Jumat, 14 November 2014

Fungsi Intelektual Publik




 Banten Raya, 15 November 2014

Imam Ja’far as Shadiq ra pernah berkata, “ulama adalah kepercayaan para rasul, dan bila kau temukan mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketaqwaan mereka”. Jika saja kita ganti kata ‘ulama tersebut dengan kata intelektual, barangkali tidak akan kehilangan relevansinya, sebab acapkali sikap kritis seorang intelektual pun tidak tersuarakan ketika telah terkooptasi interest kekuasaan atau kepentingan politik yang mengekangnya. Sebagaimana para ‘ulama yang baik dan mu’tabar, intelektual pun memiliki fungsi sebagai suluh dan pelita bagi masyarakatnya. Bahkan dalam kadar yang ketat atau maqam-nya yang rigorous, fungsi intelektual sebagaimana dinyatakan Julian Benda (1867-1956) dalam bukunya yang masyhur La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Cendikiawan) itu, mengimajinasikan kaum intelektual dalam sosok ideal, yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik.
           
Berbeda dengan Julian Benda yang pernah digandrungi kaum muda dan para mahasiswa yang hobi melakukan demonstrasi itu, Edward W. Said, yang juga dikenal sebagai eksponen perjuangan Palestina, mendefinisikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada publik atau kepada masyarakat luas. Ideal intelektual sebagaimana dinyatakan Edward Said tersebut akan mengingatkan kita pada dua kategori fungsi dan definisi intelektual yang dikemukakan Antonio Gramsci. Pertama, intelektual tradisional atau intelektual normative seperti para guru, para ulama, dan para administrator, di mana kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama alias hanya menjalankan fungsi tradisional mereka yang normative. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan professional, di mana Gramsci sendiri mengidealkan intelektual dalam kategori kedua ini.

Dalam hal ini Antonio Gramsci, sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya yang berjudul Selections From Prison Notebooks (1978), mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual. Dengan pernyataan semua orang adalah intelektual tapi tidak semua orang “melakukan fungsi intelektual” tersebut sesungguhnya Gramsci ingin menegaskan bahwa ada intelektual yang terjun langsung ke kancah masyarakat dan ada intelektual yang hanya asik di menara gading dan tidak berusaha membagi “ilmu” dan “pemahamannya” secara intelektual dan praktis kepada masyarakat luas. Dalam konteks yang demikian, James Petras, misalnya, mengelompokkan intelektual dalam tiga kelompok, yaitu intelektual dalam organisasi non pemerintah/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), intelektual dalam dunia akademik (seperti mereka yang berkecimpung di institusi-institusi univeristas dan perguruan tinggi) dan yang ketiga adalah “intelektual public” seperti penasehat-penasehat serikat buruh, professor dan pemimpin partai politik atau wartawan dan penulis lepas.
           
Dalam tulisannya yang berjudul Social Opposition in the Age of Internet itu, James Petras lebih detil menyatakan: “Intelektual-intelektual publik berperan untuk mengarahkan terciptanya rapat-rapat terbuka, memformulasikan ide-ide, serta menawarkan program-program dan strategi dalam aksi-aksi politik. Mereka yang duduk di kantor di balik meja, dalam ruang yang terisolasi, lantas selalu membagi-bagikan lima manifesto setiap menitnya adalah aktivis-aktivis desktop atau aktivis kantoran. Ini adalah sebuah bentuk psudeo-militansi yang menjauhkan kata dari perbuatan. Aktivisme dari  balik meja merupakan sebuah bentuk tindakan verbal dari aktivisme yang tanpa sebab-akibat, atau sebuah revolusi yang hanya ada di dalam pikiran. Pertukaran informasi dalam komunikasi internet hanya akan berubah menjadi sebuah tindakan politis ketika ia diwujudkan dalam gerakan sosial yang secara terbuka melawan kekuasaan. Kita pun perlu mempertimbangkan resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi oleh intelektual-intelektual publik seperti ancaman kriminalisasi oleh kepolisian di ruang-ruang publik atau pun dampak-dampak ekonomi dalam urusan privat. Sebaliknya aktivis desktop tidak berhadapan dengan resiko apa pun dan hanya mengurusi hal-hal kecil. Intelektual publik berusaha menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam suatu bentuk aktivisme sosial kolektif, sebaliknya kritik-kritik akademik terhadap aksi-aksi nyata, hanyalah ucapan kosong yang akan dikembalikan ke meja akademik. Intelektual publik berbicara dan menyokong pendidikan politik jangka panjang yang berkomitmen pada oposisi sosial dalam ruang-ruang publik, baik melalui internet atau pun dengan tatap muka secara terus menerus setiap hari”.
           
Jika kita setuju dengan definisi dan fungsi intelektual sebagaimana dinyatakan oleh Julien Benda, Edward W. Said, Antonio Gramsci, dan James Petras tersebut, maka tak ragu lagi bahwa fungsi intelektual publik adalah mereka yang sanggup memberikan kontribusi dan sumbangsih bagi perubahan alias progress, perbaikan dan sekaligus pendampingan masyarakat, yang dalam ideal Antonio Gramsci disebut sebagai intelektual organik atau intelektual yang memberikan kontribusi pencerahan dan bahkan terlibat dalam kancah praktis di masyarakat. Di sini perlu sekali lagi ditegaskan bahwa para intelektual adalah mereka yang berjuang dengan pena dan tenaganya untuk memberikan sumbangsih bagi progress dan pencerahan masyarakat luas, bukan menjadi para kolaborator kekuasaan yang terjerembab dalam manipulasi dan korupsi.
           
Persis, dalam kadar tersebut sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya Edward W. Said yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia berjudul Peran Intelektual (Yayasan Obor Indonesia 1998) itu, Edward W. Said menyatakan: “Intelektual adalah orang yang cakap (pintar) mengatakan hal-hal oposisional sedemikian rupa hingga ia bebas (independen) karenanya. Karena ia (intelektual) betul-betul menguasai seni bicara dan di lain pihak tidak langsung tergantung dari seorang atasan yang berhak menentukan apa yang boleh dikatakannya, ia dapat mengatakan hal-hal yang tidak berani dinyatakan oleh para politisi”.

Sulaiman Djaya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar