Senin, 01 Desember 2014

Humanisme, Islam, dan Peradaban




Radar Banten, 14 Juni 2014

“Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”, demikian pesan Nabi Muhammad Saw sebagaimana diriwayatkan oleh muhadits masyhur, Muslim. Pesan hadits tersebut, sebagaimana jamak diterangkan sejumlah ‘ulama, tak lain adalah bahwa Islam mestilah dilengkapi dengan Ihsan. Sebagai contoh, misalnya, banyak mereka yang mengaku muslim, namun tidak hidup dan berperilaku sesuai dengan spirit dan nilai-nilai Islam. Buktinya, banyak pejabat muslim yang zalim dan korup. Ironisnya, banyak kita jumpai figur-figur non-muslim yang justru tidak zalim dan tidak korup, memberikan keteladanan kesalehan. Romo Mangunwijaya, contohnya.

Barangkali, kita memang harus tasamuh, instrospeksi, alias mengoreksi diri kita, menjadikan orang lain sebagai cermin. Sebab, keberaadan kita sendiri menjadi sedemikian nyata justru karena kehadiran orang lain. Dalam hal ini relevan sekali apa yang pernah diucapkan Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah (sebagaimana yang dapat kita baca dalam Nahjul Balaghah): “Jadikanlah dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah orang lain itu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan bencilah orang lain sebagaimana kamu benci dirimu sendiri, janganlah engkau menganiaya sebagaimana engkau tidak senang dianiaya, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana engkau senang orang lain berbuat baik kepadamu, dan pandang jeleklah terhadap dirimu sebagaimana orang lain memandang jelek, dan tumpahkan relamu kepada manusia sebgaimana engkau rela jika orang lain rela kepadamu”.

Iman Reflektif dan Iman Dogmatis

Tepat, dalam hal ini, kiranya relevan kita menyimak “pembedaan” dua corak dan bentuk iman dan agama, sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant, yang tentu saja sekedar dipinjam sebagai cermin, di mana dalam traktat-nya yang berjudul Religion within the Limits of Reason Alone itu, Kant mendistingsikan atau mengkontraskan antara iman reflektif dan iman dogmatis. Yang pertama, atau iman reflektif, adalah iman yang tidak menutup akal dan nurani, yang kalau meminjam bahasanya Soren Kierkegaard, adalah iman yang dihayati. Sedangkan sebaliknya, yaitu iman dogmatis, adalah iman yang telah kehilangan kepekaan, alih-alih malah menyuburkan kebencian.

Belakangan ini, seperti sama-sama kita tahu, yang tentu saja tak mungkin kita anggap remeh, adalah maraknya paham-paham teologis yang gandrung menyebarkan kebencian. Mereka bahkan “menghalalkan darah”, bukan hanya kepada yang berbeda agama, tetapi kepada yang se-agama dengan mereka. Mereka juga gandrung sekali “memassifkan fatwa dan tuduhan” sesat dan kafir kepada kelompok dan ummat yang bukan dari mazhab mereka. Sebagai nama sementara, mereka kita kenal sebagai kelompok Takfiri, yang konon lahir dari gerakan Wahabisme. Di Suriah, misalnya, kelompok ini, bila kita baca sejumlah media cetak dan media non-cetak, menjadi kelompok pemberontak dan tak segan-segan “menyembelih” dan “membantai”, seperti yang telah dikatakan, bukan hanya orang yang tak se-agama dengan mereka, tapi juga orang yang bukan dari mazhab atau golongan mereka.

Islam Agama Rahmat

Islam sendiri, seperti sama-sama kita tahu, adalah agama yang visi dan nilainya menekankan agama yang memberi rahmatan lil ‘alamin, yang bolehlah kita terjemahkan juga sebagai rahmat untuk seluruh alam dan segala kalangan. Setidak-tidaknya, visi humanis dan kesalehan sosial kita juga terkandung dalam doktrin dan nilai-nilai Islam, yang seperti telah disebut, menjadi muslim yang mempraktekkan ihsan kepada sesama dalam hidup. Di sini, saya teringat syair Sa’di, pujangga muslim dari Persia itu, di mana salah-satu puisinya yang kini diabadikan di dinding gedung PBB berbunyi, “Anak adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak menyandang nama manusia”.

Pesan moral tentang solidaritas kemanusiaan puisi Sa’di tersebut membuatnya menjadi istimewa bagi semua kalangan, relevansinya melampaui batas-batas etnik, agama, dan bangsa, meski ditulis oleh seorang muslim yang dikenal sangat arif, saleh, dan tentu saja berwawasan luas. Dan seperti telah disebutkan, puisi itu pun disematkan di gedung PBB atau United Nations sebagai simbol welas asih dan perdamaian sesama ummat manusia. Sa’adi sebenarnya hanyalah salah-satu contoh ketika dunia Islam menyumbangkan kearifan dan melahirkan penyair-penyair yang menjadi teladan Timur dan Barat, semisal Attar, Hafiz, Rumi, Khayyam, dan yang lainnya. Dunia Islam telah menorehkan kegemilangan peradaban dan humanisme melalui para penulis, filsuf, dan penyair seperti mereka.

Sebenarnya, bila dikaji dan ditelusuri lebih seksama, ajaran humanisme Islam, yang barangkali dapat juga kita sebut sebagai nilai-nilai kesalehan sosial tersebut, telah lahir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri melalui dan bersamaan dengan ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercermin jelas dalam salah-satu haditsnya yang telah disebutkan di awal tulisan ini, yang diriwayatkan perawi hadits masyhur, Muslim itu, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”. Pesan singkat ini memiliki makna yang dalam dan universal, di mana basis dan dasar keimanan seseorang adalah berbuat kebajikan yang akan bermanfaat, dan universalisme terasa saat hadits tersebut tidak melabelkan agama atau etnik tertentu. Hadits tersebut hanya menyebutkan, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan”.

Pesan dan ajaran serupa juga diteruskan oleh para ahlul bayt (keluarga dan keturunan Nabi SAW) semisal tercermin lewat ajaran Imam Hussain, sang cucu kesayangan Nabi SAW yang syahid di Karbala itu. Dikisahkan oleh para ulama dan perawi Hadits, sebelum syahid di Karbala, Imam Husain pernah berpesan kepada putranya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad, ““Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah.” Pesan Imam Husain tersebut, tak ragu lagi, adalah penegasan dan penafsiran fasih dari pesan dan ajaran akhlaq kekeknya, yaitu Nabi Muhammad, tentang ukuran keimanan seseorang adalah berbuat kebaikan sebagaimana telah disebutkan.

Warisan Humanisme Islam

Sebagai rahim dan pencipta kegemilangan intelektual dan peradaban, Islam telah memberikan sumbangan yang diakui Timur dan Barat, sebagai pioneer. Bahkan ketika Eropa tengah berada dalam tidur lelap abad kegelapannya, Islam-lah yang membangunkan dan mencerahkannya, saat Islam menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani dan melakukan inovasi sains, semisal yang disumbangkan Albiruni, Omar Khayyam, Ibn Haitham, Alkhawarizmi, dan yang lainnya. Dan salah satu ruh kegemilangan peradaban Islam tersebut tak lain adalah spirit humanis yang disumbangkan para pujangga, seperti Attar, Hafiz, Rumi, Firdausi, Sa’di, Khayyam, dan yang lainnya, selain tercermin dalam ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad Saw dan ahlul baitnya. Dari mereka lah, para pujangga raksasa Timur dan Barat belajar dan menimba kearifan, seperti Goethe, Emerson, dan Tagore, sebagaimana diakui oleh para penyair besar tersebut.

Menariknya, yang bisa jadi merupakan kebetulan yang memiliki dasar yang kuat, para pujangga Islam yang telah menginspirasi para penyair dan penulis di Timur dan Barat, tersebut akrab dengan khazanah sufisme dan saintisme pada saat bersamaan dan mayoritas lahir dan berkebangsaan Persia (Iran), semisal Hafiz, Attar, Firdausi, Khayyam, dan Sa’adi. Namun, bila ditelisik lebih jauh, sejak Islam diterima masyarakat Persia, bangsa Persia (Iran) di jaman itu memang merupakan perpaduan bahkan perkawinan antara bangsa Persia sendiri dan keturunan Bani Hasyim (leluhur dan bangsanya Nabi SAW), semisal cucu Nabi SAW sendiri, yaitu Imam Hussain, menikahi putri raja Persia (putri Raja Yazdigard dari dinasti Sassanid), persis ketika putri raja Persia yang bernama Syahrbanu atau Putri Syahzanan itu menjadi tawanan pasukan Islam dan lalu Imam Ali memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih di antara kaum muslim untuk menjadi suaminya, dan Putri Syahrbanu (Putri Syahzanan) pun memilih Imam Hussain.

Di negeri Persia (Iran) inilah Islam di masa dinasti Abbasiyah dan setelahnya banyak melahirkan pujangga dan intelektual, seperti yang telah disebutkan. Mereka menyumbangkan sumbangan yang sangat berharga bagi wacana dan wawasan humanis, semisal puisi Sa’adi yang kini menjadi simbol perdamaian dan disematkan dengan megah dan indah di gedung PBB itu. Singkatnya, di tengah munculnya banyak gerakan dan paham yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, kita tak boleh lupa bahwa Islam disebarkan bukan dengan pedang dan kekerasan, tetapi dengan akhlaq, ilmu, dan hikmah.

Sulaiman Djaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar