Sabtu, 08 November 2014

Taman Ruhani Islam




Dipublikasi secara bersambung di Radar Banten, 22-23 November 2013

“Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” (Sa’adi, Gulistan). “Barangsiapa mengikuti jalan pencarian kebenaran, ia akan kehilangan mahkota kebanggaan sekaligus kehilangan kepala rasionalitas” (Nizami, Treasury of Mysteries).

Dalam khazanah peradaban dan intelektual Islam, sufisme dapat diumpamakan sebuah kotak berisi emas yang tak terkena karat. Karya-karya sastra dan intelektual kaum sufi merupakan perbendaharaan wawasan keagamaan Islam dan humanisme universal tanpa dibatasi oleh perbedaan etnis, agama, kebangsaan, dan entitas politik pada saat bersamaan. Ia merupakan taman ruhani yang senantiasa menghadirkan bunga-bunga indah dan segar bagi kita yang mengunjunginya. Karya-karya sastra mereka menyediakan katarsis (penyembuhan dan refleksi) bagi kita yang membacanya, jika saya meminjam istilahnya Aristoteles, tentang salah-satu fungsi seni dan sastra yang dapat menjadi cerminan tentang diri kita sendiri sekaligus menjadi semacam “penyembuhan” bagi hati, jiwa, dan kesadaran kita sebagai pembaca, semisal dapat merasakan rasa senang, terhibur, dan hilangnya rasa derita yang tengah kita tanggung ketika membaca karya-karya sastra atau menikmati pentas seni. Maka, sastra dan seni, ternyata, memiliki dampak sangat positif bagi sisi ruhani kita, selain menghadirkan keindahan.

Secara pedagogik, banyak kandungan-kandungan reflektif tentang pengajaran akhlaq dalam sastra kaum sufi, utamanya tercermin dalam puisi-puisi mereka. Bahkan dengan cukup bagus, Muhammad Ja’far Mahjub mengatakan bahwa aspek pengajaran akhlaq ini merupakan salah-satu ruh sastra sufisme (Lihat Muhammad Ja’far Mahjub, Futuwwah dan Sufisme Persia Awal, Pustaka Sufi 2003, hal. 1-4). Seringkali ajaran dan nilai-nilai akhlaq ini disampaikan dan dinarasikan lewat fabel seperti yang dilakukan Fariduddin Attar dengan karya mashurnya Mantiq at Thayr (Lihat Fariduddin Attar, Musyawarah Burung, Tarawang Press 2003) dan Firdausi dengan Shahnameh-nya itu. Sementara itu, James Winston Morris, menyatakan bahwa salah-satu aspek khazanah para penulis dan pemikir klasik Islam tak ubahnya para pembangun dan penyingkap kesadaran ruhani kita sebagai manusia yang berada dalam dunia dan kosmik, di mana manusia merupakan bagian tak terpisahkan dengan kosmik dan dunia tersebut (Lihat James Winston Morris, Sufi-sufi Merajut Peradaban, Forum Sebangsa, Jakarta 2002).

Sufisme Sebagai Taman Ruhani

Sastra, utamanya puisi, tak semata cerminan kapasitas rasio, namun merupakan cerminan utuh dari keseluruhan ruhani dan intelegensia manusia. Ia berkenaan dengan “dzauq” (perasaan bathin) dan eksistensi ruhani. Di sini, sebagaimana dikemukakan Annemarie Schimmel ketika ia menerangkan tentang posisi penyair sufi An Nuri, khazanah intelektual dan kesusastraan kaum sufi lahir dari jantung kalbu (heart of the heart), yang memiliki empat tingkat pemahaman. Pertama, shadrun (dada) dihubungkan dengan Islam (QS 95:22). Kedua, qalbun dihubungkan dengan iman (QS 40:7). Ketiga, fu’adun (kalbu bathiniah) adalah kursi ma’rifah dan pengetahuan intuitif (QS 50:11). Dan Keempat, lubb (inti hati yang paling dalam) dihubungkan dengan tawhid (QS 3:190) (Lihat Annemarie Schimmel, Abu Husayn al Nuri, Pustaka Sufi 2002, hal. 10). Meski Annemarie Schimmel dalam kasus tersebut hanya berbicara tentang Abu al Husain an Nuri, namun puisi para penyair sufi yang lahir dari “taman ruhani” mereka tercermin juga dalam puisi-puisinya Attar, Rumi, Hafiz, dan yang lainnya.

Sementara itu, secara umum, puisi lahir dari keintiman seseorang dengan dunia dan keseharian. Di sini, puisi yang berhasil adalah puisi yang sanggup menciptakan realitas dalam puisi sekaligus memantulkan refleksi ruhani kepada para pembacanya, yang dengan itu pula pencitraan dan kiasan menjalankan fungsinya, bahkan pada tingkat lebih jauh, pencitraan dan kiasan tersebut sanggup menciptakan fantasi dan transendensi demi menggambarkan sebuah dunia-realitas yang unik dan memang hanya milik puisi itu sendiri. Martin Heidegger melalui puisinya yang berjudul Poetry, Language and Thought itu mengatakan bahwa puisi bisa dipahami sebagai puncak pemikiran, akan tetapi pemikiran yang dimaksudkan Heidegger itu tak semata hanya kemampuan dan kapasitas salah-satu fakultas tubuh kita yang kita sebut rasio, pemikiran yang dimaksudkannya adalah keterlibatan dan keintiman seluruh pancaindera kita termasuk hati, dengan aspek perasaan dan sisi ruhaniah kita sebagai manusia (Lihat Bambang Riyanto, Care: The Ontological Foundation of Dasein dalam Majalah Filsafat Diryarkara Tahun XXV, No.2, hal. 5-19).

Heidegger memang berbicara tentang ketersituasian manusia dalam dunia, apa yang ia sendiri menyebutnya sebagai Being in the World alias “berada dalam dunia”, yang juga mengingatkan kita pada eksistensialisme-nya Soren Kierkegaard, mirip seperti ketika jatuh cinta yang dalam bahasa Ingris ditulis dan diucapkan menjadi “Fall In Love” alias “Jatuh dalam Cinta” atau “berada dalam cinta”. Keintiman ruhaniah serupa akan kita jumpai dalam puisi-puisi para penyair sufi ketika mengunggkapkan aspek mahabbah dan kedekatan mereka kepada Sang Khalik, yang acapkali mereka kiaskan dengan kata dan perbendaharaan “anggur” dan “kedai” saat hendak menggambarkan rasa cinta dan rindu mereka yang sunyi sekaligus bergejolak, yang “memabukkan”. Dalam hal ini, puisi-puisi mereka merupakan media dan instrument sebagai “pengobat” atau “penyembuh” kerinduan bathin mereka.

Susastra Sebagi Katarsis

Sebuah karya sastra, utamanya puisi, menjadi dekat kepada kita ketika puisi yang kita baca menjadi “cermin reflektif” hidup kita sendiri sebagai pembacanya. Hal ini berlaku, sebagai contohnya, ketika manusia-manusia modern menemukan “refleksi diri” dan “pemenuhan dahaga kekeringan spiritual” mereka dengan membaca puisi-puisinya Jalaluddin Rumi. Seperti kita tahu, dengan kekuatan lintas-batasnya yang melampaui sekat-sekat etnik, kebangsaan, bahkan agama, puisi-puisi Jalaluddin Rumi begitu menjadi “inspirasi”, “katarsis”, dan “pemenuhan dahaga spiritual” manusia-manusia modern di lintas benua dan bangsa di saat mereka merasa jenuh, bosan, terjebak “kehampaan”, dan “disibukkan rutinitas keseharian” mereka. Puisi-puisi Jalaluddin Rumi bahkan menjadi “inspirasi”, “refleksi”, dan “katarsis” bagi mereka yang tengah jatuh cinta atau pun putus-asa.

Pertanyaannya: mengapa puisi-puisi sufistik Jalaluddin Rumi bisa sedemikian berpengaruh seperti itu? Tak lain karena puisi-puisinya menjadi semacam “penawar” dan “pengobat” kerentanan “eksistensi ruhani” manusia yang memang bersifat universal tanpa pandang bulu. Hal serupa juga berlaku bagi puisi-puisi Hafiz dan Attar, untuk menyebut dua contoh penyair sufi lainnya. Marilah kita simak salah-satu puisi Jalaluddin Rumi yang berjudul Yang Seribu dari Jiwaku:

Wahai Tuhan Pemilik Keindahan, Pemilik Anugerah masukilah jiwaku
sebagaimana kau masuki kebun yang penuh bunga

Hanya sebab kerling-Mu batu berubah jadi manikam
Satu isyarat dari-Mu telah cukup untuk
mencapai setiap tujuan

Datang, datanglah. Engkaulah kehidupan dan pembebasan manusia
Datang, datanglah. Engkaulah mata dan cahaya Yusuf
Eluslah kepalaku. Sebab sentuhanmu mencahayai kegelapan tubuhku

Datang, datanglah. Engkau menganugerahkan keindahan dan rahmat
Datang, datanglah. Engkau penyembuh seribu jenis penyakit
Datang, datanglah. Meski belum pernah kau tinggalkan aku
tetaplah kemari dan dengarkanlah puisiku
sebab Engkaulah yang seribu jumlahnya dari jiwaku

Pergilah dan bawa serta kerinduan masa lalu
Engkaulah Kekasihku

Jika Raja tidak bersemayam di singgasana dunia ini
Yang ada hanya kegelapan dan kegamangan

Engkau bergembira dan hidup dengan napas-Nya
Engkau bergerak karena kekuatan yang mengalir dari cinta-Nya
Sekarang saatnya, seperti seniman, Engkau mencipta
Sekarang saatnya, seperti pelayan, engkau menyapu

Setiap yang Kau sentuh akan menuju
dan terbang bersama sayap-sayap bidadari
Namun, ingatlah, sayap-sayap itu tak cukup kuat
membawamu terbang menuju Tuhan
Sama seperti seekor kuda bagal yang dikendarai Nabi
Hanya cinta yang akan membawamu kembali menuju Tuhan.

(Penerjemah: Asih Ratnawati, Terompah Jogjakarta 2000).

Jika kita baca dan kita simak secara seksama, puisi Jalaluddin Rumi tersebut merupakan gambaran yang kuat tentang keintiman seorang penyair sufi dengan Tuhan-nya yang pada saat bersamaan menggambarkan Tuhan yang diakrabinya diintimi dalam keindahan, yang dengan itu seorang penyair sufi mengungkapkan rasa sunyi dan rindu dalam “taman ruhaninya” yang begitu dalam, berusaha menjadikan “yang dicintainya” sebagai satu-satunya yang dapat memberinya “kecukupan”, “kepuasan”, dan “keindahan” itu sendiri. Di sisi lain, puisi tersebut ketika dibaca oleh kita akan memancarkan keindahan “ruhani” dan “pancaran religius” yang dapat menginspirasi kita atau bahkan menguatkan religiusitas kita.

Menurut Reynold A. Nicholson (Lihat Reynold A. Nicholson, Gagasan Personalitas dalam Sufisme, Pustaka Sufi 2002, hal.75-107), contohnya, salah-satu kekuatan seduktif puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah karena “makna dan pancaran bathin-”nya yang dalam diungkapkan dengan bahasa dan tuturan yang akrab di telinga dan pemahaman para pembacanya. Kiasan-kiasannya digali dari persoalan-persoalan keseharian manusia yang universal.

Sebagaimana Fariduddin Attar, yang adalah gurunya Jalaluddin Rumi, pesan-pesan sastrawi seputar akhlaq dan aspek religius serta pencarian spiritual juga dikemukakan dan dinarasikan melalui bentuk naratif fabel, prosa, dan anekdot (Lihat Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya, Pustaka Hidayah 2001, hal. 14-5). Upaya menggunakan fabel, prosa, dan anekdot itu pun tak lan dimaksudkan agar pesan dan makna religius dan spiritual, kandungan “taman ruhani” karya-karya sastra dan pengajarannya dapat ditangkap dan dipahami oleh pembaca, tanpa harus kehilangan kedalaman makna dan keindahan sastrawi itu sendiri. Simaklah puisinya yang berjudul Yang Tercinta:

Ada sebuah tempat di mana kata-kata
menjadi sunyi
di mana bisikan-bisikan hati muncul dan
tak tertabiri

Ada sebuah tempat di mana suara
menyanyikan keindahanmu
sebuah tempat di mana setiap nafas
memahat dirimu
di jiwaku

(Penerjemah: Asih Ratnawati, Terompah Jogjakarta 2000).

Hafiz, Rindu, Tuhan

Hafiz dari Syiraz yang bernama lengkap Syamsuddin Muhammad, mulai diapresiasi di dunia intelektual dan kebudayaan Barat sejak karya-karya puisinya memukau para peneliti dan pujangga dari Jerman dan Perancis, terutama berkat Goethe yang adalah pujangga raksasa Jerman itu. Daya tarik puisi-puisi Hafiz tak lain karena suara dan tema yang diangkatnya melampaui batas-batas keagamaan, etnik, dan kebangsaan, yang salah-satunya ajaran toleransi (tasamuh) dan welas asih. Sebenarnya tak hanya di Barat saja, di Timur sendiri banyak ulasan tentang keunikan dan keistimewaan Hafiz. Dalam salah-satu ulasannya tentang Hafiz, misalnya Ibrahim Amin al-Shawaribi menulis: “Pada masa kecil dan remaja, Hafiz tak bisa menulis puisi. Dia gubah puisi, orang-orang tak terpesona. Dia suka gadis desa tetangganya, gadis itu malah menolak dirinya. Lalu, dia iktikaf di sebuah makam, berkhalwat dan berdoa selama 40 hari, sampai dia mimpi bertemu Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah yang memberinya santapan dari surga. Hafiz menceritakan hal ini dalam ghazalnya, “Malam kemarin, pada waktu sahur, mereka menyelamatkanku dari duka dan nestapa” (Diwan Hafiz al-Shirazi, Muhammad bin Baha’ al-Din Muhammad (Hafiz al-Shirazi), terjemah ke dalam Bahasa Arab oleh Ibrahim Amin al-Shawaribi, Teheran: Mehrandish li al-Nashr, cet. I, 1999, h. 10).

Dikisahkan ada fakta menarik saat Hafiz wafat, di mana di saat wafatnya sekelompok ulama menolak pengurusan jenazahnya dengan dalih keber-agama-annya meragukan dan keyakinannya mencurigakan. Sekelompok ulama lain tidak menyetujui tuduhan itu. Lalu, mereka mencari keputusan dengan mengundi melalui syair-syair Hafiz yang tertulis dalam beberapa lembaran kertas. Kertas yang keluar dalam undian itu adalah bait terakhir Ghazal 48 yang berbunyi, “Jangan ragu-ragu mengantar Hafiz ke pusaranya. Dia memang tenggelam dalam dosa. Tapi dia akan pergi ke surga.”(Diwan Hafiz al-Shirazi, Muhammad bin Baha’ al-Din Muhammad (Hafiz al-Shirazi), terjemah ke dalam Bahasa Arab oleh Ibrahim Amin al-Shawaribi, Teheran: Mehrandish li al-Nashr, cet. I, 1999, h. 10).

Secara umum, puisi-puisi Hafiz merupakan kekayaan hidup yang ditimba dari ikhtiar pembacaan, renungan, dan pengalaman seorang penyair dalam menjalani kefanaannya. Puisi-puisi Hafiz sarat dengan seduksi-nada, memainkan dan mengeksplorasi kesederhanaan tuturan tanpa kehilangan daya-pikat simbolik. Kalau pun ada muatan pedagogik di dalamnya, tetap diungkapkannya dengan lembut dan jernih. Kesederhanaan gaya penuturan-puitis Hafiz tersebut justru adalah kekuatannya untuk memudahkan penyampaian dan ikhtiar berbagi dengan pembaca sejauh menyangkut pengalaman puitik seorang mistikus atau pun penyair. Tak jauh berbeda dengan Jalaluddin Rumi, dunia taman ruhanai Hafiz adalah dunia kerinduan kepada Tuhan, meski di saat yang sama, puisi-puisinya merupakan sebentuk keterlibatan dengan hidup itu sendiri. Di saat yang lain, puisi Hafiz berbicara tentang kerentanan subjek melalui tuturan simbolik. Daya-pikat simbolik tersebut tentu saja terasah dari keintiman yang kuat pada hidup, juga karena kerinduan spiritual kepada Tuhan (Lihat Daniel Ladinsky, Aku Mendengar Tuhan Tertawa, Risalah Gusti 2005).

Ketika kita membaca puisi-puisi Hafiz, kita akan tahu bahwa Tuhan-nya Hafiz adalah Tuhan yang pengasih dan penyayang. Tuhan yang menjadi kekasih seorang hamba yang dirundung cinta; Tuhan yang mendatangkan rindu: “manakala kebahagiaan mendengar namamu, ia tengah berlarian ke jalan-jalan, mencoba untuk menemukanmu”. Dan kebahagiaan seorang yang dirundung cinta adalah tak lain kedatangan kekasihnya: “dan beberapa kali dalam minggu lalu, Tuhan sendiri bahkan telah sampai di pintuku”. Dan buah rindu atau perjumpaan tak lain adalah sebuah lagu: “mungkin hendaknya kita menggubah puisi ini ke dalam lagu”. Begitulah puisinya yang berjudul Beberapa Kali Dalam Minggu Lalu.

Menurut Hafiz, Tuhan yang tertawa ini adalah Tuhan yang terjaga untuk menemani kekasihnya: “Apa itu ketawa? Apa itu tawa? Ia adalah Tuhan yang tengah terjaga!”. Dengan ini pula Hafiz menyindir dengan halus dan lembut mereka-mereka yang cemberut dan tak mau tersenyum: “Oh makhluk yang mengagumkan, oleh kejadian aneh apa engkau begitu sering tidak tersenyum?”. Akhirnya, Tuhan yang tersenyum dan tertawa adalah Tuhan yang ramah dan pemaaf. Ia mungkin bisa memaafkan kelalaian kekasih-Nya.

Susastra, Religiusitas, Katarsis

Contoh-contoh puisi Jalaluddin Rumi dan Hafiz itu memancarkan dimensi ruhani yang lembut dan dalam. Ketika kita membacanya, dimensi religiusitas kita pun kemudian mendapatkan penyegaran dan pencerahan. Di sinilah letak “katarsis” dan daya “inspiratif” puisi-puisi mereka bagi dan kepada kita yang membacanya. Tentu, selain memberikan pencerahan dan penyegaran religiusitas kita, puisi-puisi mereka juga sanggup membuka pintu-pintu baru bagi wawasan kita kepada hidup, mengajak kita dengan santun dan lembut, tidak menggurui dan cenderung menghadirkan diri sebagai penggugah sisi ruhaniah dan pikiran kita dalam memandang diri kita dan hidup itu sendiri. Kosmologi puisi-puisi mereka memang dibangun dari pengalaman bathin yang sifatnya menegur dan menyapa dengan santun, memancarkan keintiman religius, dan sekaligus manifestasi sikap afirmatif pada keseharian.

Puisi-puisi sufisme, dengan caranya yang mengajak kita “melihat” dan “merenung” ke dalam diri kita dan mengkomparasikanya dengan “kosmik” di sekitar kita, membuat kita mendapatkan cermin dan perbandingan untuk melihat dan memandang diri kita ketika kita membacanya. Selain itu, puisi-puisi sufisme pun menularkan kearifan dan wawasan akhlaq dengan caranya “menyapa” kita, sesekali menegur dengan lembut dan menyentil dengan tetap didasarkan pada welas-asih dan ujaran-ujaran yang sifatnya komparatif, perumpamaan, dan contoh-contoh yang bijaksana dan tidak terkesan verbal dan menggurui, hingga ketika kita membacanya, kita ikut merefleksikannya bersama-sama puisi-puisi yang kita baca.

Sulaiman Djaya 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar