Senin, 01 Desember 2014

Muhammad Manusia Paripurna




Radar Banten, 14 April 2014

“Di rumahnya, para sahabatnya tak menjumpai perabot mahal, seperti yang dimiliki orang-orang modern dan kaum metropolis sekarang. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya, mereka tak mengira bahwa dari kepribadiannya yang sabar dan sederhana terbentang peradaban dan sejarah baru.”

Apa yang kita pikirkan, atau lebih tepatnya: apa yang dapat kita terka dan kita imajinasikan, tentang seorang laki-laki yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang sangat ia cintai, orang-orang yang amat mengasihinya? Seorang lelaki yang lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Seorang lelaki yang menantang matahari dalam panasnya dan menggetarkan milliaran manusia dengan sebutan namanya, saat muadzin mengumandangkan suara adzan.

Di rumahnya, para sahabatnya tak menjumpai perabot mahal, seperti yang dimiliki orang-orang modern dan kaum metropolis sekarang. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya, mereka tak mengira bahwa dari kepribadiannya yang sabar dan sederhana terbentang peradaban dan sejarah baru. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fatimah az Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Fatimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian.

Figur yang Adil dan Egaliter

Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas perkara hukum seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk –lebih dari satu dua kali- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai “orang rumah”.

Teladan Sang Pemimpin

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. “Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.” “Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina,” demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali demi membela ummatnya dari agressi dan intimidasi militer pihak-pihak yang memendam kedengkian dan kebencian atau karena politik dan kepentingan duniawi mereka yang terancam dengan revolusi spiritualnya, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Figur Penuh Makna

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka: “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.

Teladan Akhlaq

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada di sana mendahului mereka, tegak di atas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Aisyah pernah berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.” Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.”

Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan. Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”

Sulaiman Djaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar