Sabtu, 08 November 2014

Air dan Ayat-ayat Ekologi



Radar Banten, 14 Agustus 2014

Jamak diketahui oleh kita, utamanya ummat Islam, air menempati posisi yang teramat penting dalam keseharian, bahkan dapat dikatakan sebagai yang utama. Air bahkan merupakan sesuatu yang dengannya kita bersuci sebelum sholat atau melakukan ibadah-ibadah lainnya yang dianjurkan berwudhu dan bersuci. Kalau pun dibolehkan bersuci dengan yang lainnya, semisal tayamum dengan debu, hanya dalam kondisi darurat atau dalam situasi tidak normal saja. Hingga di kalangan ummat Islam, populer pula hadits yang berbunyi “Kebersihan (kesucian) adalah sebagian dari iman”.

Nah, air sebagai salah-satu unsur hidup dan bahkan pembentuk ekosistem kehidupan dan ekologi ini, memiliki tempat yang sangat istimewa dalam Islam. Dalam al Qur’an surah al Anbiya ayat 30, contohnya, ditegaskan: “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup”. Bila kita perhatikan bunyi “Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” itu, tak ragu lagi bahwa air itu sendiri merupakan sesuatu di mana “hidup” dan “sesuatu yang hidup” dijadikan dari dan dengannya.

Dalam konteks itu Jerrmein Abu Shahba (Lihat Jerrmein Abu Shahba, Pohon Kenabian, Penerbit Citra Jakarta Mei 2013, hal. 169-170), misalnya, menerangkan bahwa air merupakan unsur kelahiran penciptaan utama makhluk hidup. Kita tahu, dalam kerajaan atau dunia hewan dan manusia, yaitu kita sendiri, contohnya, kita mengenal sperma yang adalah substansi yang terdiri dan terbentuk dari air, yang seperti kita tahu, merupakan sebab penciptaan manusia, setelah penciptaan pertama (Nabi Adam As). Begitu pula para ilmuwan menegaskan bahwa kehidupan dan kelangsungan hidup tumbuhan dan hewan berada dalam dan di atas air, yang sumber utama air tersebut turun dalam bentuk hujan, selain dari ekologi dan ekosistem air (semisal sungai dan resapan air), sebagaimana ditegaskan al Qur’an surah an Nahl ayat 65: “Dan Allah telah menurunkan air dari langit dan dengannya Dia menghidupkan bumi setelah kematiannya”.

Visi Ekologi Mulla Sadra

Selain telah ditegaskan al Qur’an dan al Hadits, masalah ekologis ini juga ternyata mendapatkan perhatian seorang filsuf muslim, yaitu Mulla Sadra. Kita tahu dalam filsafatnya Mulla Sadra secara umum memandang realitas ini sebagai kesatuan (holistic) dari manifestasi ciptaan Yang Maha Kuasa. Visi filsafat Mulla Sadra sendiri memang tidak bisa dilepaskan dari visi tauhid-nya sebagai seorang muslim. Dan pandangan ekologis Mulla Sadra ini tentu saja mendahului visi ekologisnya Fritjof Capra yang juga sama-sama memandang hidup dan realitas dengan paradigma holistik, terutama dalam bukunya yang berjudul Webs of Life itu.

Sebagai contoh, dan tentu saja perspektif ini relevan dalam ranah ekologis, Mulla Sadra memandang bahwa semua yang ada seumpama rantai yang terkait satu sama lain, dan pandangan ini akan mengingatkan kita kepada pandangannya Fritjof Capra dalam bukunya berjudul Webs of Life tersebut bahwa suatu ekosistem dan realitas kehidupan merupakan suatu jaringan dan keterkaitan satu sama lain, yang tak ubahnya jaring-jaring yang terhubung satu sama lain. Namun pandangan Mulla Sadra tak hanya pada konteks yang profan semata, tapi juga menyangkut visi kosmologi yang besar dan umum. Menurutnya, “Yang Ada” sebagai yang padu dan holistik tersebut mencakup Tuhan, malaikat, manusia, langit, bumi, galaksi, air, tumbuhan, dan yang lainnya yang ada dalam semesta ini. Tepat di sini lah, apa yang dipahami Mulla Sadra tersebut koheren dengan visi ekologis dan kosmologis Islam sebagaimana ditegaskan al Qur’an.

Kita simak saja contoh ayat al Qur’an (Surah al Mu’minun ayat 18) yang berkaitan dengan visi ekologis dan kebetulan masih dalam konteks tentang air: “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya”. Ayat al Qur’an ini tak luput dari perhatian Mulla Sadra, dan tentu juga kata “menetap” dapat kita pahami sebagai air yang meresap di dalam tanah, yang mengalir di sungai-sungai, yang tertampung di danau dan laut, dan lain sebagainya. Barangkali di sini kita juga perlu menyimak sepotong untaian puisi seorang penyair Persia (Iran), Baba Taher, tentang nilai penting dan makna air ini, “Aku melihat laut, dan aku melihat Engkau”, di mana dalam sepotong larik tersebut, air dan laut memiliki makna yang sakral dan transenden, sebagaimana Mulla Sadra juga melihat air dan alam sebagai sesuatu yang sakral dan transenden, bukti Kemahabesaran Tuhan.

Nabi Muhammad Saw dan Kesadaran Ekologis

Sekarang kita kembali lagi kepada Islam dan wawasan ekologis, di mana nilai-nilai dan spirit Islam juga tidak mengabaikan aspek ini. Ada sebuah pepatah Arab yang cukup relevan di sini, yaitu al Insan ibnu bi’atihi, manusia itu anak lingkungannya. Kesadaran ekologis ini pun, berdasarkan riwayat Abu Dawud, Rasulullah pernah melarang menebang pohon di gurun yang menjadi tempat berteduh bagi manusia dan hewan. Bahkan, terkait dengan gerakan menanam pohon yang telah lama kita kenal, ribuan tahun silam telah sangat dianjurkan oleh Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, di mana Rasulullah bersabda: “Tiada seorang Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah”.

Bayangkan, seperti terbaca jelas dalam hadits itu, menanam pohon yang karenanya atau yang dengan pohon yang kita tanam tersebut bermanfaat bagi mahkluk Tuhan, maka manfaat tersebut dinilai dan dihitung sebagai sedekah, sebagai amal jariyah. Barangkali juga manfaatnya dalam merawat dan menjaga ketersediaan oksigen bagi kebutuhan hidup manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Sikap dan Aksi Kita

Persoalannya adalah, meski Islam telah mengajarkan wawasan ekologis, hal itu tidak akan berarti apa-apa jika ummat Islam sendiri tidak mengembangkannya lebih lanjut, semisal menumbuhkembangkan aksi-aksi dan inovasi-inovasi yang dapat merawat dan menjaga lingkungan dari kerusakan serta dari kehancuran. Seperti telah disebutkan, sebagai salah-satu contoh, nilai air sebagai sesuatu yang sangat penting bahkan utama dalam lingkungan dan alam, tak pelak lagi harus menjadi perhatian utama kita. Sebagai contoh lagi, bila air rusak, tak terawat, kotor semisal tercampur limbah beracun, maka dampak buruknya akan merambah dan berakibat ke segala hal. Entah kepada tanaman, kepada tanah, dan lain sebagainya, yang pada akhirnya akan berdampak buruk kepada manusia juga, kita sendiri, seperti gangguan kesehatan dan kelangkaan air bersih itu sendiri untuk kebutuhan sehari-hari.

Tentu saja, praksis yang paling nyata dan riil yang dapat dilakukan adalah memulai dari diri kita masing-masing, ibda’ binafsik, semisal mulai hidup ramah lingkungan, mulai dari hal-hal yang remeh seperti tidak membuang sampah sembarangan, bila kita sendiri ingin mengamalkan seruan “Kebersihan (kesucian) itu sebagian dari iman”. Contoh kecil lainnya adalah membiasakan diri tidak menghambur-hamburkan komoditas keseharian kita, semisal menghindari untuk senantiasa membeli hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Dan tentu juga, yang tak kalah penting, adalah kebijakan dan inisiatif pemerintah dalam tingkatan dan jangkauan yang lebih makro dan lebih besar, terutama pemerintah pusat, semisal bahwa pemerintah tidak lagi mengalah kepada kebijakan dan negosiasi yang hanya menguntungkan Negara-negara maju yang acapkali berlepas-tangan dari tanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan, semisal tunduk begitu saja atas tekanan Negara-negara maju, yang bahkan dengan menggadaikan visi ekologis kita demi “kucuran uang” dari Negara-negara maju, yang ironisnya uang tersebut tak imun dari korupsi. Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi?

Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar