“Hikayat
ini adalah contoh sastra lisan di Banten dan Jawa Barat yang lebih bersifat
kiasan –yang memaksudkan dirinya untuk bercerita tentang bagaimana peralihan
kultural dan politik di Banten dan Jawa Barat dari Era Hindu ke Era Islam”
Prabu
Siliwangi memiliki beberapa putra dan putri, diantaranya adalah Raden Kian
Santang dan Ratu Rara Santang, yang keduanya adalah putra dan putri kesayangan
sang Prabu. Raden Kian Santang terkenal dengan kesaktiannya yang luar biasa. Di
dunia persilatan nama Raden Kian Santang sudah tak asing lagi sehingga seluruh
Pulau Jawa bahkan Nusantara saat itu sangat mengenal siapa Raden Kian Santang.
Tak ada yang sanggup mengalahkannya. Bahkan, Raden Kian Santang tak pernah
melihat darahnya sendiri.
Suatu
ketika, Raden Kian Santang yang adalah putra Prabu Siliwangi itu terkejut
ketika di dalam mimpinya ada seorang kakek berjubah yang mengatakan bahwa ada
seorang manusia yang sanggup mengalahkannya, dan kakek tersebut tersenyum. Mimpi itu terjadi beberapa
kali hingga Raden Kian Santang bertanya-tanya siapa gerangan orang itu. Dalam
mimpi selanjutnya sang kakek menunjuk ke arah lautan dan berkata bahwa orang
itu di sana.
Penasaran
dengan mimpinya, Raden Kian Santang pun meminta ijin kepada ayahandanya, Prabu
Siliwangi untuk pergi menuju seberang lautan, dan menceritakan semuanya. Prabu
Siliwangi walaupun berat hati tetap mempersilahkan putranya itu pergi. Namun
Ratu Rara Santang, adik perempuan Raden Kian Santang, ingin ikut kakaknya
tersebut.
Meski
dicegah, Ratu Rara Santang tetap bersikeras ikut kakaknya, yang akhirnya mereka
berdua pergi menyeberangi lautan yang sangat luas menuju suatu tempat yang
ditunjuk orang tua alias si kakek berjubah di dalam mimpi Raden Kian Santang
itu.
Hari
demi hari, minggu berganti minggu dan genap delapan bulan perjalanan sampailah
Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang ke sebuah dataran yang asing, tanahnya
begitu kering dan tandus, padang pasir yang sangat luas serta terik matahari
yang sangat menyengat mereka melabuhkan perahu yang mereka tumpangi.
Tiba-tiba
datanglah seorang kakek yang begitu sangat dikenalnya. Yah, kakek yang pernah
datang di dalam mimpinya itu. Kakek itu tersenyum dan berkata: “Selamat datang
anak muda! Assalamu alaikum!” Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang hanya
saling berpandangan dan hanya berkata: “Aku ingin bertemu dengan Ali, orang
yang pernah kau katakan sanggup mengalahkanku.”
Dengan
tersenyum kakek itu pun berkata: “Anak muda, kau bisa bertemu Ali jika sanggup
mencabut tongkat ini!” Lalu si kakek itu menancapkan tongkat yang dipegangnya.
Kembali
Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang saling berpandangan, dan Raden Kian
Santang tertawa terbahak-bahak. “Hai orang tua! Di negeri kami adu kekuatan
bukan seperti ini, tapi adu olah kanuragan dan kesaktian. Jika hanya mencabut
tongkat itu buat apa aku jauh-jauh ke negeri tandus seperti ini? Ujar
Raden Kian Santang mengejek.
Kakek
itu kembali tersenyum. “Anak muda, jika kau sanggup mencabut tongkat itu kau
bisa mengalahkan Ali, jika tidak kembalilah kau ke negerimu anak sombong.” Kata
orang tua itu.
Akhirnya
Raden Kian Santang mendekati tongkat itu dan berusaha mencabutnya. Namun
upayanya tak berhasil. Semakin dia mencoba semakin kuat tongkat itu
menghunjam.
Keringatnya
bercucuran, sementara Ratu Rara Santang tampak khawatir dengan keadaan
kakaknya, ketika tiba-tiba darah di tangan Raden Kian Santang menetes, dan
menyadari bahwa orang tua yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
Saat
itu, lutut Raden Kian Santang bergetar dan dia merasa kalah. Ratu Rara Santang
yang terus memperhatikan kakaknya segera membantunya, namun tongkat itu tetap
tak bergeming, akhirnya mereka benar-benar mengaku kalah.
“Hai
orang tua! Aku mengaku kalah dan aku tak mungkin sanggup melawan Ali. Melawan
dirimu pun aku tak bisa! Tapi ijinkan aku bertemu dengannya dan berguru
kepadanya.” Ujar Raden Kian Santang.Kakek itu kembali tersenyum. “Anak muda! Jika Kau
ingin bertemu Ali, maka akulah Ali.” Tiba-tiba mereka berdua bersujud kepada
orang tua itu, namun tangan orang tua itu dengan cepat mencegah keduanya
bersujud. “Jangan bersujud kepadaku anak muda! Bersujudlah kepada Zat yang
menciptakanmu, yaitu Allah!”
Akhirnya
mereka berdua mengikuti orang tua tersebut, yang ternyata Ali Bin Abi Tholib,
ke Baitullah dan memeluk agama Islam.
Begitulah,
Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang mempelajari Islam dengan
sungguh-sungguh. Dalam perjalanannya Raden Kian Santang kembali ke pulau Jawa
dan menyebarkan Islam di daerah Garut hingga meninggalnya. Sedangkan Ratu Rara
Santang dipersunting oleh salah satu pangeran dari tanah Arab yang bernama
Syarif Husen. Perkawinan antara Ratu Rara Santang dan Syarif Husen itu
menghasilkan dua putra, yaitu Syarif Nurullah dan Syarif Hidayatullah. Syarif
Nurullah menjadi penguasa Makkah saat itu, sedangkan Syarif Hidayatullah pergi
ke Jawa untuk bertemu dengan ayah dan kakeknya.
Syarif
Hidayatullah pamit untuk pergi ke Jawa dan ingin menyebarkan Islam ke sana. Dan
pergilah Syarif Hidayatullah mengarungi samudera nan luas seperti halnya dulu
ibu dan pamannya, Ratu Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Setibanya
di tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidak kesulitan berjumpa dengan ayah dan
kakeknya. Namun Syarif Hidayatullah prihatin karena hingga saat itu kakeknya masih
belum masuk ke dalam agama Islam dan tetap bersikukuh dengan agamanya yaitu
agama Sunda Wiwitan, meski berbagai upaya terus dilakukan dan dia hanya berdoa
semoga kakeknya suatu saat diberi hidayah oleh Allah.
Melihat
keuletan cucunya dalam menyebarkan Agama Islam, Prabu Siliwangi memberikan
tempat kepada cucunya sebuah hutan yang kemudian bernama Cirebon. Dan di
sinilah pusat penyebaran Islam dimulai. Murid - muridnya kian bertambah dan
Islam sangat cepat menyebar.
Dalam
penyebarannya Syarif Hidayatullah mengembara ke ujung barat pulau Jawa, ke
daerah kulon, tempat pendekar-pendekar banyak tersebar. Di Pandeglang ada
Pangeran Pulosari dan pangeran Aseupan, juga terdapat Raja Banten yang terkenal
sangat sakti, bahkan Raden Kian Santang pun segan kepadanya, yaitu Prabu Pucuk
Umun, Raja Banten yang memiliki ilmu Lurus Bumi yang sangat sempurna, juga
pukulan braja musti yang bisa menghancurkan gunung, bahkan menggetarkan bumi.
Rupanya
Syarif Hidayatullah telah mengetahui kesaktian Prabu Pucuk Umun yang menguasai
daerah itu. Untuk langsung mengajak Prabu Pucuk Umun masuk ke dalam Agama Islam
sangat tidak mungkin, sebab Syarif Hidayatullah tahu Prabu Pucuk Umun mudah
sekali murka, dan hal ini sangat berbahaya.
Dengan
bersusah payah Syarif Hidayatullah menemui Pangeran Pulosari dan juga Pangeran
Aseupan, yang merupakan sepupu dari Prabu Pucuk Umun, dan rupanya Pangeran
Pulosari dan Pangeran Aseupan sangat tertarik dengan ajaran agama yang di bawa
oleh cucu Raja Pajajaran itu, dan keduanya menganut agama Islam.
Masuknya
kedua pangeran itu ke dalam agama yang dibawa Syarif Hidayatullah terdengar
juga oleh Prabu Pucuk Umun, dan hal ini membuatnya murka. Tiba-tiba langit
menjadi gelap, halilintar bergelegar bersahutan. Pangeran Aseupan dan Pangeran
Pulosari memahami bahwa kakak sepupunya telah mengetahui masuknya mereka kepada
agama yang dibawa Syarif Hidayatullah.
Dengan
ilmu Lurus Buminya, Prabu Pucuk Umun memburu kedua pangeran yang menurutnya
berkhianat itu, dan terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat. Pangeran
Pulosari dan Pangeran Aseupan berusaha mengelak dari serangan-serangan yang
dilakukan kakak sepupunya itu. Namun kesaktian luar biasa yang dimiliki Prabu
Pucuk Umun membuat mereka lari ke arah selatan, dan di sanalah Syarif
Hidayatullah menunggu mereka, dan dengan luka yang diderita mereka, akhirnya
mereka pun berlindung di belakang Syarif Hidayatullah.
Prabu
Pucuk Umun berteriak: “Hai cucu Siliwangi! Jangan kau ganggu tanahku dengan
agamamu, jangan kau usik ketenangan rakyatku, enyahlah kau dari sini sebelum
kau menyesal dan berdosa kepada kakekmu.”
Dengan
tersenyum Syarif Hidayatullah menjawab: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk
menyebarkan agama ini, karena agama ini bukan hanya untuk satu orang tapi untuk
semua orang di dunia ini. Agama yang akan menyelamatkanmu.”
“Aku
tidak menyukai basa-basimu anak lancang!” Teriak Prabu Pucuk Umun dengan
lantang dan menggelegar, dan dari arah depan tiba-tiba angin berhembus sangat
kencang, tampak Syarif Hidayatullah mundur beberapa langkah, sedangkan Pangeran
Pulosari dan Pangeran Aseupan memasang kuda-kuda untuk menggempur serangan
Prabu Pucuk Umun.
Pertarungan
itu begitu dahsyatnya hingga Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang pun
bersemedi memberikan energi kepada Syarif Hidayatullah.
Prabu
Pucuk Umun merasakan panas yang teramat sangat, dia mengetahui bahwa
serangannya telah berbalik arah kepadanya, dan dengan menggunakan Ilmu Lurus
Bumi, Prabu Pucuk Umun melarikan diri, namun dengan sigap Pangeran Aseupan dan
Pangeran Pulosari mengejarnya. Dengan menggunakan ilmu yang sama terjadilah
kejar-kejaran antara ketiganya. Dan akhirnya, di puncak Gunung Karang, Prabu
Pucuk Umun tertangkap, atas restu Prabu Siliwangi, Prabu Pucuk Umun tidak
dibunuh, tapi dimasukan ke kerangkeng di bawah kawah Gunung Krakatau.
Prabu
Pucuk Umun memiliki putri yang cantik dan juga memiliki kesaktian yang tidak
kalah dengan ayahnya, bahkan lebih dari 1000 Jin di bawah pengaruhnya, dan dia
bernama Ratu Kawunganten, Putri Prabu Pucuk Umun yang kemudian diperistri oleh
Syarif Hidayatullah. Ratu Kawunganten pun masuk Islam dan berganti nama menjadi
Siti Badariah.
Tidak
berapa lama, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten pun hamil, namun dia mengidam
hal yang tidak wajar menurut pemikiran Syarif Hidayatullah, dia menginginkan
daging manusia. Sontak, Syarif Hidayatullah pun kaget dan marah. “Isteriku, kau
telah menganut agama Islam, keinginanmu itu terlarang.” Tandas Syarif
Hidayatullah.
Namun
isterinya tetap menginginkan daging manusia, dan Syarif Hidayatullah tak bisa
berbuat banyak, beliau sangat marah dan meninggalkan isterinya dalam keadaan
hamil dan kembali ke Cirebon.
Sepeninggal
Syarif Hidayatullah, Siti Badariah atau Ratu Kawunganten kembali ke agama
leluhurnya yaitu Agama Sunda Wiwitan, agama yang sudah menjadi darah dan
dagingnya.
Ratu
Kawunganten atau Siti Badariah pun melahirkan seorang putra, dan diberi nama
Pangeran Sabakingking, seorang Pangeran yang suatu saat mendirikan Kesultanan
Banten
Pangeran
Sabakingking beranjak dewasa, dan dia menjadi pemuda yang gagah, pemuda
yang keras, berani dan memiliki kesaktian yang luar biasa, ilmu-ilmu kesaktian
ibunya mengalir ke tubuhnya, lebih dari 1000 Jin takluk atas perintahnya.
Pangeran Sabakingking tak pernah merasa takut kepada siapapun, dan hampir semua
pendekar di tanah Banten pernah berhadapan dengannya.
Suatu
hari, Pangeran Sabakingking dipanggil ibunya, karena ia harus mengetahui siapa
ayahnya, Sabakingking pun menghadap ibunya.“Anakku, kau sudah dewasa dan sudah saatnya kau mengetahui
siapa ayahmu. Ia berada di Cirebon dan telah menjadi Sultan di sana. Jika kau
ke sana berikan tasbih ini kepadanya. Tasbih inilah yang dulu menjadi mahar
perkawinan ibu dengan ayahmu.
Pergilah
Pangeran Sabakingking menuju utara melewati hutan dan sungai, bukit bahkan
gunung di tempat yang dituju Pangeran Sabankingking langsung menuju kesultanan
Cirebon.
Di
Kesultanan Cirebon itulah Pangeran Sabakingking melihat sebuah perbedaan yang
mendasar. Terdengar suara adzan, serta alunan al Quran yang asing baginya,
namun begitu menyejukkan hatinya. Tak berapa lama bertemulah Pangeran
Sabakingking dengan seorang tua berjanggut panjang dengan mengenakan sorban.
Orang tua itu tampak berwibawa dan memiliki sorot mata yang tajam. “Anak muda, ada
keperluan apa kau ke sini? Tanya orang tua yang tak lain adalah Syarif
Hidyayatullah itu.“Aku ingin bertemu
dengan Syarif Hidayatullah dan menyerahkan tasbih ini dari ibuku.” Tasbih itu pun diterima Syarif Hidayatullah sembari
menerawangkan matanya. “Apakah kau
anak Kawunganten?” “Benar! Aku
Sabakingking Putra Kawunganten!”
“Akulah
Syarif Hidayatullah yang kaucari anak muda. Namun aku tidak begitu saja
mengakui kau sebagai anakku, sebab ada syarat yang harus kau laksanakan.” “Apa
itu?” Buatlah
sebuah bangunan masjid lengkap dengan menaranya di Banten. Tapi ingat, hanya 1
malam saja. Jika sampai muncul matahari dan perkerjaanmu belum selesai,
jangan harap aku akan mengakui kau sebagai anakku.” Ujar Syarif Hidayatullah.
“Baiklah! aku akan melaksanakan perintahmu.”
Jika sudah selesai, kumandangkan adzan yang dapat kau dengar dari menaranya.
Ingat, hanya dalam waktu 1 malam saja!”
Setelah
mendengar perintah ayahnya, Pangeran Sabakingking bergegas meninggalkan Cirebon
untuk kembali ke Banten. Setelah sampai di Banten diceritakanlah semua yang
dialami selama di Cirebon kepada ibunya. Ibunya maphum dan bersedia membantu
anaknya. Dipanggilah lebih dari 1000 jin sakti untuk membantu Pangeran
Sabakingking, dan tepat saat matahari terbenam mereka mulai membangun fondasi
Masjid di pesisir Banten. Semua bekerja dengan berbagai ilmu, lebih dari 1000
Jin dikerahkan, dan mendekati matahari terbit menara pun baru selesai. Saat
itulah Pangeran Sabakingking menaiki menara dan mengumandangkan Adzan seperti
apa yang ia dengar di Kesultanan Cirebon, dan dengan tenaga dalam yang nyaris
sempurna, terdengarlah alunan adzan yang menggema hingga ke seluruh alam.
Mendengar
suara adzan yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, Syarif Hidayatullah pun
keluar dari keraton Kesultanan Cirebon dan segera memperhatikan arah suara itu,
yang tak salah lagi itu adalah suara anaknya. Dan dengan ilmu Sancang, ilmu berlari cepat yang sulit
diterima akal manusia, yang dimilikinya, hanya dalam waktu beberapa menit saja
tibalah Syarif Hidayatullah ke Mesjid yang dibangun anaknya tersebut dan
melakukan sholat subuh di sana.
Pangeran
Sabakingking mengetahui datangnya seseorang yang masuk ke Mesjidnya, dan dia
bergegas menuju ke dalam. Alangkah kagetnya Pangeran Sabakingking saat ternyata
dihadapannya adalah Syarif Hidayatullah, ayahnya. “Anakku. Kau telah membangun Mesjid ini dengan baik,
Mesjid ini akan menjadi pusat penyebaran agama yang kubawa dan kau adalah
pemimpinnya. Mulai hari ini namamu
adalah Hasanudin. Dan bangunlah Kesultanan di sini, syiarkan Islam kepada
rakyatmu.
Hasanudin
pun membangun keraton di sekitar masjid yang dibangunnya, yang tidak berapa
lama berdirilah keraton lengkap dengan singgasananya, untuk membantu penyebaran
Islam di Banten, dan Syarif Hidayatullah memerintahkan rakyatnya untuk ikut
membangun Banten. Berduyun-duyunlah rakyat Cirebon menuju Banten. Mereka
disambut rakyat Banten dengan antusias, seakan-akan perbauran antara rakyat
Cirebon dan penduduk asli itu seperti halnya perpaduan antara Muhajirin dan
Anshor jaman Nabi Muhammad. Budaya dan bahasa yang hampir sama dengan Cirebon
merupakan bukti otentik yang terwariskan hingga saat ini.
Sementara
itu, Padjajaran setelah mangkatnya prabu Siliwangi pecah menjadi jadi dua
kerajaan yaitu Kerajaan Pakuan dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Pakuan di berikan
kepada cucunya Ratu Dewata yang merupakan putri Raden Surawisesa yang dikenal
dengan Pangeran Walangsungsang, salah seorang putra Prabu Siliwangi.
Keinginan
Kesultanan Cirebon untuk mengislamkan seluruh Kerajaan Padjajaran didukung
penuh oleh Maulana Hasanudin, yang juga dibantu oleh putra mahkota yaitu Sultan
Maulana Yusuf, yang merupakan hasil pernikahan Maulana Hasanudin dengan Ratu
Ayu Kirana, Putri Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Selain Maulana Yusuf,
Maulana Hasanudin memiliki putri bernama Ratu Pembayun yang menikah dengan
Tubagus Angke putra Ki Mas Wisesa Adimarta dimana Tubagus Angke merupakan
panglima perang Banten yang nantinya memiliki putra bernama Pangeran Jayakarta,
yang kelak menjadi pajabat Kesultanan Banten di Jakarta, di mana nama Jakarta
diambil dari namanya.