleh karena itu dengan beberapa kombinasi kepemilikan sistem Hanud (Pertahanan Udara), laut dan darat Suriah yang terintegrasikan dalam sebuah sistem pertahanan dari Rusia, nampaknya wilayah udara Suriah akan dikunci dengan alutsista Rusia dan negara-negara Barat tidak bisa menyepelekannya lagi.

Di sinilah peran kunci sebuah teknologi persenjataan yang terintegrasi. 


Sabtu, 09 Mei 2015

Diskursus Postmodernisme (Bagian Keempat)




Robert Venturi dan Arsitektur
Sejak 1960-an, di Amerika Serikat dan Eropa Barat, terjadi perubahan pemikiran arsitektur modernis. Sebelumnya, setelah Perang Dunia II, arsitektur modernis di banyak bagian dunia menjadi tren arsitektur dominan. Tapi kemudian di gedung-gedung modernis segera mulai lahir bentuk dan model yang menyimpang dan beberapa ide-ide arsitektur modernis mulai menuai kritik. Pada tahun 1966, arsitek Amerika, Robert Venturi, mulai memperkenalkan “kompleksitas arsitektur dan kontradiksinya”. Di tahun 1970, oposisi industri konstruksi untuk menjauh dari kecenderungan modernis lebih kuat. Untuk kecenderungan ini, telah ada nama yang berbeda, seperti “anti-modernisme”, “setelah modernisme” dan “post-modernisme”.

Robert Venturi telah menyelamatkan arsitektur modern dari sejenis kebosanan, dan ia mendefinisikan kembali apa itu seni dalam ranah “arsitektur”. Arsitektur Robert Venturi, meskipun mungkin tidak seperti sekarang akrab seperti buku-bukunya, membantu mengarahkan arsitektur Amerika jauh dari modernisme, secara luas dipraktekkan sering dangkal, pada tahun 1960 untuk pendekatan, desain yang lebih eksploratif, dan akhirnya eklektik yang secara terbuka menarik pelajaran dari sejarah arsitektur dan menanggapi dengan konteks sehari-hari dari kota Amerika. Bangunan Venturi itu biasanya mendekatkan sistem arsitektur, elemen dan bertujuan, untuk mengakui konflik yang sering melekat dalam suatu proyek atau situs.

Dengan sikapnya tersebut, Robert Venturi berkeyakinan akan membentuk hubungan dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari dan meluaskan kekuasaan. Pada tahun 1972 Venturi menggaris-bawahi peran dan penggunaan metoda semiotik (lihat bukunya: Learning from Las Vegas). Dalam buku yang terbit tahun 1972 itu, melalui metode semiotik Venturi menjelaskan bahwa arsitek harus mempelajari kebudayaan “kiwari” alias kontemporer daripada mengacuhkannya. Dalam hal ini, ia lebih tertarik terhadap kualitas dekorasi daripada kerumitan struktur. Menurutnya penekanan simbol dalam arsitektur harus terpisah dari bangunan.

Robert Venturi menggunakan asas klasik “arsitektur dapat menyatakan idenya secara struktural tidak hanya melalui ornamen atau simbol”. Pada pokoknya, arsitek harus mempelajari kebudayaan kiwari atau kultur mutakhir beserta bangunannya daripada menghilangkannya. Venturi lebih simpatik dengan dekorasi dan dia menginterpretasikan arsitektur dengan struktur arsitektural yang bersahaja. Bagi Venturi, simbol arsitektur harus terpisah dari kenyataan bangunan supaya semua sukses dan simbol tertuju pada kehidupan kiwari alias kekinian. Pencampuran antara simbol dan fakta dan instansi ke-kiwari-an adalah kunci dari alasan dia mengapa tidak pernah merancang dalam gaya historik yang lurus/langsung, karena dia menganggapnya terlalu mudah. Dan di tahun 1975, Venturi menerima aliran klasik dalam bangunannya dan membuatnya sebagai wakil dari seluruh bangunan dan karya arsitekturnya.

Ia menyatakan: “Architects can no longer afford to be intimidated by the pruitanically moral language of orthodox Modern architecture. I like elements which are hybrid rather than “pure”, compromising rather than “clean”, distorted rather than “straightforward”, ambiguous rather than “articulated”, perverse as well as impersonal, boring as well as “interesting”, “conventional” rather than “designed”, accomodating rather than excluding, redundant rather than simple, vestiglal as well as innovating, inconsistent and equivocal rather than direct and clear”.

Secara umum Arsitektur Postmodern lahir karena beberapa hal, yang antara lain Arsitektur Modern dipermalukan karena tidak begitu menghargai sejarah ,kemudian terjadinya Gerakan Internasional Mahasiswa di berbagai negara dengan tujuan secara umum yang sama, yaitu menuntut kebebasan karena sebelum masa pemberontakan tersebut pada umumnya pusat-pusat intelektual /sekolah-sekolah secara politik dikuasai pemerintah, sehingga melalui gerakan mahasiswa ini kemandirian mahasiswa dihargai. Kemudian tumbuhnya peristiwa kebudayaan dalam gaya hidup dan munculnya demonstrasi orang tua yang menurut mereka orang-orang modern bisanya cuma merusak bukan memelihara.

Aliran “Late Modern” itu sendiri merupakan aliran Modern karena pada dasarnya hanya mengolah segi bahan, tampak dan struktur bangunan, sedangkan Postmodern suatu mutasi karena mencoba memasukkan kembali nilai-nilai sejarah dan yang tradisional dalam arsitektur, suatu hal yang sebelumnya sangat ditentang Modernisme. Di sini, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, Postmodernisme timbul pada saat aliran Modern sudah mencapai klimaks pertumbuhannya dan sebagai suatu aliran baru yang merupakan perubahan dramatis arsitektur Modern dan Internasional Style.

Tepat di sini lah, slogan ‘Less is More‘ diubah menjadi ‘Less is Bore‘ oleh Robert Venturi. Sebenarnya, istilah Postmodern pertama kali dikatakan oleh Arnold Toynbee, tetapi bukan dalam konteks Arsitektur. Kemudian dipindahkan dalam konteks Arsitektur oleh Arsitek Joseph Hudnut pada tahun 1949 dan kemudian Geoffrey Barraclouyh (sesudah Toynbee), yaitu untuk menggambarkan suatu jaman yang penuh dengan keanekaragaman dalam peradaban yang saling berdampingan satu dengan yang lainnya. 


Jumat, 08 Mei 2015

Diskursus Postmodernisme (Bagian Ketiga)




Strukturalisme dan Poststruktualisme
Mengikuti Scott Lash [1991: IX], kita angkat “strukturalisme yang membentang dalam pemikiran sosial Prancis pada tahun 1960-an” sebagai titik awal yang tepat untuk munculnya post-srukturalisme dan postmodernisme. Strukturalisme itu sendiri merupakan reaksi terhadap humanisme –terutama eksistensialisme filosof dan novelis Jean-Paul Sartre serta fenomenologi.

Eksistensialisme Sartre
Dalam karya-karya awalnya, Sartre memfokuskan perhatian pada level individu, terutama kebebasan individual. Dia mengikuti pandangan bahwa masyarakat bukanlah subyek untuk atau ditentukan oleh, hukum-hukum sosial. Dengan kata lain, manusia “tidak dapat membenarkan tindakannya dengan referensi di luar dirinya sendiri” [Craib, 1976 :4).

Dalam Being and Nothingness, Sartre [1943] menekankan kebebasan individual dan menganut pandangan bahwa “eksistensi ditentukan oleh dan melalui tindakan seseorang. Manusia adalah apa yang ia lakukan” [Hayim, 1980:3]. Pada saat yang bersamaan, Sartre menyerang pandangan sosiologis tentang “struktur obyektif sebagai penentu keseluruhan tindakan.” Bagi Sartre, manusia adalah makhluk bebas, mereka bertanggung-jawab terhadap apa yang dilakukan, mereka tidak perlu mencari-cari alasan jika melakukan kesalahan. Dalam beberapa pengertian, “tanggung-jawab kebebasan yang membingungkan” merupakan sumber penderitaan yang hebat bagi manusia [Hayim, 1980:17]. Dalam pengertian lain, ini dapat menjadi sumber optimisme. Manusia memegang nasibnya di tangan mereka sendiri. Dalam karya-karyanya yang belakangan, misalnya Critique of Dialectical Reason, Sartre [1963] mencurahkan perhatiannya pada pembahasan atas struktur sosial, namun terkadang dia masih menekankan “hak prerogatif manusia atas transendensi–jauh melebihi yang diberikan” [Hayim, 1980:16]. Dalam hal ini Sartre memang kritis terhadap kaum marxis yang terlalu menekankan peran dan kekuatan struktur sosial. “Dalam pandangan Sartre, kaum marxis yang dogmatik telah menyingkirkan unsur humanistik dalam pemikiran asli Marx” [Hayim, 1980:72]. Sartre adalah seorang eksistensialis tulen dan karena itu dia selalu memelihara humanisme yang dia rasa telah hilang dalam diri sebagian kaum marxis.

Penentangan terhadap humanisme model Sartre dilakukan kaum post-strukturalis dan postmodernis. Kaum postmodernis dan post-strukturalis berusaha mengembangkan pemikiran sosial yang tidak memusat (decenter), untuk mengalihkan perhatian dari “manusia” ke gejala lain, terutama bahasa.

Fenomenelogi
Bapak fenomologi, Edmud Husserl, tertarik pada studi ilmiah mengenai struktur dasar kesadaran manusia. Dia berupaya menembus dasar-dasar yang dibangun oleh para pelaku (aktor) di dunia nyata untuk mendapat struktur paling dasar kesadaran. Namun ini tidak mudah dilaksanakan karena begitu para pelaku terlibat dalam proses yang aktif dan kompleks untuk menata dunia, mereka sering tidak menyadari bahwa mereka sedang menata dunia. Oleh karenanya mereka tidak pernah mempertanyakan dunia. Bagi Husserl, ini adalah tesis umum dari “titik acuan alamiah”. Bagi para pelaku, dunia sosial diatur secara alamiah dan bukan ditata oleh mereka. Sikap alamiah ini merupakan hambatan terhadap penemuan proses-proses intensional.

Ketika sikap-sikap alamiah ini terputus atau terpenjara, kaum fenomenologis dapat memulai untuk menguji “kekayaan” kesadaran [Schutz, 1973:103). Kaum fenomenologis juga mesti mengesampingkan dulu pengalaman-pengalaman kehidupan insidental yang cenderung mendominasi kesadaran. Tujuan utama Husserl adalah untuk melihat seluruh kandungan “ego transendental” dalam keasliannya. Husserl juga tertarik dengan bentuk murni kesadaran yang menyangkut seluruh isi biografis dan kultural.

Pemikiran mengenai “ego transendental” menunjukkan kepentingan Husserl dalam kaitannya dengan “kandungan paling dasar dari kesadaran manusia. Walaupun terkadang salah tafsir atas hal ini, Husserl tidak memiliki konsepsi kesadaran yang mentalistik dan metafisis. Bagi Husserl ini bukan soal sesuatu hal atau tempat, melainkan soal proses. Kesadaran tidak ditemukan di dalam “kepala” pelaku tetapi dalam hubungan antara pelaku dan obyek dalam dunia. Husserl menyebut halsemacam ini sebagai “intensionalitas”. Baginya, kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, kesadaran akan obyek. Kesadaran ditemukan dalam relasi ini: kesadaran tidak berada di dalam pelaku, kesadaran selalu bersifat relasional. Makna tidak ada dalam kesadaran atau obyek, tetapi dalam hubungan pelaku dengan obyek. Konsepsi kesadaran sebagai proses yang memberikan makna terhadap obyek inilah yang menjadi inti fenomenologi. Banyak karakteristik fenomologi Husserlian –yakni humanisme, subyek sebagai fokus bahasan, esensialisme dan ego transendental—kelak mendapat serangan gencar dari kaum strukturalis maupun post-strukturalis.

Strukturalisme
Dalam tingkat yang paling umum, strukturalisme dapat didefinisikan sebagai upaya membongkar struktur-struktur publik yang membawahi kegiatan manusia. Dari pandangan ini, sebuah struktur didefinisikan sebagai: “Sebuah unit yang terdiri dari beberapa bagian yang dijumpai dalam relasi yang sama dalam “kegiatan” yang dijalankan. Unit ini tidak dapat dileburkan dalam satu unsur tunggal, karena kesatuan struktur dibatasi tidak begitu banyak oleh hakikat utama unsur-unsur itu sebagaimana dalam relasi mereka [Spivak, 1974:iv].

Disamping sistem dan relasi, strukturalisme juga ditandai oleh penelitiannya mengenai hukum-hukum umum yang membatasi struktur-struktur tersebut. Struktur perhatian strukturalisme bukan dalam struktur dasar yang sama seperti yang telah menjadi keprihatinan tradisional kaum sosiolog. Kaum sosiolog lebih menaruh perhatian terhadap struktur-struktur sosial seperti kelas sosial dan birokrasi, sementara kaum strukturalis lebih menaruh perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran dari struktur sosial ke lingustik inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ”putaran linguistik” yang secara dramatis membahas hakikat ilmu-ilmu sosial [Lash, 1991:ix]. Banyak pemikir sosial beralih dari struktur sosial ke struktur bahasa, atau lebih umum, beralih ke tanda-tanda yang makin beragam [Gottdiener, 1995].

Stukturalisme muncul dari perkembangan yang berbeda di dalam bidang yang berbeda, namun sumber strukturalisme modern dan basisnya yang paling kuat dewasa ini adalah: “bahasa”. Karya Ferdinand de Saussure (1857-1913) mewakili perkembangan bahasa struktural dan juga dalam bidang lain (Saussure, 1966, Culler, 1976). Hal khusus yang menarik adalah pembedaan Saussure antara “langue” dan”parole”, sebuah distingsi yang amat berarti bagi perkembangan, tidak hanya strukturalisme, tetapi juga poststrukturalisme dan postmodernisme. “Langue” merupakan sistem tata-bahasa formal. Ini merupakan sistem unsur “fonem” yang kaitannya diatur oleh hukum yang khusus menentukan hal itu. Saussure dan pengikutnya percaya itu. Banyak ahli bahasa sejak zaman Saussure telah membaktikan diri untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Adanya “Langue” membuat “Parole” mungkin. “Parole” dalam percakapan setiap hari, cara yang oleh para pembicara menggunakan bahasa harian untuk mengekspresikan diri mereka. Biarpun Saussure mengenal makna penggunaan bahasa dalam cara subyektif dan sering “idiosinkretik”, namun dia percaya bahwa pemakaian (bahasa) harian seperti ini tidak dapat menjadi keprihatinan para ahli bahasa. Seorang linguis seperti ini, harus berfokus pada “langue”, sistem bahasa formal, bukan pada cara subyektif seperti yang digunakan para pelaku (“aktor”).

“Langue” dapat dipandang sebagai sebuah sistem tanda. Sebuah tanda dapat dilihat sebagai keseluruhan, sebuah struktur yang terdiri dari “penanda” gambaran bunyi yang didengar ketika sebuah kata diucapkan, dan “yang ditandakan” gambaran bunyi yang dipakai untuk menunjukan: makna kata yang ditangkap oleh pemikiran penerima. Saussure tidak hanya tertarik pada “Signifier” (penanda) dan “Signified” (yang ditandakan) tetapi juga di dalam hubungan mereka satu sama lain. Dari sudut pandang sosiologis, Saussure tidak terlalu tertarik dengan “rujukan” (reference), hal yang direfleksikan, karena ini merupakan bahasa (linguistik) ekstra (Genosko, 1994).

Menurut Saussure, bahasa merupakan “sebuah sistem yang padat dimana semua bagian saling berhubungan” (Marks dan de Courtivron, 1981:3). Terutama yang penting adalah relasi perbedaan, termasuk “pertentangan” (lawan/coposisi) kembar. Misalnnya, makna kata: “panas” tidak dari kekayaan intrinsik dunia “nyata” tetapi dari hubungan kata depannya. Dia mempunyai oposisi kembar yakni: kata “dingin”. Struktur bahasa membentuk makna, pikiran dan terakhir, dunia sosial. Bukan dunia eksistensial orang yang membentuk lingkungan mereka, namun kata memiliki di sini sebuah dunia dimana orang-orang, juga aspek-aspek lain dari dunia sosial, dibentuk oleh struktur bahasa dan kodenyya, atau aturan menggabungkan kata-kata. Bahasa berperan sebagai sebuah bentuk dalam keseluruhan aspek hidup manusia. Perhatian pada struktur, pertama-tama diperkenalkan oleh Saussure dan lebih penting oleh pemikir-pemikir lain, yang mempelajari semua sistem tanda. Perhatian pada struktur sistem tanda telah diberi label: “semiotik” dan menarik banyak pengikut (Eco, 1976; Hawkes, 1977; Gottdiener, 1995). Semiotik lebih luas dari bahasa struktural karena dia menekankan tidak hanya bahasa tetapi juga tanda lain dan sistem simbol, seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, semua bentuk komunikasi, dan tentu semua unsur kebudayaan.

Roland Barthes (1964/1967; 1970/1982) sering dilihat sebagai pendiri semiotik. Peranan terpenting dari Barthes, dari sudut pandang pembahasan ini yakni: memperluas pemikiran Saussure ke seluruh bidang kehidupan sosial. Barthes menegaskan: “Semiologi bertujuan mengambil sistem petanda, apapun substansi dan keterbatasannya, gambaran, isyarat, bunyi musik, obyek dan gabungan dari kesemuanya ini, yang membentuk ritual, konvensi atau hiburan publik/umum, ini merupakan, jika bukan bahasa, sekurang-kurangnya sistem signifikasi (Barthes, 1964/1967 : 9). Atau dalam istilah yang lebih bebas: “tidak hanya bahasa, tetapi bersiul juga menandakan praktis seperti pertunjukan TV, mode, memasak dan semua hal menyangkut kehidupan setiap hari.

Figur utama lain dalam strukturalisme Prancis, tentu Kurzweil (1980 : 13) menyebutnya “Bapak Strukturalisme”, adalah antropolog Prancis Claude Levi Strauss. Strauss mengembangkan karya Saussure mengenai bahasa dalam konteks masalah antropologis – misalnya, mitos dalam masyarakat primitif. Ini membantu membuka pintu untuk aplikasi strukturalisme secara lebih luas ke semua bentuk komunikasi. Terobosan besarnya yakni: merekonseptualisasi sebuah aturan gejala sosial yang lebih luas (misalnya, sistem kekeluargaan sebagai sistem komunikasi dan karena itu membuatnya dapat diterima pada analisa struktural (Burris, 1979, Levin, 1981:25). Pertukaran pasangan, misalnya dapat dianalisis sebagai pertukaran kata. Keduanya merupakan pertukaran sosial yang dapat dipelajari melalui penggunaan antropologi struktural. Kita dapat menggambarkan pemikiran Strauss (1967) dengan contoh kemiripan antara sistem bahhasa dan sistem kekeluargaan. Pertama, antropolog struktural menyukai fonem dalam bahasa, sebagai unit utama untuk analisa. Kedua, baik istilah kekeluargaan maupun fonem, memiliki arti di dalam dirinya sendiri. Tidak seperti “Langue”-nya Saussure, keduanya hanya bermakna kalau digabung dan menyatu dengan bagian yang lebih besar. Strauss bahkan memakai oposisi kembar di dalam antropologinya. Ketiga, Strauss mengenal bahwa ada variasi empiris dari “setting” ke “setting” baik dalam sistem fonemik maupun sistem kekeluargaan. Namun dia pun menegaskan bahwa variasi ini dapat ditelusuri ke tindakan umum yakni adanya aturan/hukum yang mengaturnya.

Strauss keluar dari sebagian petunjuk di atas. Dia menegaskan bahwa: baik sistem fonemik maupun sistem kekeluargaan adalah hasil dari struktur pikiran. Mereka bukan hasil proses kesadaran, melainkan hasil proses ketidaksadaran, hasil struktur pikiran logis. Sistem ini berlaku juga pada hukum umum. Mereka yang berpendapat lain, tidak membiarkan strauss menekankan struktur pemikiran sebagai struktur yang paling mendasar.

Varian strukturalisme lain yang sukses di Prancis adalah: Marxisme Struktural, terutama karya Louis Althusser, Nicos Poulantzas, dan Maurice Godelie. Telah ditegaskan bahwa strukturalisme modern dimulai dengan karya Saussure dalam tata bahasa, namun demikian, ada yang berpendapat bahwa itu dimulai dengan karya: Karl Marx “ketika Marx beranggapan bahwa struktur tidak boleh dicampuradukan dengan relasi-relasi yang’visible’ dan menjelaskan logika tersembunyi, dia tidak memberi harapan pada tradisi strukturalis modern” (Godelier, 1972 b:336). Walaupun Marxisme struktural dan strukturalisme secara umum tertarik dengan “struktur”, namun konsep mereka tentang struktur berbeda.

Banyak kaum Marxis yang hanya mempelajari struktur sebagai awal studi mereka tentang sejarah. Maurice Godelier mengatakan: “studi mengenai fungsi internal sebuah struktur, harus mengawali dan menerangi studi tentang kejadian dan evolusinya” (1972 b : 343). Dengan kata lain, Godelier mengatakan: “Logika sistem ini adalah bahwa sistem ini harus dianalisa sebelum keasliannya dianalisa”. Pandangan lain dari kaum strukturalis dan Marxis struktural yakni: strukturalisme harus berkaitan dengan struktur atau sistem, yang terbentuk akibat relasi sosial. Struktur dilihat sebagai sesuatu yang “real” meskipun hakikat strukturnya dilihat secara berbeda. Bagi Strauss, struktur real adalah bentuk, mungkin pikiran, sedangkan bagi kaum Marxis struktural, stuktural real menjadi dasar struktur masyarakat.

Mungkin lebih penting, baik strukturalisme maupun Marxisme struktural menolak empirisme dan menerima struktur-struktur yang tidak dapat dilihat. Godelier berpendapat: “apa yang ditolak kaum strukturalis dan Marxis adalah definisi empiris mengenai apa yang membentuk struktur sosial”. Godelier juga membuat pernyataan ini: “Bagi Marx, seperti Levi Strauss, sebuah struktur bukanlah kenyataan, yang langsung dilihat dan karena itu, dapat diselidiki, tetapi sebuah tingkat realitas yang berada di luar relasi yang dapat dilihat di antara manusia, dan fungsi yang membawahi logika sistem tersebut, yakni tatanan dimana tatanan-tatanan yang kelihatan dapat dijelaskan” (Godelier, 1972 a : XIX).

Godelier melanjutkan definisi segenap pengetahuan seperti ini: “apa yang dapat dilihat adalah kenyataan yang berkaitan dengan yang lain, kenyataan yang lebih dalam, yang tersembunyi dan penemuan apa yang menjadi tujuan pengetahuan ilmiah”. Disamping kesamaan, Marxisme struktural tidak mengambil bagian dalam bahasa, melainkan dalam pengetahuan sosial. Misalnya, perhatian khusus pada struktur-struktur sosial dan ekonomi. Lebih dari itu, Marxisme struktural tetap berkaitan dengan teori Marx, dan banyak pemikir sosial Prancis menjadi tidak sabar dengan teori Mark karena mereka lebih banyak terlibat dalam eksistensialisme.

Poststrukturalisme
Strukturalisme mempengaruhi pemikiran sosial, terutama di Prancis. Namun, segera muncul reaksi luas menentang strukturalisme yang berlabel: poststrukturalisme. Poststrukturalisme dapat dijelaskan sebagai sekolah pemikiran yang bersandar pada strukturalisme (Kroker dan Levin, 1991), namun mengambil jarak dengan para pemikir seperti Ferdinand Saussure, Roland Barthes, Claude Levi Strauss, Louis Althusser, dan lain-lain. Tentu saja kaum poststrukturalis juga dibentuk dalam pengertian yang positif, tetapi terutama negatif oleh banyak teori yang dibahas diatas terutama eksistensialisme, fenomenologi, dan teori Freudian (juga Marxisme).

Poststrukturalisme adalah sekolah pemikiran yang tegas dan tak berbentuk. Misalnya, dia menekankan karya seorang teorikus sosiologi, Pierre Bordeau (1977, 1984) juga pemikir Michel Foucault yang tidak berada didalam struktur itu. Karya Bourdieu digolongkan dalam: Teori sosiologi Modern (Ritzer,1966 c). Pertannyaannya adalah apa perbedaan antara poststrukturalisme dengan postmodernisme? Secara umum, poststrukturalisme dianggap sebagai sebuah perintis intelektual bagi postmodernisme (Bertens, 1995). Ini merupakan sebuah sumbangan pemikiran bagi Teori Sosial Postmodern. Nyatanya, itu merupakan sumber informasi yang paling penting bagi Teori Sosial Postmodern. Kaum poststrukturalis yang dibahas di buku ini, Foucault memainkan peran penting. Namun,Foicault juga dianggap sebagai seorang postmodernis (Best, 1994). Jadi, ada garis fleksibel, yang memisahkan antara poststrukturalisme dan postmodernisme. Di dalam semangat postmodernisme, kita akan menolak garis, terutama dalam karya yang kaya dan khas dari seorang seperti Foucault.

Satu perbedaan umum (dengan banyak kecualian) adalah bahwa: poststrukturalisme cenderung menjadi lebih abstrak, lebih filosofis, dan kurang politis seperti postmodernisme, semisal karya-karya Jacques Derrida, yang merupakan contoh bagus mengenai pemikiran poststruktural, bahkan terkadang dia pun berpikir sebagai seorang postmodernis. Di dalam renungan teoretisnya Derrida melihat sebuah transisi yang sedang berjalan dari cara berpikir modern kepada sebuah bentuk pemikiran yang melampaui modern (Derrida, 1967/1974 : 87). Namun, di sini kita dapat memakai Derrida untuk menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan poststrukturalisme. Sebuah titik awal yang baik yakni: Spivak yang membahas kritisisme Derrida mengenai strukturalisme.

Kaum poststrukturalis biasanya menyatu dengan strukturalisme pada saat bersamaan sehingga mereka coba mengambil jarak darinya. Mengambil contoh khusus, Derrida mendasarkan pikirannya pada karya Saussure sehingga pada saat bersamaan, dia mengkritik Saussure karena mensubordinasikan dan mengeluarkan apa yang oleh Derrida menjadi tulisan utama. Ini yang mengantarkan Derrida ke penciptaan bidang “gramatologi” atau pengetahuan teoretis tentang tulisan. Derrida mengkritik dan bergerak melampaui Saussure, karena dia tahu kenyataan bahwa Saussure yang membuat bidang “gramatologi” menjadi mungkin. Ini merupakan “kekentalan” dalam strukturalisme dan juga kritik simultan dan gerakan yang melampauinya, yakni poststrukturalisme.

Kerangka karya poststruktural penting lainnya termasuk psikoanalis Prancis, Jacques Lacan (1901), juga sumbangan pengikutnyadan muridnya, dan terkadang kritik kemudian muncul, terutama Julia Kristeva, Luce Irigaray, dan Helena Cixous. Lacan tentu saja membangun di atas teori Freud dan menggabungkannya dengan pikiran-pikiran lain, terutama segi bahasa Saussure. Lacan terkenal denga pernyataan seperti: “apa yang tidak sadar disusun seperti bahasa” (dalam Kurzweil 1995 : 98). Ketika psikoanalis beruntung dengan adanya biologi, Lacan berpendapat bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan bagian sentral dari apa yang tidak sadar/disadari, (ketidaksadaran). Lebih umum, setiap individu dilihat sebagai orang yang terformat di dalam bahasa. Bahasa menjadi hal yang utama dalam bidang psikoanalisis.

Menurut Lacan, bahasa selalu berjalan pada 2 bidang. Tugas psikoanalisa adalah mencari penyebab komunikasi detektif. Adalah bahasa yang menjadi penyebab tidak beresnya komunikasi antar-pribadi. Ada aturan struktural bagi gangguan ini sehingga membuat aturan itu dapat dipelajari baik terapi maupun bidang yang terkait dengannya. Ini merupakan sejenis aturan struktural yang mempengaruhi Lacan mematematisir psikoanalisa.

Pemiikiran Lacan berpengaruh dalam sejumlah bidang, terutama Kristeva, Irigaray, dan Cixous mempunyai pengaruh besar di zamannya. Kita akan mudah melihat kaitan pemikiran mereka dengan teori postmodern Feminis Amerika. Mereka pun punya sumbangan terhadap analisis struktural. Misalnya, menciptakan: “Semanalisis” yang tidak hanya berkaitan dengan faktor komunikatif dalam bahasa melainkan juga dengan faktor-faktor material seperti bunyinya, iramanya, dan kemampuan grafik. Dia juga menekankan pentingnya bahasa puitis yang menentang formalisasi. Di dalam mengaitkan bahasa dengan psikoanasisa, Kristeva melihat sebagai paradigmatik, terutama menerima relasi cinta antara analis dan pasien. Menurutnya, Irigaray berpendapat penyakit jiwa (suka mengasingkan diri) memiliki bahasanya sendiri dan “mengigau” juga mempunyai aturan bahasa sendiri, bahkan kenyataannya sering tidak digubris (dianggap sepele). Poststrukturalisme menyediakan latar belakang dan cara yang tidak dapat dipisahkan dari teori sosial postmodern.

Konteks Sosial
Sampai sejauh ini, kita fokuskan diri pada pikiran-pikiran struktural, poststruktural dan postmodern. Namun, pemikiran ini tidak muncul di dalam kekosongan sosial dan intelektual. Kita akan menyelidiki beberapa faktor kontekstual yang ada dalam perkembangan teoritis yang menjadi keprihatinan kita. Agar pembahasan ini terarah, kita lebih fokus pada Prancis, karena di sanalah pusat alias inti perkembangan teoritis dari keprihatinan alias perhatian kita. Selama dan setelah Perang Dunia II, kehidupan intelektual di Prancis di dominasi oleh teori Marx. Namun banyak kaum intelektual yang menganggap utopis komunisme gaya Rusia tersebut. Mereka lebih tertarik pada eksistensialisme Sartre, terutama janji untuk memenuhi kebutuhan individu di dunia modern. Hanya saja, pikiran Sartre mulai tidak dicintai lagi karena dia terus mendukung komunis. Di dalam penelitian mereka untuk sebuah perspektif teoretis-alternatif, beberapa ahli terpesona dengan strukturalisme, yang mengizinkan mereka tetap menjadi sosialis sambil menyerahkan karyanya yang tidak berlandaskan teori Marx. Strukturalisme juga mendorong mereka yang ingin mengembangkan pengetahuan yang memberi aksentuasi pada manusia sebagai subyek.

Revolusi Mahasiswa radikal tahun 1968 merupakan percikan dalam perkembangan intelektual di Prancis. Gagalnya revolusi itu dan malasnya kelompok-kelompok mahasiswa semakin memberi kesan bahwa Marxisme itu ilusif, dan secara umum, harapan akan adanya solusi revolusi bagi masalah-masalah kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Perasaan itu muncul dalam beberapa dekade terakhir karena komunisme di Soviet runtuh dan di tempat-tempat lain. Di Prancis, pemilihan presiden sosialis, Francois Mitterand gagal membawa perubahan yang dijanjikan.

Demokrasi Sosial di seluruh Eropa yang telah menciptakan program kesejahteraan mulai yakin bahwa mereka tidak perlu lagi mendukung program seperti itu. Kegagalan ini meyakinkan mereka bahwa harapan lama akan adanya solusi agung adalah ilusi semata-mata. Perubahan sosial dalam skala besar membuat jelas bahwa sarana-sarana teoretis lama tidak cukup, pikiran-pikiran teoretis dan prospektif baru diperlukan. Peta dunia dengan kolonialisme dibongkar, dan dekolonisasi dimulai. Banyak negara baru dan merdeka mulai menemukan eksistensinya. Dipimpin oleh kaum Feminis, berbagai gerakan sosial muncul, suara-suara baru muali didengar di Prancis dan di seluruh dunia. Kelompok-kelompok ini menyerukan “kekuasaan” yang lebih besar atas hidup mereka, juga di dalam masyarakat yang mereka tinggal.

Ekonomi negara-negara maju, termasuk Prancis, berkembang namun kemiskinan dan penyakit sosial lain tetap ada. Ekonomi terus berubah dengan banyak industri baik lewat penghematan maupun restrukturisasi. Akibatnya, banyak orang menganggur dan lebih banyak lagi yang karirnya putus atau tidak menentu. Ekonomi beralih dari dominasi pekerjaan-pekerjaan produksi Fordist ke pekerjaan model pelayanan (service type) post-Fordist. Penekanannya lebih pada konsumsi dan bukan produksi, “kita akan dan sedang menyaksikan munculnya masyarakat konsumeristis”.

Kunci utama menuju masyarakat konsumeristis, yakni perkembangan mass media terutama televisi. Televisi tidak hanya memberi pelayanan iklan kepada masyarakat konsumeristis, tetapi juga membombardir masyarakat dengan berbagai ‘image’ yang secara dramatis mempengaruhi dan merubah hidup mereka. Televisi membawa ledakan informasi. Teknologi informasi berkembang dan meledak dalam skala besar dengan muunculnya komputer di rumah-rumah. “Image” yang ditawarkan televisi, komputer rumah membawa pengaruh besar kepada manusia, juga kekuasaannya. Kita tidak dapat mendekati semua jangkauan perubahan sosial yang mempengaruhi kita dan meminta keprihatinan kita. Cukuplah untuk mengatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya pemikiran poststruktural dan terutama pemikiran postmodern. (Bersambung ke Bagian Keempat)