Kamis, 13 November 2014

Mazmur Musim Sunyi –Puisi, Penyair, dan Bahan Baca




Oleh Muhammad Rois Rinaldi (Penyair dan Pimred Tabloid Ruang Rekonstruksi)

Satu hal yang dapat ditandai dari puisi-puisi Sulaiman Djaya dalam antologi puisi tunggal bertajuk “Mazmur Musim Sunyi”, adalah kesunyian itu sendiri. Kesunyian yang dalam dan dingin! Tentu saja dilantari oleh perjalanan hidupnya yang penuh dengan sinyal-sinyal makna serta kesan-kesan puitik yang ia jumputi sebagai bahan renung di ruang kontemplasinya sebagai seorang penyair. Membaca serta menelaah 69 puisi dalam Mazmur Sunyi, saya menemukan beberapa hal yang diulang-ulang oleh Sulaiman Djaya, baik kata, frasa, majas, pola pengandaian mau pun cara melihat dan memaknai sesuatu yang ia saksikan dan rasakan.

Menyoal pengulangan sebenarnya lumrah saja, mengingat hampir semua antologi puisi tunggal mengalami nasib yang sama. Penyebabnya tidak lain tidak bukan, karena keterbatasan mata dalam memandang alam semesta, keterbatasan pikiran manusia dalam memahami, mendalami, dan memaknai kehidupan, serta keterbatasan kata di jagat Indonesia ini, termasuk majas-majas yang berlaku. Maka, dari tidak banyaknya hal yang benar-benar dapat menarik jiwa penyair untuk menulis puisi, terjadilah beberapa pengulangan tema dan pemakaian pengandaian yang tidak jauh-jauh dari situ ke situ juga. Tidak terkecuali dalam Mazmur Sunyi. Selain itu, beberapa simbol juga mendominasi, di antaranya “warna” dan “waktu”. Kedua simbol tersebut sepertinya dengan sungguh-sungguh diposisikan oleh Sulaiman Djaya (kemudian disingkat SD) sebagai media pengandaian sekaligus simbol tertutup dan terbuka untuk menemukan kebermaknaan dalam puisi-puisinya:

“Aku adalah sebuah kalimat sajak // dengan kertas merah tua // dari senja yang menghitung daun-daun albasia (Mula Puisi, Hal 11). “Aku baik-baik saja // seperti hari-hari yang kadang putih // atau agak sedikit berlumut (Di Ruang Baca, Hal 12). “Buku-buku, kertas-kertas, almanac // pintu dan jendela, saling berbisik tentang nasib // yang bukan biru, bukan ungu // bukan juga hijau abu-abu (Monolog, hal 17). “Aku pun tahu kadang engkau bersembunyi // di balik tirai yang terbentang yang kau sebut hijau (Nyanyian Desember, hal 86).

Warna dalam puisi (barangkali) gambaran suatu keadaan sedih, senang, muram, sumringah dan sejenisnya. Misalnya putih, lazim dikonotasikan pada kebersihan, kesucian, katarsis, dan sejenisnya dan sejenisnya. Hijau berkaitan dengan kesejukan, keteduhan, dan sejenisnya. Merah dimaknai sebagai keberanian atau kemarahan. Dapat juga dimaknai lain semisal merah adalah gambaran ketakutan, kemurkaan, atau kemalangan. Pemaknaan-pemaknaan yang dimaksud sangat tergantung pada teks dan konteksnya. Pernah Moh. Wan Anwar mengulas beberapa karya pelajar yang dimuat di Horison sekitar tahun 2002/2003, bahwa warna yang dimasukkan dalam puisi dapat membantu penyair untuk mengejawantahkan suasana atau nuansa serta memperkuat puisi.

Terlepas dari sepaham atau tidaknya, yang perlu ditekankan adalah bagaimana warna yang ditulis dalam puisi tidak selesai sebagai warna melainkan benar-benar mewakili makna tertentu. Karena apa saja di tangan penyair mesti memiliki perwujudan berbeda selain wujud aslinya. Semisal bunga di tangan penyair tidak akan jadi bunga belaka. Lantas bagaimana dengan warna-warna yang ditulis Sulaiman, sudahkah mampu membawa makna atau sekadar nama-nama warna yang ditulis tanpa membawa apa-apa?  Jawabannya dalam puisi Epigraf halaman 15: “Dan aku sibuk memindahkan warna-warna, kalimat, dan kata-kata di pojok waktu tempatmu membaca buku kesukaanmu yang bersampul merah muda dan biru.”

Kesibukan yang dimaksud dapat dimaknai pencarian—Sulaiman Djaya terus berusaha mencari posisi yang tepat bagi warna agar dapat selaras dengan kata dan kalimat. Sehingga saling bersinergi membangun makna yang kuat—karena tidak mudah mencarikan posisi yang tepat bagi warna-warna di dalam puisi. Disebabkan pemanfaatan warna baik, hijau, merah, kuning, biru, putih, hitam, dan sejenisnya, sudah banyak digunakan orang dalam puisi, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad lalu. Kedepan baiknya SD mencari pembaharuan dalam pemakaian simbol. Setidaknya bukan yang kebanyakan orang pakai. Meski demikian, bukan berarti apa yang dilakukan SD adalah salah. Terlebih, konon, kebaruan hanya bagian dari masa lalu.

Tidak jauh berbeda dengan simbol “waktu”,  dapat dimaknai sebagai bentuk kesadaran penyair akan keberadaannya di dunia fana. Kaitannya dekat dengan hakikat keabadian Sang Khalik, sebagaimana disajikan dalam “bersama angin Januari yang menggodaku” (Di Ruang Baca, hal 12), “Di ruang ini, ada detik-detik lengang” (Di Ini Kubaca Lagi Waktu, hal 35) “meniup terompet ulangtahun / di sekartu bergambarku / yang kini telah jadi langit sabtu” (Musim Untuk Ibuku, hal 43), “pada derai angin Februari” (Nyanyian Desember, hal 86), dan “bunga-bunga waktu” (Sajak Bangun Tidur, hal 41). Simbol-simbol waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia.  Inilah isyarat proses kratif seorang SD. Ada kegelisahan sekaligus kesadaran, betapa waktu begitu penting bahkan jadi genting jika tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Penyair, Bahan Baca, dan Puisi

Dalam dunia kepenyairan, proses kreativitas seorang penyair sangat dipengaruhi oleh apa yang dicercap dari kehidupan (realitas)—mencercap sinyal-sinyal alam semesta—semisal  hakikat gugurnya daun dari dahan, hujan, rumput, kambing, kecoa, neon, piring, kelewawar dan sebagainya dan sebagainya.  Selain itu adalah bahan baca yang turut memengaruhi proses kreativitas seorang penyair.  Intensitas membaca yang turut mempengaruhi kepenulisan itu pula yang menjadi landasan hukum boleh terhadap karya-karya yang terpengaruh oleh apa yang dibaca. Tidak terkecuali SD.  Terlebih, SD adalah satu dari sedikitnya orang yang gemar membaca dan memiliki pengetahuan yang sangat luas. Berbicara dengannya seperti mencuri banyak pengetahuan bahkan saat bercanda sekali pun, ada saja ilmu yang dapat dirampok dari ucap dan lakunya. Dikarenakan kegemarannya membaca itulah, sangat mungkin (untuk tidak bilang pasti) ada keterpengaruhan dari bahan bacanya. Meski tidaklah mutlak, bahkan bisa jadi hanya “kebetulan?” Dari puisi-puisinya ditemukan kedekatan dengan puisi-puisi karya penyair terdahulu semisal Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, dan WS Rendra. Perhatikan beberapa amsal berikut ini:

“Aku tak punya banyak nama sepi, tapi yang paling indah kusebut dapur yang tak punya api (Memoar, Hal 18). “Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api.” (diambil dari buku : EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, tahun 2003). Unsur-unsur yang tampak lekat dari puisi WS Rendra dalam puisi SD yang dikutip di atas yakni: 1). “Sepi” tetap menjadi “sepi:”; 2). “Tungku” diperluas oleh SD menjadi “dapur”, yang merupakan tempat tungku berada; 3). “Tak punya” dipadankan dengan “tanpa”; 4). “Api” tetap menjadi “api”; dan 5). “Tapi yang paling indah” memiliki kesan yang sama dengan “itulah berarti” yakni sama-sama sebagai media penunjuk sebelum sampai pada objek yang dimaksud: SD memaksudkan keindahan itu pada “dapur yang tak punya api” dan WS. Rendra memaksudkan pada “tungku tanpa api”. “Dan aku ingin sekali menjadi nyala di depan kakimu” (Memoar, Hal 18). “Kini aku nyala pada lampu padammu” (Abdul Hadi W.M., 1977, Tuhan, Kita Begitu Dekat).

Unsur-unsur yang dapat diperhatikan adalah: 1). “Kini aku nyala” dalam puisi Abdul Hadi WM yang tegas dibuat gamang dalam puisi SD menjadi “aku ingin sekali menjadi nyala”; dan 2). Pada “lampu padammu” dalam puisi Abdul Hadi WM dieksekusi SD dalam puisinya menjadi “di depan kakimu”.  Kedekatannya semakin terasa saat melihat kata depan “pada” (kata depan pada menandai hubungan tempat dan waktu) dalam puisi Abdul Hadi WM dan “di” (kata depan di menandai hubungan tempat beradanya sesuatu) dalam puisi SD. “Aku tak ingin hidup lagi // walau kau beri aku surge // aku sudah kecewa” (Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu, hal 93). “Hingga hilang pedih peri // Dan aku akan lebih tidak peduli // Aku mau hidup seribu tahun lagi” (Chairil Anwar,  1943, Aku).

Berbeda dengan contoh-contoh sebelumnya, kedekatan puisi “Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu” karya SD dengan puisi “Aku” karya Chairil Anwar terlihat sebagai pertentangan/antetisis terutama pada bagian “Aku mau hidup seribu tahun lagi” (Chairil) dan “Aku tak ingin hidup lagi” (SD). Selain itu, juga dapat ditemukan pada bagian berikut ini: 1). “Aku” sama-sama sebagai kata pembuka larik; 2). “Mau” (Chairil) menjadi “tak ingin” atau kalau dipertegas menjadi “tidak mau” (Sulaiman); 3). “Hidup” yang ditulis Chairil juga ditulis “hidup” oleh SD; 4). “Lagi” sebagai penutup dalam puisi Chairil juga ditulis “lagi” sebagai penutup dalam puisi SD.

Bagaimana pun setiap manusia memang selalu dipengaruhi oleh segala hal yang berinteraksi dengan dirinya. Baik interaksi sosial (manusia kepada manusia), interaksi alam (manusia dengan alam) dan interaksi ketuhanan (manusia dengan Tuhan). Karena itu fitrah, bahkan Gunawan Mohamad lebih ekstrim, ia mengatakan bahwa orisinalitas mengacu ke masa lalu sementara hari ini dan untuk masa depan hanya ada kreativitas.   Meski saya tidak sependapat dengan pendapat tersebut, karena manusia yang selalu mencari akhirnya akan menemu juga—menemu sesuatu yang baru meski berangkat dari kreativitas. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar